Indonesia Fokus pada Tantangan dan Koherensi Pemenuhan HAM
Keanggotaan Indonesia di Dewan HAM pada 2020 akan bersamaan dengan keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB di mana Indonesia juga berkomitmen untuk membantu menjembatani kinerja kedua organ penting PBB tersebut.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pencapaian sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa sejatinya bukan pada gempitanya pujian dan sanjungan. Pencapaian itu adalah tanggung jawab dan pintu awal untuk mewujudkan nilai-nilai dasar yang terinternalisasi dalam misi yang diemban, khususnya misi pemenuhan hak asasi manusia.
Saat melihat Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Dian Triansyah Djani, Dirjen Kerja Sama Multilateral Febrian Ruddyard, serta Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional Lainnya di Geneva, Swiss, Hasan Kleib berjabat tangan, bertiga, gambaran tentang besarnya tanggung jawab itu menjadi makin kental.
Jabat tangan itu pada satu sisi adalah wujud syukur atas keberhasilan kampanye Indonesia untuk kembali menjadi anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan, Kamis (17/10/2019) malam, setelah melewati proses pemilihan dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-74 di New York, Amerika Serikat, Indonesia berhasil kembali duduk di dalam dewan itu untuk periode 2020-2022.
Dalam siaran pers yang dikirim oleh Perwakilan Tetap RI di New York disebutkan, Indonesia memperoleh dukungan suara terbanyak, yaitu 174 suara dari 193 negara anggota PBB.
”Indonesia kembali mendapat kepercayaan komunitas internasional untuk menjadi anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Untuk kelima kalinya, Indonesia akan kembali memberikan kontribusi nyata dalam pemajuan dan perlindungan HAM di tingkat global,” kata Dian Triansyah Djani.
Dalam catatan PTRI New York, perolehan suara terbanyak dan tertinggi untuk wakil dari kawasan Asia-Pasifik yang diperoleh Indonesia itu adalah wujud keberhasilan diplomasi Indonesia. Di sisi lain, bagi Indonesia, keanggotaan ini juga merupakan bentuk pemenuhan mandat konstitusi dan penegasan komitmen Indonesia dalam penerapan norma HAM global tidak hanya di tingkat global, tetapi juga di tingkat regional dan nasional.
Selama masa kampanye, Indonesia mengusung slogan ”A True Partner for Democracy, Development and Social Justice”.
”Jelas sekali bahwa masyarakat internasional sangat menghargai rekam jejak Indonesia serta melihat demokrasi dan toleransi sebagai aset untuk berperan aktif di Dewan HAM PBB,” kata Febrian Ruddyard.
Menurut Wakil Tetap RI di Geneva Hasan Kleib, Indonesia akan memulai aktif mengemban tugas di Dewan HAM untuk periode 2020-2022 pada 1 Januari 2020. Dewan HAM PBB yang berkedudukan di Geneva merupakan organ antarpemerintah di PBB yang terdiri atas 47 negara anggota PBB serta bertanggung jawab untuk memperkuat pemajuan dan pelindungan HAM di seluruh dunia, menangani situasi pelanggaran HAM dan membuat rekomendasi terkait isu itu.
Keanggotaan Indonesia di Dewan HAM pada 2020 akan bersamaan dengan keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan PBB di mana Indonesia juga berkomitmen untuk membantu menjembatani kinerja kedua organ penting PBB tersebut. Indonesia akan memulai masa tugasnya di Dewan HAM mulai 1 Januari 2020 bersama negara-negara Asia Pasifik lainnya, yakni Afghanistan, Bahrain, Bangladesh, Fiji, India, Nepal, Pakistan, Filipina, Qatar, Jepang, Korea Selatan, dan Marshall Islands.
Negara lain yang terpilih dalam pemungutan suara dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-74 ini adalah Libya, Mauritania, Sudan, Namibia, Jepang, Korea Selatan, Irak, Marshall Islands, Armenia, Polandia, Brasil, Venezuela, Jerman, dan Belanda.
Tantangan
Dihubungi terpisah, Jumat (18/10/2019), perwakilan Indonesia pada lembaga antar-pemerintah di ASEAN untuk hak asasi manusia (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan, terpilihnya kembali Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB adalah kesempatan untuk mengambil kepemimpinan, terutama untuk mengedepankan isu-isu HAM di level internasional.
Namun, pada saat yang sama, kesempatan itu sekaligus menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengimplementasikan sejumlah komitmennya dalam beragam isu HAM.
Merujuk pada isu khusus, Indonesia dan hak asasi manusia yang diunggah di laman resmi Kementerian Luar Negeri RI—khususnya dalam Komite III Sidang Majelis Umum PBB—disebutkan, Indonesia terus menjadi bagian penting dalam berbagai prakarsa isu-isu HAM tematik. Beberapa isu HAM tematik yang disebutkan dalam tulisan itu adalah kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berkumpul, perlindungan hak pekerja migran, penghapusan kekerasan seksual dan konflik, serta pemajuan berbagai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Prakarsa itu diarahkan untuk mendukung penyusunan standar dan norma baru di bidang HAM.
Di sisi lain, disebutkan pula tantangan yang harus dikelola, yaitu isu-isu HAM di Indonesia yang menjadi perhatian dan keprihatinan di beragam forum multilateral, seperti penanganan kasus HAM di masa lalu, kebebasan berekspresi, kekerasan di Papua, kebebasan beragama, hukuman mati, serta kekerasan oleh aparat keamanan dan penegak hukum.
Yuyun mengatakan, perlu kerja keras untuk mengemban tugas dan menanggapi tantangan-tantangan itu. ”Ambisi di level internasional, harus sejalan dengan upaya di tingkat nasional dan regional,” kata Yuyun.
Persoalan terakhir yang merebak terkait isu Papua, menurut Yuyun, menempatkan Indonesia agar bekerja lebih baik di dalam dan di luar negeri terutama dalam isu eliminasi rasialisme. Indonesia dituntut untuk selalu memperbarui dan memperkuat komitmennya dalam pemenuhan HAM, salah satunya dalam isu kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Dalam konteks masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, Indonesia, menurut Yuyun, juga dituntut untuk memperkuat kepatuhannya pada isu pemenuhan HAM. Tidak mudah, tetapi jika Indonesia dapat mewujudkannya, itu menjadi pencapaian luar biasa.
”Bagaimana membuat keseimbangan antara isu kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan isu keamanan, tidak gampang main shutdown, perlu mencari alternatif lain. Tugas pemerintah adalah menjaga keamanan sekaligus memenuhi HAM,” kata Yuyun. ”Apabila Indonesia mampu mencari jalan tengah itu, Indonesia akan memimpin, dan jadi contoh bagi negara-negara tetangga... cara yang bisa diambil untuk mencapai keseimbangan itu adalah berdialog dengan korban dan masyarakat sipil untuk mencari keseimbangan yang kontekstual.”
Langkah pararel
Hal senada dikatakan oleh Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Meskipun tugas yang diemban kali ini adalah bagian dari keterlibatan Indonesia dalam misi global, sejatinya—menurut Usman Hamid—pencapaian Indonesia kali ini juga menjadi pintu masuk untuk memperbaiki, memperkuat, dan mengimplementasikan pemenuhan komitmen pada isu-isu HAM di dalam dan luar negeri.
Terkait hal itu, Usman kembali merujuk pada sejumlah komitmen Indonesia, antara lain menindaklanjuti rekomendasi sejumlah kasus HAM, seperti kasus Wasior dan Wamena ke ranah projusticia. Penyelesaian sejumlah kasus HAM di dalam negeri, Usman yakin, posisi diplomasi Indonesia di luar negeri, terutama untuk mendorong pemenuhan HAM, makin kokoh.
”Dengan itu, Indonesia bisa bermain lebih strategis untuk menanggapi situasi HAM yang semakin buruk di tingkat global, seperti terjadi di Suriah, Myanmar, dan Filipina. Amnesty Internasional pun berharap Indonesia menjadi pemain kunci di tingkat internasional,” kata Usman.
Lebih lanjut Usman menegaskan, dengan terpilihnya kembali Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB, ada tantangan pararel yang harus dijawab oleh Indonesia, yaitu pemenuhan janji dan komitmen HAM di dalam negeri dan menjadi pemain kunci di kancah internasional dalam isu HAM—yang perlahan mulai ditinggalkan oleh aktor-aktor utama di masa lalu, seperti AS dan beberapa negara Uni Eropa.
Di tengah aneka kemunduran yang dialami komunitas global saat ini, termasuk Indonesia, Usman mengapresiasi kehadiran dan kesiapan Indonesia mengemban tugas di Dewan HAM PBB.