Upaya PAN Keluar dari Stagnasi
Daya tarik PAN agaknya tak ditentukan seberapa galaknya sang tokoh Amien Rais kepada penguasa, tetapi ditentukan program dan visi misinya.
”Alangkah aib dan malu serta hina dina PAN di hadapan Allah YME. Kita gadaikan akidah dan politik kita untuk kepentingan sesaat, sedangkan masa depan PAN sungguh tragis dan tidak ada lagi jalan kembali,” tulis Amien. ”Hidup cuma sekali, hidup bagaikan sandiwara singkat, cuma puluhan tahun. Mari kita ambil peran dan posisi yang diridai-Nya, jangan sebaliknya,” kata Amien Rais.
Seruan untuk beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo tersebut ditulis Amien Rais kepada kader PAN dalam sebuah acara di Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, 2 Agustus 2019.
Tak hanya saat itu Amien Rais bersikap oposisi kepada pemerintahan Jokowi. Sejak jelang Pemilu 2014, sikap beroposisi terhadap Jokowi dinyatakan secara terbuka dan menjadi pedoman bagi simpatisan PAN.
Namun, uniknya, meski sedemikian keras serangan politik yang dilontarkan Amien kepada Jokowi, dari praktik kepartaian tidaklah demikian. Apa yang diserukan Amien Rais kerap kali menjadi seruan ”kosong” di tengah tarik-menarik kepentingan pragmatis parpol di parlemen.
Tengok saja relasi hangat Ketua Majelis Penasihat PAN Soetrisno Bachir dengan Jokowi. Demikian juga Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan kalangan koalisi parpol pemerintah.
Menjelang Pilpres 2019, bahkan kesan kompromistis kerap terlihat dari cairnya hubungan Zulkifli dengan kelompok koalisi pendukung pemerintah ataupun dengan Jokowi sendiri. Publik pemilih tampaknya pun semakin terbiasa dengan serangan politik yang dilakukan Amien Rais kepada Jokowi, tanpa terlalu memengaruhi sikap politik mereka.
Tak heran, perolehan suara PAN dari pemilu ke pemilu relatif tak beranjak, tetap bergeming. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan raihan suara PAN relatif sama dengan Pemilu 2014, sekitar 9,5 juta pemilih. Bandingkan dengan pertumbuhan suara PDI-P (16,1 persen), Gerindra (19,2 persen), Nasdem (50,6 persen), PKS (35,5 persen), dan PKB (20,0 persen).
Namun, hal tersebut juga bisa dimaknai, jumlah suara simpatisan PAN tidak mengalami gejolak penurunan yang tajam dari pemilu ke pemilu. Hal ini berbeda dengan partai-partai lain yang fluktuatif. Perolehan suara PDI-P, PKB, dan Golkar anjlok pada Pemilu 2009, sementara Demokrat anjlok pada Pemilu 2019.
Dari sisi perolehan kursi PAN di DPR, tampak pertambahannya sudah mandek selama dua pemilu (satu dekade). Tahun ini, perolehannya berkurang empat kursi dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Meski demikian, raihan suara PAN itu menunjukkan loyalitas pemilih partai ini kian terbentuk. Artinya, sebagai partai dengan basis massa yang disebut-sebut merupakan kalangan Muhammadiyah, PAN memiliki derajat pemilih loyal relatif besar.
Daya tarik PAN agaknya tak ditentukan seberapa galaknya sang tokoh Amien Rais kepada penguasa, tetapi ditentukan program dan visi misinya. Masa-masa kritik tajam yang dahulu disuarakan Amien Rais kepada pemerintahan Orde Baru tak selalu cocok disuarakan sekarang. Sebaliknya, hal itu malah berisiko mendulang respons negatif dari publik.
Dari hasil survei Kompas pada Maret 2019, ada 11 persen responden berlatar Muhammadiyah yang melabuhkan pilihan kepada PAN. Jumlah itu memang bukan yang terbesar karena merupakan urutan keempat setelah pilihan orang Muhammadiyah terhadap PDI-P, Golkar, dan Gerindra.
Sebagian terbesar pemilih Muhammadiyah melabuhkan suara ke berbagai partai mapan ketimbang PAN. Adapun responden dari kalangan NU tercatat 1,8 persen yang memilih PAN.
Reposisi PAN
Sebagai partai politik yang muncul dengan memanfaatkan momentum reformasi, PAN pada awalnya berspirit pembaruan, terbuka, dan pluralis. Tidak hanya dari kalangan tokoh Islam Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif, dan KH Mustofa Bisri, kehadiran PAN juga didukung Franz Magnis- Suseno, Mudji Sutrisno, Goenawan Mohamad, Faisal Basri, dan kalangan intelektual.
Cikal bakal PAN, yaitu Majelis Amanat Rakyat (Mara), bersemboyan memperjuangkan keadilan dan demokrasi di Indonesia, serta melibatkan unsur lintas agama, suku, dan ras. Namun, perjalanan politik kepartaian mengubahnya menjadi partai yang lebih berorientasi gerakan keagamaan selain figur Amien Rais.
Dari pemilu ke pemilu, PAN kian menampilkan sosok sebagai partai bernuansa basis massa agama. Sentralisasi kekuatan pada sosok Amien yang gencar menyuarakan dalil agama, misalnya, menyebabkan setelah Pemilu 1999, PAN kian identik dengan nuansa mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu.
Di satu sisi, program-program partai semakin terasosiasikan dekat dengan ”perjuangan” Amien Rais. Di sisi lain, kondisi demikian menjadikan PAN satu-satunya parpol yang konsisten mengemban nilai-nilai perjuangan gerakan pembaruan Islam ala Muhammadiyah. Hal ini terbukti menjangkau pemilih Muhammadiyah yang berjumlah besar di Indonesia.
Pada masa lalu, Amien Rais menggerakkan koalisi politik ”Poros Tengah” di DPR dengan menghimpun partai-partai berasaskan Islam dan ”menjegal” terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Keberhasilan Amien Rais tersebut semakin menguatkan pengenalan PAN menjadi salah satu sentral partai Islam saat itu.
Dari hasil survei Kompas pada Maret lalu, terlihat satu dari tiga responden (33,3 persen) menyatakan program/visi misi sebagai alasan terbesar memilih PAN. Karakter pemilih dengan tradisi keluarga terekam pada alasan kedua, yakni 20,4 persen responden menjadikan PAN sebagai kebiasaan pilihan dalam keluarga. Berikutnya adalah memilih PAN dengan alasan ideologi (18,5 persen).
Tiga alasan utama orang memilih PAN tersebut mencerminkan karakteristik pemilih partai ini. Di satu sisi, mereka rasional, tetapi sekaligus bersifat tradisional-ideologis. Kelompok menengah-berpendidikan-moderat menjadi bagian pemilih terbesar PAN. Partai itu juga bercirikan memiliki basis massa warga perkotaan. Dari struktur usia, tecermin pula pemilih PAN merupakan kelompok usia produktif-mapan, yang sekaligus ciri masyarakat perkotaan.
Kecenderungan PAN yang mengkristal sebagai partai aliran semakin dirasakan berbagai kalangan, baik pendukung partai maupun pihak di luar partai. Setelah Pemilu 2014, gambaran PAN sebagai partai yang terbuka, rumah politik bagi semua golongan agama dan etnis kian kabur.
Survei nasional Litbang Kompas pada Februari 2015 menangkap fenomena ini. Hanya 35,5 persen responden yang setuju PAN dikatakan sebagai partai terbuka. Sebaliknya, 52 persen tidak setuju. Dampak Pemilu 2014 yang membawa isu pertentangan antara pluralisme politik dan Islamisme politik berperan pada pandangan ini.
Dalam periode kampanye pemilu, PAN berupaya memperbarui citra dinamis dengan menggaet banyak artis muda dan pengurus muda usia. Meski demikian, hal itu tampaknya tak terlalu berjalan sukses, terlihat dengan relatif masih minimnya PAN dalam menggaet pemilih muda (berdasarkan survei).
Pada Pemilu 2019, dilihat dari basis penguasaan wilayah, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan merupakan tempat PAN menggaet lebih dari 3 kursi DPR. Perolehan kursi dari wilayah- wilayah tersebut mencerminkan corak ideologis masyarakat di daerah yang dekat dengan berbagai usaha dakwah sosial Muhammadiyah.
Yang menarik, kemampuan PAN menggaet 2 kursi DPR dari Papua menggambarkan kelihaian mereka menarik simpati warga di wilayah tersebut. Persaingan berebut suara basis massa Islam begitu ketat di Pulau Jawa dan Sumatera menekan popularitas PAN. Adapun di Papua, dengan menggunakan pengaruh tokoh-tokoh lokal, PAN menjadi lebih mudah diterima tanpa mempersoalkan ideologi keagamaan.
Hasilnya, partai yang diasosiasikan dengan Islam-Muhammadiyah ini sukses menggaet pemilih Papua, mengalahkan perolehan partai-partai nasionalis. (Litbang Kompas)