Pengusaha meminta pemerintah menetapkan standar biaya dan prosedur sertifikasi halal sekaligus transparan.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha meminta pemerintah menetapkan standar biaya dan prosedur sertifikasi halal sekaligus transparan. Aspirasi ini disampaikan seiring beralihnya penyelenggaraan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia ke pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal mulai hari ini, Kamis (17/10/2019).
Penyelenggaraan sertifikasi halal selama ini dilakukan oleh Majelis Umum Indonesia (MUI). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengamanatkan agar penyelenggaraannya dialihkan ke pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH) yang bertanggung jawab kepada Kementerian Agama.
Sehari sebelum penerapan ketentuan baru, Rabu (16/10/2019), pemerintah menyelenggarakan penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Penyelenggaraan Layanan Sertifikasi Halal (PLSH) bagi Produk yang Wajib Bersertifikat Halal di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (16/10/2019). Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir menyaksikan penandatanganan pimpinan dari 11 kementerian dan lembaga negara.
Kementerian yang terlibat meliputi Kementerian Agama; Kementerian Kesehatan; Kementerian Keuangan; Kementerian Pertanian; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Luar Negeri; dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Adapun lembaga negara mencakup Badan Pengawas Obat dan Makanan, Majelis Umum Indonesia, Badan Standardisasi Nasional, dan Kepolisian Repubik Indonesia.
Menjawab pertanyaan wartawan usai acara, Ketua I Perkumpulan Perusahaan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Indonesia (Pekerti) Budi Satriyo yang hadir di kursi audiens menyatakan, dunia usaha meminta agar pemerintah menetapkan standar proses bisnis dan biaya sertifikasi serta transparan. Ini penting bagi dunia usaha yang memerlukan kepastian untuk berbagai variabel biaya produksinya.
Selama ini, menurut Budi, tidak ada standar biaya sertifikasi. Hal ini menimbulkan persoalan bagi dunia usaha. Hal yang terjadi, biaya sertifikat jelas, tetapi biaya-biaya lain tidak ada rincian yang standar.
Hal itu misalnya untuk mendatangkan tim dari penyelenggara guna mengecek fasilitas produksi. Biaya transportasi dan akomodasi sepenuhnya ditanggung oleh pemohon sertifikat. Kendalanya, tidak ada standar biaya. ”Tidak ada tolok ukur. Hotel satu orang harus satu kamar. Jadi biayanya mencapai puluhan juta rupiah,” kata Budi.
Prinsip kebaikan
Sementara itu, dalam pidato sebelum penandatanganan nota kesepahaman, Kalla menekankan, penyelenggaraan sertifikasi halal tidak saja memastikan kehalalan produk, tetapi juga mendasarkan pada prinsip kebaikan. Prinsip kebaikan yang dimaksud Kalla antara lain menyangkut efisiensi proses, serta biaya yang tidak membenani dunia usaha dan berkeadilan.
Efisiensi yang diharapkan Kalla adalah pelaku usaha cukup berurusan dengan satu pintu untuk pengurusan sertifikat dan uji laboratorium tidak harus di Laboratorium MUI di Bogor, melainkan di laboratorium BPOM yang jaringannya tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Biaya yang tidak membebani dunia usaha dan berkeadilan maksudnya adalah terukur. Khusus usaha mikro, kecil, dan menengah, biaya sertifikasi agar bisa dicarikan solusi. Misalnya, dengan subsidi silang.
”Kalau tidak halal, jangan khawatir. Tidak ada kata haram, tapi gambar-gambar (simbol). Untuk alkohol, misalnya, gambar botol,” kata Kalla.
Kalla juga menenakan agar sertifikasi halal tidak terlalu mengada-ada alias bersifat proprosional. Untuk baju yang jelas-jelas dari katun, ia mencontohkan, tidak perlu sampai diwajibkan bersertifikat halal.
Dalam laporannya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, sejak terbentuknya BPJPH pada 2017, pemerintah telah melakukan persiapan. Oleh sebab itu, pemerintah melalui BPJPH siap menyelenggarakan jaminan produk halal.
”BPJPH sebagai pemangku kepentingan utama dalam penyelenggaraan jaminan produk halal tentu tidak dapat bekerja sendiri. Untuk itu diperlukan adanya sinergi dan kerja sama dengan berbagai pihak dalam menyelenggarakan jaminan produk halal,” kata Lukman.
Mulai 17 Oktober 2019, kata Lukman, pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, kewajiban diberlakukan untuk produk makanan dan minuman serta produk jasa yang terkait dengan makanan dan minuman. Periodenya berlangsung mulai 17 Oktober 2019 sampai dengan 17 Oktober 2024.
Pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal dilakukan secara bertahap mulai 17 Oktober 2019.
Pada tahap kedua, kewajiban sertifikasi akan diberlakukan untuk produk selain makanan dan minuman. Periodenya berlangsung mulai 17 Oktober 2021. Batas waktu akhirnya bervariasi, mulai tujuh tahun, sepuluh tahun, sampai 15 tahun. ”Perbedaan rentang waktu ini tergantung kompleksitas masing-masing produk,” kata Lukman.
Meski demikian, Lukman menegaskan, penahapan sertifikasi tersebut tidak berlaku bagi produk yang kewajiban halalnya sudah ditetapkan dalam perarutarn perundangan-perundangan dan produk yang sudah bersertifikat halal sebelum Undang-Undang JPH berlaku.
Selama masa penahapan tersebut, Lukman melanjutkan, BPJPH akan melakukan pembinaan kepada pelaku usaha yang produknya wajib bersertifikat halal. Untuk itu, pendekatan persuasif akan dikedepankan. Penindakan hukum baru akan dilakukan setelah lewat ambang batas yang akan diatur kemudian dalam peraturan menteri agama.
”Selama masa penahapan, produk yang masih beredar dan belum memiliki sertifikat halal tetap diizinkan beredar meskipun tidak mencamtumkan label halal di kemasan produk mereka,” kata Lukman. (LAS)