Sandiaga Uno Ingin Partai Gerindra Menjadi Oposisi
Politisi Partai Gerindra, Sandiaga Uno, secara pribadi menginginkan partainya tetap menjadi oposisi pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politisi Partai Gerindra, Sandiaga Uno, secara pribadi menginginkan partainya tetap menjadi oposisi pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sandiaga menegaskan, sikap politik yang diambil Gerindra saat rapat pimpinan nasional adalah politik gagasan.
Sandiaga mengakui, posisi politik Partai Gerindra pasca-Pemilu 2019 belum bisa ditentukan, apakah berada di dalam koalisi pemerintahan atau menjadi oposisi. Namun, secara pribadi, Sandiaga menganggap penting fungsi kontrol atau checks and balances sehingga demokrasi Indonesia bisa semakin diperkuat.
”Saya berpendapat secara pribadi, alangkah baiknya yang belum terpilih seperti saya berada di luar pemerintahan untuk memberikan masukan-masukan secara konstruktif dan bersahabat,” kata Sandiaga di kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019).
Sekalipun nantinya menjadi oposisi, Sandiaga menjelaskan, Partai Gerindra tidak akan menjadi oposisi yang menghambat program-program pembangunan ke depan.
Bagi Sandiaga, pemerintah tetaplah membutuhkan kritik, saran, dan masukan. Dia menilai masukan dan saran yang bertujuan hanya membuat senang Presiden amat berbahaya dan tidak konstruktif.
”Gerindra sangat siap menjadi bagian checks and balances tersebut, memberikan masukan yang konstruktif sehingga lima tahun ke depan masyarakat bisa fokus dan tidak gaduh,” katanya.
Masukan yang konstruktif dari Partai Gerindra ke pemerintah salah satunya adalah strategi dorongan besar pertumbuhan ekonomi. Strategi, konsepsi, atau gagasan itu telah diserahkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kepada Presiden Joko Widodo.
Melalui instrumen itu, Sandiaga menyatakan, Partai Gerindra siap jika diminta mengeksekusi gagasan-gagasan dalam strategi dorongan besar pertumbuhan ekonomi.
Hal itu sejalan dengan apa yang ditegaskan Prabowo saat pelaksanaan Rapimnas Partai Gerindra di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Saat Rapimnas, Prabowo menyatakan tiga sikap politik Gerindra. Inti dari pernyataan sikap Prabowo itu, kata Sandi, politik yang didorong oleh Partai Gerindra adalah politik gagasan.
Disinggung mengenai peluang masuknya Partai Gerindra ke dalam koalisi pendukung Presiden Jokowi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny G Plate berpendapat, partai pengusung atau koalisi Presiden Jokowi lebih penting dari Partai Gerindra.
Masukan yang konstruktif dari Partai Gerindra ke pemerintah salah satunya adalah strategi dorongan besar pertumbuhan ekonomi
Menurut Johnny, salah satu pertimbangan Presiden dalam memutuskan suatu partai masuk atau di luar koalisi adalah soal kesamaan visi dan misi. Johnny mengatakan, partai yang hendak masuk ke koalisi harus menerima visi dan misi Presiden terpilih dan tidak membawa visi-misi sendiri.
”Kalau Gerindra dan Demokrat, kan, kampanyekan yang lain. Kalau mau masuk (koalisi), terima dulu (visi dan misi Jokowi),” ujar Johnny.
Di sisi lain, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengemukakan, pihaknya tak mempermasalahkan Partai Gerindra bergabung di Koalisi Indonesia Kerja. Akan tetapi, satu hal yang dia garis bawahi adalah Gerindra jangan berperilaku sebagai oposisi ketika masuk ke koalisi.
”Jangan kursinya (menteri) mau, tapi yang tidak enak malah tidak mau,” kata Arsul.
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, memandang Partai Gerindra berkeinginan masuk koalisi pemerintah.
Keinginan untuk bergabung ke pemerintahan itu terlihat pada sikap Gerindra yang menawarkan strategi dan konsepsi kepada Presiden Jokowi. Kini, kata Arya, segala keputusan ada di tangan Presiden Jokowi.
Arya mengingatkan adanya potensi disharmoni dalam koalisi Presiden Joko Widodo jika Partai Gerindra akhirnya jadi bergabung. Saat koalisi sudah terlampau gemuk dan ada partai baru masuk, disharmoni bakal terjadi.
”Selain itu, platform politik Partai Gerindra dan partai lain dalam koalisi Pak Jokowi, kan, berbeda. Ini bisa jadi potensi disharmoni,” ujar Arya.