Pangan fungsional menjadi tren global seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mendapat manfaat kesehatan dan mencegah risiko penyakit melalui makanan. Indonesia berpeluang besar memproduksi pangan fungsional.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Pengunjung melihat produk pangan olahan berbahan umbi porang yang dikembangkan Universitas Gadjah Mada dalam Konferensi Pangan ASEAN Ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2019). Umbi porang atau iles-iles (Amorphophallus muelleri) diketahui kaya glukomanan yang baik untuk diet sehat.
DENPASAR, KOMPAS — Pangan fungsional menjadi tren global seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mendapat manfaat kesehatan dan mencegah risiko penyakit melalui makanan. Indonesia memiliki peluang besar untuk memproduksi pangan fungsional, tetapi riset dan regulasi belum sepenuhnya mendukung.
Perkembangan pangan fungsional itu disampaikan Mary K Schmidl, Presiden International Union of Food Science and Technology (IUFoST), saat menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Pangan ASEAN Ke-16 di Denpasar, Bali, Rabu (16/10/2019). Pertemuan itu bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober.
Konferensi ini diikuti oleh 500 peneliti dan pelaku bisnis terkait pangan dari ASEAN, selain juga beberapa negara lain, seperti Jepang, China, Korea Selatan, Amerika, dan negara-negara Eropa. ”Permintaan konsumen terhadap pangan sehat, fungsional, suplemen, dan nutraceuticals tumbuh pesat secara global. Total nilai pasarnya diperkirakan mencapai 670 miliar dollar AS pada 2024,” ujarnya.
Permintaan konsumen terhadap pangan sehat, fungsional, suplemen, dan nutraceuticals tumbuh pesat secara global. Total nilai pasarnya diperkirakan mencapai 670 miliar dollar AS pada 2024.
Tingginya permintaan konsumen pangan sehat dan fungsional itu disebabkan ada perubahan perspektif masyarakat. Menurut Schmidl, penyakit kronis, seperti kanker, jantung, stroke, dan diabetes, telah menjadi pembunuh utama di banyak negara, terutama negara maju. Pola dan ragam makanan tidak sehat dianggap berkontribusi besar memicu masalah kesehatan kronis ini.
Pangan fungsional merupakan bahan makanan yang secara ilmiah terbukti dapat memberi manfaat tambahan di samping fungsi gizi dasarnya. ”Makanan fungsional pertama kali dikenalkan di Jepang tahun 1980-an dan dikembangkan untuk mengurangi biaya kesehatan. Sejak itu, sudah lebih dari 1.000 ragam makanan fungsional diproduksi, mulai dari beras hipoalergi hingga minuman kalsium,” ujarnya.
Ahli teknologi pangan dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Sri Raharjo, dalam diskusi terfokus mengatakan, kebutuhan dan peluang pengembangan pangan fungsional di Indonesia tinggi. Hal ini terjadi seiring dengan menuanya populasi, perubahan gaya hidup konsumen yang menuntut pangan natural dan organik, serta meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya pencegahan penyakit.
Meski masih ketinggalan dibandingkan negara tetangga, jumlah penelitian terkait pangan fungsional di Indonesia meningkat signifikan. Berbasis data Scopus pada Oktober 2019, fokus utama pangan fungsional di Indonesia umumnya meliputi antioksidan, diet serat, probiotik, dan prebiotik.
Menurut Sri, kaitan antara pangan fungsional dan kesehatan masyarakat sudah banyak dikaji secara ilmiah. Sekalipun demikian, hal ini perlu diatur agar tidak terjadi klaim yang keliru, selain juga mencegah dampak negatif dan memantau keamanannya.
Susana dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia mengatakan, pengembangan pangan fungsional di Indonesia terkendala aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Peraturan BPOM tahun 2016 menghilangkan aturan tentang pangan fungsional, salah satunya terkait klaim pangan serat. Padahal, peraturan BPOM tahun 2011 justru mengakui pangan fungsional. Hal ini menyebabkan industri kesulitan mempromosikan pangan fungsional mereka.
Dalam diskusi, Eni Harmayani dari UGM percaya bahwa pangan fungsional bisa meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Indonesia juga mempunyai sejarah panjang tentang makanan fungsional, di antaranya jamu tradisional. ”Kita juga punya megabiodiversitas yang berpotensi menjadi pangan fungsional, selain riset kita butuh mendorong industri di sektor ini untuk mengurangi risiko penyakit kronis di masyarakat. Ini berpeluang mengurangi beban BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan,” katanya.
Yusra Egayanti, Kepala Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan Tertentu BPOM, menambahkan, regulasi akan terus diperbarui. ”Ke depan, kita bisa pertimbangkan merevisi aturan guna mendukung pengembangan pangan fungsional ini, termasuk juga standar untuk uji klinisnya,” ujarnya.
Basil Mathioudakis, konsultan legislasi pangan dari Uni Eropa, mengatakan, regulasi terkait pangan fungsional dibutuhkan untuk memberi kepastian, baik bagi industri maupun masyarakat. Klaim terkait pangan sehat dan fungsional yang diajukan industri bisa diverifikasi melalui regulator berbasis kajian ilmiah. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar kehidupan dan kesehatan manusia serta perlindungan terhadap konsumen.
Sejauh ini terdapat 30 klaim pangan bernutrisi dan 267 klaim pangan untuk kesehatan yang sudah diakui Uni Eropa. Sekalipun demikian, terdapat 2.051 klaim dari industri yang tidak diakui dan 2.098 klaim pangan untuk kesehatan yang masih ditangguhkan oleh otoritas Uni Eropa.