Manfaatkan Arena untuk Pelatnas
Arena-arena olahraga yang dibangun dengan biaya besar banyak yang terbengkelai, termasuk warisan Asian Games 2018. Pelatnas terpusat dan permanen bisa menjadi solusi merawat arena, sekaligus memperbaiki prestasi atlet.
Pasca-Asian Games Jakarta-Palembang 2018, sejumlah warisan infrastruktur olahraga justru tak terpakai. Bahkan, beberapa aset di kompleks olahraga Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, sepi dari kegiatan olahraga sehingga mulai terbengkalai.
Di Jakarta, cabang olahraga yang melakukan pemusatan latihan nasional (pelatnas) di kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK) beberapa kali terusir jika ada rekanan komersial pengelola GBK yang menggelar kegiatan di lokasi yang sama.
Lebih baik, arena itu digunakan untuk kegiatan pelatnas yang permanen.
Padahal, warisan infrastruktur olahraga itu idealnya dimanfaatkan untuk pelatnas permanen yang terpusat. Dengan pelatnas yang berada di satu lokasi, proses pemantauan akan lebih mudah.
”Sekarang, pelatnas justru tersebar ke mana-mana, ada di Jakarta, ada di Surabaya, dan tempat lainnya. Itu juga tidak permanen. Bulan ini pelatnas di sini, nanti bulan depan sudah di sana, dan bulan berikutnya sudah di tempat lain lagi. Kasihan atletnya. Bagaimana mau fokus latihan kalau tempat latihannya pindah-pindah terus,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro.
Evaluasi tersebut disampaikan dalam seminar Refleksi Setahun Asian Games 2018 dan Rencana Peningkatan Prestasi Olahraga Indonesia di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Asian Games 2018 dilaksanakan di dua tempat utama di Indonesia, yakni Jakarta dan Palembang. Pelaksanaan di Jakarta dipusatkan di kompleks olahraga GBK. Sementara itu, pelaksanaan di Palembang dipusatkan di kompleks olahraga Gelora Sriwijaya Jakabaring (GSJ).
Sayangnya, menurut pantauan Bappenas, beberapa arena di kompleks GSJ tidak dimanfaatkan dengan optimal bahkan cenderung terbengkalai setelah Asian Games 2018 usai. Bahkan, Bambang mengungkapkan, dirinya mendapatkan informasi bahwa arena akuatik di GSJ pernah menunggak listrik. Situasi itu sempat membuat air tidak bisa diganti sehingga keruh dan kotor.
”Itu sangat membuat miris. Sebab, arena-arena itu dibangun dengan biaya mahal. Lebih baik arena itu digunakan untuk kegiatan pelatnas yang permanen. Dengan ada kegiatan permanen, arena itu bisa lebih terkontrol dan terawat,” kata Bambang.
Memang Arena Akuatik Jakabaring bukan warisan langsung Asian Games 2018. Arena itu dibangun dan digunakan untuk SEA Games 2011 lalu. Namun, arena itu berada tak jauh dari arena-arena yang digunakan untuk Asian Games 2018, seperti Stadion Utama Gelora Jakabaring, lapangan tenis, lapangan tembak, dan arena dayung. Semuanya berada dalam satu kompleks.
Di luar itu, berdasarkan pantauan Kompas, rumput Stadion Jakabaring juga mulai tak terawat. Warnanya kuning dan mengering sehingga terlihat seperti lapangan tanah. Padahal, jelang penyelenggaraan Asian Games 2018, rumput itu sangat terawat sehingga warna hijau merona dan berpola garis-garis seperti karpet bak lapangan sepak bola stadion-stadion di Liga Inggris. Pada Asian Games 2018, stadion itu dipakai sebagai tempat pertandingan sepak bola wanita.
Sering terusir
Di Jakarta berbeda lagi. Memang sejumlah arena sudah digunakan oleh beberapa cabang untuk pelatnas, seperti atletik di Stadion Madya, panahan di lapangan panahan, renang di arena akuatik, dan wushu di Gedung Serbaguna GBK. Hanya saja, pelatnas itu bisa terusir jika ada rekanan komersial Pusat Pengelolaan Kompleks (PPK) GBK menggelar kegiatan di tempat dan waktu yang sama dengan pelatnas.
Atletik misalnya. Beberapa kali mereka tergusur dari Stadion Madya karena ada kegiatan sepak bola Liga 1 dan pertandingan timnas kelompok usia. Beberapa kali para atlet tidak bisa latihan sama sekali. Kadang, mereka harus repot-repot pindah latihan ke Stadion Utama GBK. Di stadion utama pun mereka tidak bisa langsung latihan, melainkan sering kali menunggu komunitas pelari hobi selesai berlatih di sana.
Paling miris seusai kejuaraan marching band di Stadion Madya pada Selasa (8/10) lalu, banyak sampah yang berserakan di lintasan lari. Bahkan, tak sedikit sampah itu yang membahayakan atlet pelatnas berlatih, yakni sisa kawat yang berserakan dan baut yang masih menancap di lintasan.
Ketua Umum PB PASI Bob Hasan mengatakan, dahulu, Presiden Soekarno membangun kompleks GBK untuk Asian Games 1962 dan setelahnya menjadi pemusatan pembinaan olahraga nasional. Namun, sehabis Asian Games 1962, justru banyak arena di GBK yang terbengkalai. Bahkan, Stadion Madya sempat menjadi tempat judi balap anjing.
”Kemudian, saya minta dengan Pak Harto (Presiden Soeharto) untuk mengelola Stadion Madya khusus untuk pelatnas atletik sebelum Kejuaraan Asia Atletik di sini (1985). Sejak itu, kami yang kelola tempat ini. Tapi, ketika mau Asian Games 2018, kami serahkan lagi pengelolaannya. Setelah Asian Games 2018, kami justru dinomorduakan. Sering kali kami tergusur dari sini. Harusnya pengelola tempat ini ingat dengan sejarah,” ujar Bob.
Membangun kebanggaan
Pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak menuturkan, keberadaan pelatnas permanen yang terpusat untuk cabang olahraga prioritas terutama yang punya prestasi dunia, seperti Olimpiade, sangat penting. Dengan ada pelatnas permanen, atlet bisa latihan dengan fokus dan nyaman. Baik pelatih maupun pengurus cabang juga bisa melakukan kontrol atau evaluasi dengan optimal. Sebab, mereka tidak perlu capai-capai berpindah ataupun memikirkan lokasi baru untuk pelatnas.
Selain itu, keberadaan pelatnas permanen akan menjadi kebanggaan tersendiri untuk atlet maupun cabang olahraga bersangkutan. Hal itu bisa menjadi citra tersendiri bagi masyarakat yang membuat mereka kenal dan ingin menjadi bagian dari pelatnas tersebut suatu hari nanti.
”Kita lihat pelatnas bulu tangkis di Cipayung (Jakarta Timur). Dengan pelatnas permanen, atlet, pelatih, dan pengurus bisa menyiapkan latihan dengan optimal sehingga prestasi mereka terus berkelanjutan dan membanggakan. Tempat pelatnas itu pun sakral di masyarakat. Hampir semua pebulu tangkis muda bercita-cita bisa masuk pelatnas di Cipayung,” ujar Fritz.
Menurut Fritz, pelatnas permanen di satu tempat pernah dilakukan Indonesia ketika pelatnas hampir semua cabang dilakukan di Senayan pada 1980-an. Ketika itu, olahraga Indonesia cukup disegani di Asia. Namun, belakangan, cara itu tidak diteruskan. Sementara itu, negara lain mencoba menirunya dan terbukti sukses saat ini, seperti Thailand.
”Sekarang kita bisa melakukannya lagi. Kita punya warisan Asian Games 2018 seperti kompleks GBK dan kompleks GSJ. Kita juga punya warisan PON di Kalimantan Timur, Riau, dan Jawa Barat. Daripada aset mahal itu terbengkalai, lebih baik tempat-tempat itu dipakai untuk pelatnas atau pelatda,” kata Fritz.