Di Balik Turunnya Kepuasan Publik terhadap Kinerja Jokowi
Pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo akan resmi bergulir setelah dilantik pada Minggu (20/10/2019). Namun, di akhir masa jabatan periode pertama, pemerintahan Jokowi mengalami penurunan kepuasan publik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo akan resmi bergulir setelah dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2019. Namun, di akhir masa jabatan periode pertama, pemerintahan Jokowi mengalami penurunan kepuasan publik. Gejolak politik dan kebijakan yang tidak mengedepankan aspirasi publik dinilai menjadi faktor yang melatarbelakangi penurunan ini.
Penurunan kepuasan publik ini tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 19 September-4 Oktober 2019. Jajak pendapat tersebut melibatkan 1.200 responden berusia minimal 17 tahun yang tersebar di 34 provinsi dengan margin of error sebesar lebih kurang 2,83 persen.
Hasil jajak pendapat tersebut menyatakan, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi sebesar 58,8 persen. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil jajak pendapat yang sama pada Maret lalu. Saat itu, tingkat kepuasan publik sebesar 59,6 persen.
Dari awal pemerintahan Jokowi periode pertama pada 2014 hingga berakhir Oktober 2019, tingkat kepuasan publik memang cenderung fluktuatif atau mengalami peningkatan dan penurunan.
Tingkat kepuasan publik ini pernah mengalami peningkatan yang signifikan dari Oktober 2015 ke April 2016. Pada Oktober 2015 tercatat tingkat kepuasan publik sebesar 54,3 persen, sementara pada April 2016 sebesar 67,4 persen.
Kepuasan publik terhadap pemerintahan periode pertama Jokowi bahkan pernah naik hingga menyentuh angkat 72,2 persen pada April 2018. Namun, sejak saat itu hingga sekarang, tingkat kepuasan publik justru cenderung menurun.
Selain Litbang Kompas, Parameter Politik Indonesia juga melakukan survei evaluasi kinerja Jokowi dan harapan publik di periode kedua. Survei tersebut dilaksanakan pada 5-12 Oktober 2019 yang melibatkan 1.000 responden dari 34 provinsi dengan margin of error sebesar lebih kurang 3,1 persen.
Dari hasil survei yang dirilis Kamis (17/10/2019) di Jakarta tersebut, Parameter Politik Indonesia mencatat, sebanyak 23,3 persen responden menilai kinerja Jokowi buruk dan 44 persen responden menilai baik. Sementara 33,4 responden menjawab biasa saja dan 2,3 persen lainnya tidak menjawab.
Hasil survei juga menyebut, sebanyak 24,8 persen responden menilai, keberhasilan pemerintahan Jokowi yang paling dapat dirasakan adalah pembangunan infrastruktur. Disusul kebijakan tentang bantuan sosial atau dana desa sebesar 10,9 persen dan program kesehatan sebanyak 6,6 persen.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menyatakan, jika dilihat dari kecenderungannya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi di periode pertama memang mengalami penurunan. Sebab, dari survei sebelumnya yang tidak dipublikasikan, rata-rata tingkat kepuasan publik dari kinerja Jokowi mencapai 58 persen.
Adi mengatakan, meski dinilai sukses, pembangunan infrastruktur dan bansos dari Jokowi ternyata belum mampu mengobati kesulitan ekonomi rakyat. Hal ini terpotret dari 40 persen responden yang menjawab ekonomi dan lapangan pekerjaan masih menjadi masalah paling mendesak yang harus diprioritaskan.
Selain itu, sebanyak 26,5 persen responden juga menilai kekurangan pemerintah yang paling dirasakan adalah kemiskinan, pengangguran, dan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.
Gejolak politik
Adi menilai, sejumlah faktor yang turut memengaruhi penurunan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi terkait gejolak politik yang terjadi beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, pemerintah dan DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Undang-Undang Pertanahan, hingga pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Publik menilai, revisi UU tersebut masih kontroversial karena dapat melemahkan KPK dan merusak tatanan sosial masyarakat. Selain itu, revisi UU tersebut juga dinilai tergesa-gesa dan tidak melibatkan aspirasi atau masukan publik.
”Dari survei kami, korupsi dan penegakan hukum yang lebih merata menjadi isu yang selalu masuk dan disebutkan, baik secara terbuka maupun tertutup. Jadi, publik menginginkan bagaimana pemerintah memperkuat KPK dan hukum,” ujar Adi.
Hal senada diungkapkan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes. Menurut dia, sejumlah faktor yang turut melatarbelakangi penurunan kepuasan publik antara lain terkait kurang inovasi dari pemerintah Jokowi, masalah ekonomi yang belum seluruhnya teratasi, kondisi keamanan Papua, hingga dikesampingkannya aspirasi publik.
”Suara publik selama ini selalu menjadi prioritas pengambilan kebijakan dalam pemerintahan Jokowi. Namun, beberapa kebijakan terakhir dari pemerintah seakan tidak mendengarkan suara publik. Jadi, publik melihat pemerintah semakin berjarak dan berubah,” tuturnya.
Suara publik selama ini selalu menjadi prioritas pengambilan kebijakan dalam pemerintahan Jokowi. Namun, beberapa kebijakan terakhir dari pemerintah seakan tidak mendengarkan suara publik.
Sementara itu, politisi Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago, memandang bahwa kepuasan dan kepercayaan publik terhadap kinerja Jokowi masih tinggi. Menurut dia, kepercayaan publik yang masih tinggi ini tidak terlepas dari empat program komprehensif dari Jokowi, yakni melanjutkan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, penguatan SDM, dan peningkatan investasi.
Pada aspek pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, Irma juga menilai, masyarakat menengah ke bawah masih percaya terhadap segala kebijakan dari Jokowi. Masyarakat menengah ke bawah ini dinilai tidak terpengaruh terhadap hoaks yang diciptakan sekelompok orang.
Meski demikian, Irma mengakui, masih terdapat sejumlah catatan yang perlu diperkuat pemerintahan Jokowi di periode kedua nanti. Salah satu prioritasnya terkait persoalan reformasi birokrasi.
Aspirasi publik
Agar kepuasan dan kepercayaan publik kembali naik, baik Adi maupun Arya sepakat agar pemerintahan periode kedua Jokowi perlu kembali melibatkan dan mendengarkan aspirasi publik. Sebab, kekuatan Jokowi selama ini adalah selalu melibatkan rakyat dalam setiap proses pengambilan kebijakan politik dan hukum yang cukup strategis.
”Jadi catatan ke depan untuk pemerintah ialah jangan pernah menggembok komunikasi politik kepada publik. Ini yang kemudian harus dilihat secara utuh. Sebab, rakyat sudah cukup terbuka dan cerdas sebagai bagian dari proses mengawasi setiap proses politik yang ada di negeri ini,” kata Adi.
Selain itu, Arya menambahkan, agenda pengumuman kabinet dalam waktu dekat juga dapat menjadi momentum untuk Jokowi kembali mendapatkan kepercayaan publik. Menurut dia, publik akan menilai bahwa Jokowi masih dapat dipercaya untuk membenahi sejumlah persoalan jika memilih menteri yang memiliki rekam jejak baik, profesional, dan kompeten di bidangnya.
”Publik juga akan mendapatkan harapan kembali jika pemerintah menerbitkan Perppu KPK. Lalu, langkah yang akan diambil pemerintah terkait persoalan ekonomi juga akan menjadi catatan publik ke depan,” ucapnya.