Untuk Capai Target, Strategi Energi Terbarukan Harus Jelas
Strategi pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus jelas cara mencapainya. Indonesia diperkirakan sulit merealisasikan target bauran energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus jelas cara mencapainya. Indonesia diperkirakan sulit merealisasikan target bauran energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Apalagi, pemerintah cenderung mendukung energi fosil, melalui pemberian subsidi, ketimbang energi terbarukan.
”Tidak ada penjelasan detail bagaimana mencapai target 23 persen energi terbarukan atau bagaimana pembiayaannya. Target dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sepertinya sulit dicapai karena strateginya kurang jelas,” ujar Ari Soemarno, anggota Bimasena Club, perkumpulan pemerhati pertambangan, minyak, dan gas bumi, dalam acara BP Energy Outlook 2019, Rabu (16/10/2019), di Jakarta.
Apalagi, lanjut Ari, kebijakan energi pemerintah lebih cenderung pada pengembangan energi fosil ketimbang energi terbarukan. Hal ini terlihat dalam pemberian subsidi untuk bahan bakar minyak jenis solar dan elpiji 3 kilogram. Apalagi, neraca perdagangan migas Indonesia terus-menerus defisit dalam beberapa tahun terakhir.
”Pemberian subsidi energi tidak menjadi masalah selama diberikan kepada penerimanya, bukan pada komoditasnya,” ujar Ari.
Target energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025 setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 megawatt. Target tersebut dinaikkan menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Adapun penggunaan minyak bumi dan batubara dikurangi pada 2025 masing-masing menjadi 25 persen dan 30 persen. Berikutnya, pada 2050, porsi minyak bumi terus diturunkan menjadi 20 persen dan batubara tinggal 25 persen.
Dalam paparannya, Group Chief Economist BP Spencer Dale menyampaikan, sebanyak 85 persen pasokan energi global pada 2040 dihasilkan dari energi terbarukan dan gas alam. Keduanya adalah jenis energi rendah karbon. Tren global menunjukkan, porsi pemanfaatan energi terbarukan dan gas alam terus meningkat.
”Di Indonesia, permintaan energi primer tumbuh 4,9 persen pada 2018 atau jauh di atas rata-rata tahunan yang sebesar 2,8 persen pada periode 2007-2017,” ujar Spencer.
Menurut dia, minyak menyumbang 45 persen penggunaan energi primer Indonesia pada 2018. Sementara produksi batubara naik 19 persen, sedangkan produksi minyak turun 3,5 persen pada tahun tersebut.
Meski demikian, berdasarkan data statistik BP 2019, produksi biomassa dan panas bumi Indonesia meningkat 8,9 persen pada 2018. Di sektor pembangkit listrik, energi terbarukan menyumbang 5,5 persen pada 2018 atau naik tipis dari 5,3 persen pada 2017. Produksi bahan bakar nabati melonjak drastis 50.000 barrel setara minyak per hari di 2017 menjadi 91.000 barrel setara minyak per hari di 2018.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi Pameran Teknologi Pendingin, Tata Udara, dan Refrigerasi Indonesia (RHVAC) 2019 Ke-5 di Jakarta, Kamis (10/10/2019), mengatakan, momentum penghematan subsidi listrik perlu ditopang lewat program keberpihakan negara dengan mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Dia mencontohkan, pelanggan 450 volt ampere (VA) rata-rata mengonsumsi listrik 50 kWh (kilowatt hour) per bulan. Jika dipasangi panel surya berkapasitas 1 kWp (kilowatt peak atau satuan daya produksi tertinggi hasil panel surya) per rumah, produksi listrik bisa mencapai 105 kWh per bulan.
Potensi penghematan subsidi ditaksir Rp 588.000 per tahun per pelanggan lewat PLTS. Selain itu, ada juga potensi sisa pemanfaatan listrik 55 kWh per bulan yang bisa disalurkan ke PLN bernilai Rp 52.000. Untuk mendorong PLTS, keterlibatan masyarakat dan industri harus ditingkatkan.