Ketua MPR: Presiden Tidak Akan Jadi Mandataris MPR
Terkait rencana amandemen UUD 1945, pimpinan MPR menjamin bahwa Presiden tidak akan menjadi mandataris MPR. Saat ini MPR masih terus mengkaji rencana amandemen UUD 1945 dan menyaring aspirasi masyarakat.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Terkait rencana amandemen UUD 1945, pimpinan MPR menjamin bahwa Presiden tidak akan menjadi mandataris MPR. Saat ini MPR masih terus mengkaji rencana amandemen UUD 1945 dan menyaring aspirasi masyarakat.
Ketua MPR RI dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, para pimpinan MPR telah membicarakan wacana amandemen UUD 1945 bersama dengan Presiden Joko Widodo, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/10/2019). Bambang menjamin, amandemen tidak akan menjadi bola liar.
"Selain itu, saya menjamin, Presiden tidak akan menjadi mandataris MPR. Cukup Megawati Soekarnoputri, Presiden yang menjadi mandataris MPR terakhir pada 2002," ucapnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Bambang mengatakan, Jokowi pun merespon positif wacana amandemen tersebut. Selain itu, tidak akan ada penambahan masa jabatan presiden dalam proses amandemen ini.
"Masa jabatan presiden tetap maksimal 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5 tahun," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, saat ini ada Badan Pengkajian MPR yang akan menerima masukan dari berbagai elemen masyarakat terkait proses amandemen.
"Presiden memberikan kesempatan kepada para pimpinan MPR yang baru untuk menerima kajian dan usulan dari masyarakat," ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, wacana Presiden menjadi mandataris MPR kembali muncul karena para ketua umum maupun elit parpol sulit untuk meraih suara rakyat.
"Oleh sebab itu, mereka lebih menginginkan Presiden menjadi mandataris MPR agar nantinya Presiden kembali dipilih oleh fraksi yang ada di MPR," katanya.
Menurut Feri, dengan dipilihnya Presiden oleh fraksi yang ada di MPR, hal ini akan memunculkan lobi-lobi politik antara para elit parpol yang ingin menjadi Presiden dengan para anggota fraksi. Ongkos politik pun akan dialokasikan untuk kebutuhan lobi-lobi tersebut.
"Presiden nantinya juga harus menjalankan aturan-aturan yang ditetapkan oleh MPR, seperti harus mengikuti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berorientasi pada kepentingan parpol, bukan kepentingan rakyat," katanya.
Feri menjelaskan, proses amandemen tersebut harus dikawal, apalagi muncul rencana untuk dilakukan amandemen UUD 1945 secara menyeluruh.
Dipilihnya Presiden oleh fraksi yang ada di MPR akan memunculkan lobi-lobi politik antara para elit parpol yang ingin menjadi Presiden dengan para anggota fraksi
"Tidak ada yang bisa menjamin secara pasti bahwa nantinya amandemen tidak menjadi bola liar, karena keputusan amandemen akan mengikuti suara dari mayoritas fraksi," ucapnya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mengatakan, wacana amendemen memerlukan dukungan dan kesepakatan dari semua fraksi. Sebab, syarat yang harus dipenuhi tidak mudah. Pertama, agenda amendemen harus diusulkan 1/3 anggota MPR, yang berarti minimal diusulkan 237 anggota MPR.
Kedua, sidang MPR untuk membahas amendemen baru bisa dilakukan jika dihadiri sedikitnya 2/3 anggota MPR atau 474 orang. Ketiga, amendemen harus disetujui sekurang-sekurangnya 50 persen ditambah satu dari semua anggota MPR, atau minimal 357 orang.
”Kalau ada satu atau dua partai berbeda, tidak bisa. Perlu ada kesepakatan politik. Jika ada yang mau, ada yang tidak, tak akan berjalan,” katanya. (KOMPAS, 15 Oktober 2019)