Pemerintah didesak mengantisipasi dampak kekeringan panjang pada stok beras nasional. Pemerintah juga diminta mewaspadai kemungkinan gejolak harga beras (Kompas, 15/10).
Kemarau tahun ini diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika lebih kering dibandingkan dengan 2018. Kekeringan yang melanda sebagian besar sentra produksi beras juga meluas. Lahan yang terdampak dan mengalami gagal panen pada Januari-Oktober 2019, menurut Kementerian Pertanian, lebih luas dibandingkan dengan periode sama 2018. Data BPS juga mengungkapkan luas panen dan produksi sembilan bulan pertama 2019 yang lebih rendah dari 2018.
Artinya, tanpa didukung stok beras nasional yang solid, kondisinya bisa lebih serius dari 2018, dengan kemungkinan terjadi gejolak harga pada akhir 2019 hingga awal 2020. Pemerintah dan Bulog optimistis stok nasional 2,5 juta ton aman hingga panen raya April 2020 sehingga pemerintah tak merasa perlu mengeluarkan izin impor. Sejauh ini juga belum ada permintaan untuk operasi pasar di daerah-daerah.
Kondisi ini bisa kita baca dari dua kemungkinan. Belajar dari kasus-kasus kekeringan sebelumnya, pemerintah kali ini bisa jadi sudah lebih siap mengantisipasi, dengan lebih serius membangun stok, melalui penyerapan dari sentra produksi beras di luar Jawa yang relatif tak terdampak kekeringan.
Atau sebaliknya, pemerintah terlalu menyepelekan dampak dari kekeringan. Pantauan yang ada, wilayah terdampak terus meluas, dengan kemarau diperkirakan berlangsung hingga November.
Kalangan pengamat memprediksi terjadinya penurunan produksi sedikitnya 2 juta ton akibat kekeringan dan pergeseran tanam. Karena itu, sudah sewajarnya jika mereka mendesak dilakukan pemetaan stok secara akurat.
Bukan sekali ini terjadi, pemerintah mengklaim surplus produksi padi dan stok beras, tetapi kelangkaan dan gejolak harga terjadi di pasar, dibarengi impor yang terus meningkat. Kita tidak ingin kesimpangsiuran data stok membuat pemerintah lambat mengambil keputusan untuk impor sehingga terjadi krisis pasokan dan gejolak harga tajam di pasar beras dalam negeri seperti terjadi pada 2015 dan 2017.
Semua ini akibat ketidakakuratan data pangan, yang tak jarang kemudian memunculkan distorsi kebijakan yang merugikan banyak pihak—petani, industri, perdagangan, dan konsumen—dan hanya menguntungkan pihak-pihak yang kemudian memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.
Di luar itu, yang lebih penting tentu mengintensifkan upaya jangka pendek mengatasi dampak kekeringan di lapangan. Kita berharap upaya Kementan mengompensasi lahan sawah kekeringan, dengan menanami 670.000 ha lahan kering dan rawa di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, berjalan efektif.
Pemerintah juga didesak lebih gencar membuat program seperti hujan buatan, pompanisasi, dan pembuatan embung.
Kita juga berharap upaya jangka panjang pembangunan dam, waduk, perbaikan jaringan irigasi, serta infrastruktur perdesaan beberapa tahun terakhir mulai membuahkan hasil dalam ikut menekan dampak kekeringan pada produksi pangan. Belajar dari gejolak tahun-tahun sebelumnya, kita tak boleh lagi bermain-main dengan tata kelola dan kebijakan pangan mengingat besarnya dampak pangan, khususnya beras, pada stabilitas ekonomi dan angka kemiskinan.