Sebanyak 77 perupa memamerkan 78 karya mereka di Bentara Budaya Jakarta pada 11-19 Oktober 2019. Pada pameran seni rupa Japuik Tabao Jilid 3 ”Ngumpulke Balung Pisah” ini mereka mencoba menyampaikan aspirasinya.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Dari balik lantai, sosok Presiden pertama RI Soekarno tiba-tiba bangkit menyeruak. Tangan kirinya mengangkat nampan berisi burung garuda bakar dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika di kaki, dan lambang lima sila Pancasila tergantung di kepala burung garuda.
Patung Bung Karno bertopi koki itu tampak sedang berteriak gelisah. Ia seolah-olah tidak terima menghadapi kenyataan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, dilucuti seluruh bulu-bulunya kemudian dipanggang untuk disantap orang-orang tak bertanggung jawab.
Inilah instalasi karya perupa Sumarwan berjudul ”Bangkit#2 Ngelingke” yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 11-19 Oktober 2019. Dengan karyanya ini, Sumarwan bukan hendak mengolok-olok lambang negara, tetapi sebaliknya mengajak publik untuk berefleksi lebih dalam tentang situasi kebangsaan akhir-akhir ini.
”Jika Bung Karno mengetahui bagaimana persatuan bangsa kita sedang terancam akhir-akhir ini, mungkin beliau akan bangkit dan ngelingke (mengingatkan) kita semua. Beliau pasti tidak rela jika bangsa ini tercerai-berai,” ucap Sumarwan, Kamis (10/10/2019), di sela pembukaan Pameran Seni Rupa Japuik Tabao Jilid 3 ”Ngumpulke Balung Pisah” di Bentara Budaya Jakarta. Pameran yang dibuka pecinta seni rupa Hanifah Komala ini diikuti 77 perupa dengan total 78 karya.
Di sayap kanan Bentara Budaya Jakarta terpajang lukisan berjudul ”Pertemanan” karya Kharisma P Natsir. Untuk menyimbolkan pertemanan, dengan simpel sang perupa membentuk empat figur perempuan yang masing-masing memiliki kekhasan. Sosok paling kiri perempuan berbaju you can see (tanpa lengan), kemudian di sampingnya perempuan berkerudung, di sampingnya lagi perempuan berpakaian penari Jawa, dan di sisi paling kanan perempuan bergaun hitam dengan kalung salib di dada.
Simbolisasi kesatuan juga diangkat seniman I Wayan Sudarsana dengan karyanya yang berjudul ”Kesatuan Kompleksitas”. Lukisan Sudarsana menggambarkan sesosok tubuh dengan puluhan kepala yang tumbuh bercabang-cabang di bagian atasnya. Meskipun terdiri dari begitu banyak individu, mereka pada dasarnya adalah satu kesatuan.
Perupa Bali lainnya, Dewa Made Mustika, mencoba menyuguhkan gambar seekor burung garuda yang tengah mengincar tikus-tikus berdasi, sebuah simbolisasi tegas tentang upaya pemberantasan korupsi yang tengah diupayakan di negeri ini. Ia memberi judul karyanya ”Memburu Penyamun”.
Sebanyak 77 perupa yang terlibat dalam pameran ini masing-masing mencoba menyampaikan aspirasinya. Hal yang menarik di sini adalah pameran yang digagas seniman Barak Seni Yogyakarta, Stefan Buana, sejak 2016 ini sengaja menjadi ajang bertemunya seniman-seniman yang memiliki latar belakang etnis dan budaya yang berbeda-beda.
Pameran yang digagas Stefan Buana sejak 2016 ini sengaja menjadi ajang bertemunya seniman-seniman yang memiliki latar belakang etnis dan budaya yang berbeda-beda.
Japuik Tabao, sebuah idiom dari bahasa Minang yang berarti menjemput kehadiran, menjadi semangat dasar dalam pameran ini. Stefan menilai begitu pentingnya para seniman untuk mau menampilkan keberagaman budaya Indonesia sehingga masyarakat luas dapat menghargai setiap perbedaan yang tampak dalam suatu karya.
Kesatuan dari keberagaman
Keberagaman yang tumbuh bersama ini pula yang ditangkap Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya, ketika melihat puluhan karya rupa seniman dalam pameran ini. Begitu beragam sehingga membuat penikmat seni ingin tahu lebih lanjut dan memicu banyak interpretasi yang berbeda, mulai dari karya yang rumit sampai yang ”terlihat” sederhana.
”Bentara Budaya dengan tangan terbuka ikut memfasilitasi pameran ini, dengan harapan agar keberagaman seni budaya benar-benar tumbuh dan mewujud di seantero wilayah Indonesia” kata Efix Mulyadi.
Perupa-perupa yang menjadi peserta dalam pameran Japuik Tabao ini berasal dari Aceh, Minang, Jakarta, Yogyakarta, Riau, Surabaya, Bali, Manado, Banten, Kalimantan, dan Papua.
”Para seniman itu menjadi gambaran keragaman etnis dan budaya di Indonesia. Japuik Tabao adalah gerakan organik yang bertumbuh, berangkat dari niat baik untuk merajut keberagaman negeri, menumbuhkan semangat untuk bersama membentuk gambaran Indonesia yang beraneka warna, indah, dan terbuka,” ucap Rain Rosidi, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Pameran Japuik Tabao dimeriahkan juga dengan lokakarya musik tradisional bertajuk ”Dialektika Talempong Pacik” bersama Rijal Tanmenan dan kawan-kawan pada Jumat (11/10/2019) pukul 15.00 di Bentara Budaya Jakarta. Lokakarya ini mengajak publik untuk mengenal lebih jauh tentang musik talempong.
Dalam rangkaian pameran ini diputar pula film-film karya sineas muda Rizqy Vajra dan Yudha Wibisono. Film Surau Kito karya Rizqy Vajra dan film Laruik Sandjo karya Yudha Wibisono membawa semangat keberagaman lintas etnis dan budaya. Kedua film ini diputar pada Sabtu (12/10/ 2019) pukul 16.00 di Bentara Budaya Jakarta.