Dari tahun ke tahun volume sampah volume sampah Jakarta terus meningkat. Pertambahan volume sampah semakin tidak terbendung jika tidak ada upaya mengelolanya.
Oleh
Ayu Pratiwi/Nikolaus Harbowo/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Volume sampah rumah tangga di Jakarta diperkirakan meningkat hingga 3,2 juta ton pada 2025. Tren peningkatan ini terjadi setiap tahun seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Karena itu, perlu ada keterlibatan warga dalam mengelola sampahnya sendiri.
Diharapkan volume sampah yang dibuang bisa berkurang. ”Penanganan sampah perlu gerakan semua warga. Cara mengurangi sampah itu dengan memilah sampah yang kemudian bisa dimanfaatkan lebih lanjut,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih, di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Ia memaparkan, volume sampah rumah tangga di Jakarta hingga akhir 2019 diperkirakan sebanyak 3,02 juta ton. Volume sampah, menurut perhitungannya, akan terus naik hingga 3,05 juta ton pada 2020; 3,08 juta ton pada 2021; 3,11 juta ton pada 2022; 3,17 juta ton pada 2024; dan 3,2 juta ton pada 2025.
Upaya lain yang sedang digalakkan saat ini adalah memberi edukasi anak-anak di sekolah bagaimana memilah dan mengelola sampah agar bernilai ekonomi. Dengan demikian, sampah dapat dikurangi dari sumbernya. ”Upaya ini dimulai dari generasi muda, siswa kota, supaya dari awal sudah punya pengetahuan yang benar,” ujar Andono.
Ia menjelaskan, sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan bank sampah. Pelajar sekolah dapat mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang kemudian menukarkannya menjadi saldo tabungan. ”Pimpinan Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga telah merespons upaya ini. Kita akan inklusifkan semua sekolah,” tambah Andono.
Memilah sampah
Mohamad Bijaksana Junerosano, Managing Director Waste4Change, perusahaan sosial yang menyediakan layanan pengelolaan sampah, turut menekankan, melalui pernyataan tertulis, pentingnya peran warga dalam mengelola sampahnya sendiri di rumah. Pengelolaan sampah itu dilakukan dengan memilah sampah dengan benar.
Menurut panduan yang disusun Waste4Change, sampah itu dapat dipilah dalam banyak kategori, termasuk organik (seperti sisa makanan), kertas, plastik, bahan kaca, metal, kayu, karet, dan medis. Ada beberapa di antara sampah itu yang bisa didaur ulang menjadi benda bermanfaat lain.
Sampah sisa makanan, misalnya, bisa didaur ulang menjadi bahan pupuk, sampah bahan kayu menjadi bahan bangunan, dan sampah bahan karet menjadi sepatu atau bahkan untuk membangun jalan beton. Ada pula minyak sayur yang bisa didaur ulang menjadi sabun atau bahan bakar biodiesel.
Apabila Anda terlalu sibuk dan memerlukan bantuan dalam mengelola sampah, Waste4Change menawarkan layanan pengelolaan sampah yang bisa diakses melalui situs waste4change.com/sendyourwaste. Anda hanya perlu mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang dan mengirimkannya ke mitra Waste4Change.
”Layanan itu tidak ada biayanya, tetapi biaya pengiriman ditanggung sendiri. Kalau mau gratis, sampah bisa diantar sendiri ke titik pengumpulan sampah (dropbox) kami yang ada di 100 titik di Jakarta dan 100 titik di Bekasi," tambah Sano. Lokasi dropbox itu dapat dilihat di situs waste4change.com/dropbox.
Korban tewas akibat sampah
Sano menyatakan, tata kelola sampah di Indonesia saat ini masih memprihatinkan dan terbatas dengan pola ”kumpul, angkut, dan buang” tanpa memperkirakan apa yang terjadi setelah sampah itu dibuang. Ia mencatat, pada Juli 2019, seorang petugas kebersihan di Bandung terkena tetanus dan meninggal. Hal tersebut terjadi setelah ia menginjak tusuk sate ketika sedang bertugas. Selain itu, pada Februari 2005, tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah longsor dan menelan korban jiwa sebanyak 140-an orang.
”Kisah ini hanya beberapa dari sekian banyak dampak yang terjadi akibat penanganan sampah yang tidak tepat. Ini bukan masalah teknologi. Kita memiliki masalah dalam tata kelola. Harus diakui bahwa di Indonesia belum tercipta ekosistem yang kondusif terkait manajemen sampah yang bertanggung jawab,” tutur Sano.
Iuran sampah
Bagi Sano, metode pengumpulan iuran atau retribusi sampah saat ini masih belum maksimal sehingga jumlah pelaku yang membayar masih sedikit. ”Di Indonesia, rata-rata retribusi yang terkumpul di bawah 30 persen dari total rumah dan sektor komersial yang seharusnya membayar retribusi,” katanya.
Selain itu, jumlah retribusi sampah juga masih terlalu murah sehingga standar pengelolaan sampah kurang baik dan benar. ”Sebagai contoh, di kota besar seperti Bekasi masih ada praktik besaran retribusi Rp 6.000 per bulan, yang artinya hanya Rp 200 per hari. Keterlaluan. Menjadi sangat wajar jika kemudian pemerintah kota dan kabupaten tidak pernah mampu menangani permasalahan sampah hingga tuntas karena tidak ada dana yang cukup untuk mengelolanya,” ujarnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diprioritaskan untuk hal lain dan sulit dialokasikan untuk mengurus sampah. Dengan demikian, menurut Sano, setiap orang semestinya membayar iuran sampah yang sesuai dengan banyaknya sampah yang dihasilkan. ”Hal ini tepat dan adil karena membuat masyarakat jadi berusaha mengurangi produksi sampah atau mengelola sampah sendiri,” tambahnya.