Ubud Writers and Readers Festival 2019 Angkat Tema Karma
Ubud Writers and Readers Festival kini telah bergulir dua windu. Tahun ini, festival sastra ini mengangkat tema ”Karma” yang dapat dimaknai sebagai hukum sebab dan akibat.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Gianyar, menempuh masa dua windu sejak festival sastra ini digelar pertama kali pada 2004. Kali ini, penyelenggaraan festival sastra ini mengangkat tema ”Karma” yang dapat dimaknai sebagai hukum sebab dan akibat.
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang diinisiasi Janet DeNeefe dan diprakarsai Yayasan Mudra Swari Saraswati, menurut National Program Manager UWRF I Wayan Juniarta, mendapat pengakuan sebagai salah satu festival sastra yang bertahan lama dan menjadi salah satu festival sastra internasional terbaik.
”The Telegraph UK mengakui festival sastra di Ubud ini sebagai satu dari lima festival sastra terbaik dunia,” ujar Juniarta dalam jumpa media di Denpasar, Selasa (15/10/2019).
The Telegraph UK mengakui festival sastra di Ubud ini sebagai satu dari lima festival sastra terbaik dunia.
General Manager UWRF Kadek Sri Purnami menyebutkan, UWRF 2019 akan menghadirkan sekitar 180 pembicara dari sekitar 30 negara. Para pembicara, yang berasal dari kalangan penulis, akademisi, dan sastrawan atau pegiat literasi, akan dihadirkan dalam 170 agenda program selama UWRF yang berlangsung pada 23-27 Oktober. Agenda itu mulai dari diskusi panel, lokakarya, pemutaran film, peluncuran buku, hingga pameran seni dan kegiatan lain.
Purnami menambahkan, UWRF memberikan ruang bagi penulis daerah dan nasional untuk terlibat dalam setiap program. Pada UWRF 2019, sejumlah penulis, seniman, cendekiawan, dan pegiat dari Bali dilibatkan, antara lain Putu Fajar Arcana, Putu Supartika, Made Taro, Debby Lukito Goeyardi, I Gede Agus Darma Putra, dan Rio Helmi. Adapun dari luar Bali, antara lain, Andreas Harsono, Butet Manurung, Debra H Yatim, Didiet Maulana, dan Garin Nugroho.
Purnami menerangkan, UWRF juga memberikan ruang bagi penulis dan pegiat seni untuk mengenalkan karya mereka kepada publik. Beberapa penulis, menurut dia, direncanakan akan meluncurkan buku mereka serangkaian UWRF 2019 di Ubud, antara lain Seno Gumira Ajidarma dengan Nagabumi III, Bara Pattiradjawane dengan Sambal Nation, dan Laksmi Pamuntjak dengan Fall Baby. Dalam acara UWRF 2019 juga diluncurkan buku antologi dwibahasa UWRF 2019 yang memuat karya-karya penulis baru dan penulis terpilih.
Adapun pameran seni yang dilangsungkan serangkaian UWRF 2019 di Ubud antara lain Karma Phala di Casa Luna, Maladjustment di Museum Neka, dan Gundala: A 50 Year Journey di Taman Baca. Festival sastra itu juga disemarakkan dengan pemutaran film dan diskusi di sejumlah lokasi di Ubud, seperti The Woven Path: Perempuan Tana Humba di Betelnut, Kucumbu Tubuh Indahku di Taman Baca, dan 27 Steps of May di Paradiso.
”UWRF juga memberikan ruang bagi anak-anak dan kaum muda untuk beraktivitas melalui program Children and Youth, misalnya membuat komik, menulis puisi, dan belajar jurnalistik,” kata Purnami di Denpasar, Selasa.
Karma
Dalam setiap penyelenggaraannya, UWRF mengangkat tema yang diinspirasi dari filsafat Hindu dan kearifan lokal, tetapi bernilai universal. Pada UWRF 2019, penyelenggara mengangkat ”Karma” sebagai tema besarnya. Karma dapat dimaknai sebagai hukum sebab dan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan.
Pendiri Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana menyebutkan, karma merupakan kode dan sekaligus perilaku bahwa setiap aksi menimbulkan reaksi. ”Dari pohon yang ditanam, buahnya jatuh tidak akan jauh dari pohonnya,” kata Suardana dalam jumpa pers tersebut.
Pengarang dan penulis Bali yang juga peraih Anugerah Sastra Rancage 2018, I Gede Agus Darma Putra, menyatakan, karma secara spiritual dapat pula diterjemahkan sebagai tubuh karena karma juga mengikat seperti halnya tubuh yang terikat. ”Dalam sastra Bali, karma merupakan tujuan menjelang moksa,” ujarnya.
Penulis dan pegiat literasi Debby Lukito Goeyardi menyebutkan, karma dapat memberi kebahagiaan. Ia mengatakan, kegiatan sosial mereka yang memberikan literasi dan edukasi kepada kalangan anak-anak ternyata memberikan dampak kebahagiaan dalam kehidupannya.
Juniarta menambahkan, penyelenggaraan UWRF yang dimulai pada 2004 memberikan dampak ikutan terhadap masyarakat Ubud dan kalangan penulis daerah. Menurut dia, UWRF yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun dijadikan agenda rutin bagi sejumlah wisatawan mancanegara.
”Bulan Oktober yang lazimnya bukan peak season (musim ramai) ternyata menjadi masa peak season di Ubud setidaknya selama empat hari sampai lima hari selama festival berlangsung,” ujar Juniarta.
UWRF juga memberikan ruang bagi penulis dan sastrawan Indonesia untuk dikenal kalangan internasional. Purnami menyatakan, peluang bagi penulis Indonesia untuk dikenal secara internasional diberikan UWRF melalui penerbitan buku antologi dwibahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, selain bertemu secara langsung dengan komunitas pembaca dan penulis dalam kegiatan UWRF.
”Kami juga mengirimkan buku antologi dwibahasa itu ke sejumlah kampus, perpustakaan, dan komunitas, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri,” kata Purnami.