Sawah yang Selalu Menghijau di Sulsel
Sulawesi Selatan sebagai lumbung padi di kawasan timur Indonesia diberkahi alam yang mendukung untuk pertanian. Di provinsi ini, musim tanam dan panen padi dapat berlangsung sepanjang tahun.
Sulawesi Selatan sebagai lumbung padi di kawasan timur Indonesia diberkahi alam yang mendukung untuk pertanian. Di provinsi ini, musim tanam dan panen padi berlangsung sepanjang tahun. Sulawesi Selatan pun menjadi penopang ketahanan pangan nasional.
Hari sudah menjelang sore, Kamis (10/10/2019), tetapi matahari masih bersinar sangat terik. Di tengah persawahan di Kelurahan Romang Polong, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Bahari Daeng Beta (42) ditemani istri, mertua, dan tiga anaknya seolah tak menghiraukan teriknya matahari. Di bawah naungan tenda sederhana, mereka memasukkan padi yang baru dipanen ke dalam karung.
Daeng Pajja (38), istri Daeng Beta, dan ibunya bertugas memasukkan padi ke dalam karung. Daeng Beta kemudian mengikat dan bolak-balik mengangkat karung-karung yang telah terisi penuh ke tepi sawah.
Persawahan di wilayah tersebut tidak semuanya sedang panen. Ada yang sudah selesai, ada yang masih berusia dua bulan sehingga baru bisa dipanen November.
”Memang tidak bersamaan karena ada yang panen tiga kali, ada yang dua kali. Kalau saya, tahun ini hanya dua kali tanam karena kemarin penanaman kedua agak terlambat saya mulai. Ada urusan yang membuat saya terlambat dan kebetulan kami tidak pakai tenaga buruh tani,” kata Daeng Beta.
Daeng Beta dapat menanam padi dan panen di saat banyak daerah persawahan di negeri ini kekeringan akibat kemarau ekstrem. Semua itu karena jaringan irigasi yang melintasi sawahnya. Aliran air irigasi itu berasal dari Bendungan Kampili dan Bili-bili.
Kedua bendungan ini mendapatkan suplai air dari Sungai Jeneberang, sungai terbesar yang membelah wilayah Gowa. Hulu Jeneberang berada di Pegunungan Bawakaraeng yang berbatasan dengan Kabupaten Sinjai.
Sebagian hulu Sungai Jeneberang kondisinya masih bagus walau sebagian juga mulai dirambah untuk perkebunan.
Kepala Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang Sulawesi Selatan Darmawan Bintang mengatakan, meski kemarau, air dari sumber di hulu pegunungan masih mengalir sehingga bendungan terus terisi. ”Sebagian hulu Sungai Jeneberang kondisinya masih bagus walau sebagian juga mulai dirambah untuk perkebunan. Air Bendungan Bili-bili mengairi sawah di wilayah Gowa dan Takalar,” katanya.
Kondisi hampir sama juga terjadi di Kabupaten Maros, kabupaten tetangga di sebelah utara Kota Makassar. Di wilayah Kecamatan Bantimurung, Amarrang, dan beberapa lainnya, hamparan sawah tampak menghijau dan sebagian lagi menguning tanda siap panen.
”Sawah di sini memang tadah hujan, jadi hanya panen dua kali setahun. Kadang, kalau hujan lebih lama, bisa panen tiga kali. Namun, kalau di daerah Bantimurung, rata-rata tiga kali. Dua kali memanfaatkan hujan dan sekali menggunakan air irigasi,” kata Abdul Rahman (61), petani di Kecamatan Lau.
Sumber irigasi di Maros, menurut Darmawan, berasal dari Sungai Lekopancing dan Sungai Maros. Lekopancing mulai surut, tetapi Sungai Maros debitnya masih bagus. ”Sungai Maros masih satu DAS (daerah aliran sungai) dengan Bili-bili,” kata Darmawan.
Tidak semua persawahan di Sulawesi Selatan terjangkau irigasi. Sebagian besar masih tadah hujan. Saat kemarau panjang, sawah tadah hujan itu biasanya ditanami palawija atau buah-buahan, seperti yang dilakukan Abdul Rahman. Tahun ini, dia memilih menanam semangka karena perawatannya lebih mudah pada kondisi kemarau ekstrem. Biasanya, dia menanam sayuran.
Zona iklim
Namun, bukan hanya infrastruktur irigasi yang membuat pertanian Sulawesi Selatan dapat tanam dan panen sepanjang tahun. Campur tangan alam juga turut berandil besar dalam hal tersebut.
Selama ini, pembangunan sektor pertanian di Sulawesi Selatan yang terdiri dari 24 kabupaten/kota dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan kesamaan zona iklim, yaitu sektor barat, sektor timur, dan peralihan. Sektor barat dipengaruhi angin barat dan sektor timur dipengaruhi angin timur. Kedua angin itu sangat erat berkaitan dengan pembentukan hujan dan kemarau.
Sektor barat meliputi beberapa wilayah, yaitu Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Kota Parepare, Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, dan Selayar. Hujan di wilayah sektor barat berlangsung dari Oktober sampai Maret.
Adapun zona iklim sektor timur meliputi wilayah Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Sidenreng Rappang, dan Pinrang. Musim hujan di wilayah sektor timur berlangsung April hingga September.
Sementara sektor peralihan merupakan wilayah antara sektor barat dan timur, yakni meliputi Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Enrekang, dan Kota Palopo.
Baca juga: Kekeringan Terparah Ketiga sejak 1997
Kondisi itu menyebabkan berlakunya dua iklim pada saat bersamaan di Sulawesi Selatan. Saat satu zona dilanda kemarau, zona lainnya mengalami hujan, begitupun sebaliknya. Sering kali juga terjadi, hujan berlebih di satu sektor membuat sebagian wilayah di sektor lain kebagian hujan tersebut.
Hal itu akibat awan hujan ”menyeberang” dari zona iklim satu ke zona iklim lain saat terbawa angin. Maka, sejumlah sawah tadah hujan dapat tanam tiga kali setahun di Sulawesi Selatan.
Pasokan terjaga
Pengaruh musim yang tak seragam itu menjadi berkah bagi petani dan masyarakat. Satu hal yang pasti, musim tanam dan panen yang sambung-menyambung tak membuat kemarau berpengaruh signifikan pada ketersediaan pangan dan gejolak harga.
Berdasarkan Data Dinas Pertanian Sulawesi Selatan, luas areal panen di wilayah ini lebih dari 1 juta hektar dengan produksi pada 2018 sekitar 5,7 juta ton gabah kering giling. Ini setara dengan 3,2 juta ton beras. Dari jumlah ini, surplus beras mencapai lebih 2 juta ton.
Kelebihan produksi itu kemudian dikirim untuk memenuhi kebutuhan di provinsi lain dan juga menjadi cadangan Bulog. Sulawesi Selatan pun tercatat sebagai penghasil beras terbesar keempat nasional setelah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Di sentra-sentra beras, pedagang aktif berburu hampir sepanjang tahun, mengikuti zona iklim itu. Beras biasanya dikapalkan ke sejumlah provinsi melalui Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Nusantara di Parepare, hingga pelabuhan-pelabuhan kecil di beberapa kabupaten.
Perburuan beras itu biasanya membuat harga beli di tingkat petani cukup bersaing. Tak jarang, kondisi ini membuat Bulog kesulitan bersaing dalam membeli beras petani karena menggunakan dasar harga pembelian pemerintah.
Hal lain, sangat jarang terjadi harga beras yang tinggi memicu inflasi di Sulawesi Selatan. Pada Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan mencatat inflasi 0,36 persen. Dua penyumbang inflasi kala itu adalah biaya pendidikan dan harga cabai. Untuk September hingga November, tingkat inflasi diprediksi normal dan baru akan mengalami kenaikan menjelang Natal dan Tahun Baru.
Antisipasi
Walau Sulawesi Selatan memiliki fondasi pertanian yang relatif kokoh, pemerintah provinsi tetap melakukan langkah antisipasi menghadapi kemarau yang kian sulit diprediksi seperti saat ini.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Jumat (11/10/2019), mengatakan, pihaknya telah jauh hari menyiapkan langkah jangka pendek dan jangka panjang, mulai dari menyiapkan benih yang tahan kemarau hingga fokus pada pembenahan DAS dan hulu sungai yang menjadi sumber air irigasi maupun waduk.
”Sulawesi Selatan punya dua pembagian wilayah dengan musim tanam dan panen yang tidak bersamaan. Ini karena musim hujan dan kemarau juga tak datang bersamaan dan membuat masa tanam dan panen di daerah ini ada sepanjang tahun. Artinya, ini berpengaruh pada produksi yang selalu ada. Namun, memang masih banyak yang harus dilakukan untuk memaksimalkan produksi dan tidak sekadar menambah areal pertanaman,” kata Nurdin.
Saat ini, kata Nurdin, Pemprov Sulawesi Selatan fokus membenahi hulu Sungai Jeneberang, Sungai Walannae, Sungai Saddang, Sungai Bila, dan beberapa sungai lain yang menjadi sumber air irigasi dan waduk. Hal ini dilakukan sembari menunggu rampungnya proyek pembangunan tiga bendungan, yakni Bendungan Pamukkulu, Bendungan Je’ne Lata, dan Bendungan Karaloe yang merupakan proyek strategis nasional dan ditargetkan rampung pada 2021.
Hal itu menjadi bagian dari strategi untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi padi dan bahan pangan lainnya di Sulawesi Selatan. ”Semua hulu dan DAS dibenahi karena buat apa ada bendungan jika sumber air tak ada. Saya juga baru dari Tasmania, Australia, dan kami akan bekerja sama untuk mengadopsi sistem pengairan yang efisien. Selama ini, di Sulawesi Selatan, persoalan kita adalah banyak air yang terbuang sehingga pemanfaatannya tak efisien,” kata Nurdin.
Selain memperbaiki aspek pengairan agar semua sawah bisa terairi sepanjang tahun, Nurdin juga memaksimalkan penanaman dengan penggunaan benih berkualitas. Tahun 2020, dia menargetkan Sulawesi Selatan mandiri benih, di antaranya dengan menghasilkan benih-benih berkualitas yang produktivitasnya tinggi dan tahan kemarau.
Baca juga: Batan Mengembangkan Varietas Padi Tahan Cuaca Ekstrem