Masih "Diremehkan", Kelembagaan Komnas Perempuan Perlu Diperkuat
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak terbentuk 21 tahun tahun yang lalu, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan telah menjadi rumah bagi perempuan di Tanah Air untuk mewujudkan penegakan hak asasi manusia perempuan. Namun, keberadaan lembaga negara independen tersebut sering “diremehkan”. Sejumlah rekomendasi sering “diabaikan” oleh pemangku kebijakan.
Kondisi ini terjadi antara lain karena status kelembagaan dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang tidak berbasis undang-undang. Pembentukan Komnas Perempuan yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005, membuat posisi lembaga negara tersebut tidak sekuat lembaga negara lainnya.
Bahkan, di mata pemerintah terutama di daerah, posisi Komnas Perempuan belum banyak dikenal, bahkan sering “dipandang” sebagai organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena itu, penguatan kelembagaan Komnas Perempuan harus menjadi salah satu agenda utama dari komisioner Komnas Perempuan Periode 2010-2024.
Di mata pemerintah terutama di daerah, posisi Komnas Perempuan belum banyak dikenal, bahkan sering “dipandang” sebagai organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat.
Hal ini mengemuka dalam Uji Publik Calon Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Periode 2020-2024 yang berlangsung selama dua hari di Jakarta, Senin (14/10/2019)-Selasa (15/10/2019).
“Komnas Perempuan menjadi lembaga HAM yang paling progresif yang saat ini dimiliki oleh Indonesia. Tetapi sayangnya, di saat yang sama kewenangan Komnas Perempuan terbatas. Sangat ironis. Ketika misalnya pemerintah daerah banyak yang tidak tahu apa itu Komnas Perempuan,” ujar Veryanto Sitohang, Dewan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Medan, salah satu calon yang mengikuti uji publik.
Veryanto mencontohkan, ketika komisioner Komnas Perempuan hadir dalam pertemuan-pertemuan di daerah, orang masih menyebut dengan Komnas Hak Asasi Manusia. Karena itulah, ke depan sangat penting untuk menjadikan posisi Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM yang memiliki otoritas, yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
“Komnas Perempuan memiliki kewenangan yang lebih kuat, minimal setara dengan Komnas HAM, seperti kewenangan KPK. Ini harus dipastikan supaya Komnas Perempuan menjadi sebuah lembaga, ketika orang bicara isu perempuan, rujukannya adalah Komnas Perempuan,” papar Veryanto.
Harapan Komnas Perempuan menjadi lembaga yang kuat juga disampaikan sejumlah calon. “Perpres 65 Tahun 2005 hanya mengatur tujuan dan tugas Komnas Perempuan, sama sekali tidak mengatur kewenangan Komnas Perempuan,” ujar Valentina Sagala, Direktur Eksekutif Institut Perempuan.
Perpres 65 Tahun 2005 hanya mengatur tujuan dan tugas Komnas Perempuan, sama sekali tidak mengatur kewenangan Komnas Perempuan.
Karena itulah, ke depan Komnas Perempuan perlu diperkuat kelembagaannya agar menjadi salah satu Lembaga Nasional HAM (LNHAM) yang kriterianya diatur dalam Paris Principles.
Komnas Perempuan dalam sejarahnya, lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Sehari sebelumnya, sejumlah aktivis yang hadir dalam uji publik tersebut mengungkapkan Komnas Perempuan sering dianggap oleh lembaga pemerintah sebagai LSM. Bahkan dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, Komnas Perempuan di tempatkan sama dengan LSM.
Berbagai harapan
Selain penguatan kelembagaan Komnas Perempuan, dalam uji publik yang diikuti 47 calon, motivasi para calon mendaftar sebagai komisioner Komnas Perempuan beragam, sesuai dengan latar belakang pekerjaan dan pengalaman dari para calon.
Namun hampir semua berharap Komnas Perempuan akan menjadi garda terdepan yang akan menyuarakan perlindungan terhadap perempuan dari berbagai kekerasan, melindungi kelompok perempuan miskin, minoritas, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya, termasuk Ahmadiyah dan kelompok LGBT. Perlindungan terhadap perempuan pekerja (buruh), pekerja rumah tangga, dan pekerja migran di luar negeri.
Suara dari kelompok disabilitas juga disuarakan oleh Rainy Mareke Hutabarat, calon dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Menurut dia, kekerasan terhadap perempuan disabilitas adalah kejahatan yang senyap.
“Dari kasus-kasus yang terjadi saya menyimpulkan masyarakat maupun aparat penegak hukum belum memandang kekerasan terhadap perempuan disabilitas sebagai kejahatan kemanusiaan. Perempuan penyandang disabilitas secara umum dipandang tidak waras, tidak aktif secara seksual, tidak punya kehidupan, karena itu tidak memiliki masa depan,” ujarnya seraya mencontohkan ada pemerkosaan terhadap remaja perempuan disabilitas tetapi justru sang remaja disterilisasi.
Masyarakat maupun aparat penegak hukum belum memandang kekerasan terhadap perempuan disabilitas sebagai kejahatan kemanusiaan.
Selain dari para calon, sejumlah pertanyaan juga disampaikan sejumlah masyarakat yang hadir dalam uji publik tersebut maupun yang menyaksikan siaran langsung (live streaming). Pertanyaan kepada calon antara lain bagaimana perlindungan terhadap perempuan disabilitas, LGBT, dan Ahmadiyah.
Panitia Seleksi Calon Anggota Komnas Perempuan, Usman Hamid mengungkapkan proses uji publik selama dua hari berlangsung lancar. “Keseluruhan proses uji publik dan juga kualitas percakapan calon-calon bersama banyak kalangan yang hadir amat memuaskan,” ujar Usman.