Pemerintah Indonesia perlu segera memfokuskan pembinaan prestasi pada cabang-cabang olahraga Olimpiade di mana Indonesia memiliki rekam jejak prestasi yang konsisten. Ini sekaligus untuk memfokuskan anggaran yang minim.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan anggaran yang amat terbatas dan mempertimbangkan rekam jejak prestasi internasional serta status sebagai cabang Olimpiade, Indonesia sepatutnya cukup memberikan fokus perhatian ataupun bantuan dana pelatnas untuk sepuluh cabang olahraga saja. Saat ini, Indonesia terlalu loyal terhadap induk cabang olahraga, setidaknya menyokong anggaran pelatnas untuk 45 induk cabang olahraga yang akan berlaga di SEA Games 2019 Filipina.
Terlalu banyak cabang olahraga yang harus dibantu justru akan membebani anggaran pemerintah yang sejatinya sangat terbatas. Di sisi lain, tidak semua cabang itu berlaga di Olimpiade yang menjadi ujung muara prestasi olahraga dunia. Artinya, banyak cabang yang dibantu justru tidak memiliki jenjang prestasi berkelanjutan hingga tingkat Olimpiade. Banyak dari cabang itu hanya terhenti di SEA Games atau Asian Games saja.
”Untuk itu, kami mengusulkan sepuluh cabang prioritas yang patut dikembangkan, yakni bulu tangkis, panjat tebing, atletik, panahan, angkat besi, taekwondo, senam, dayung, renang, dan sepeda,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dalam seminar Refleksi Setahun Asian Games 2018 dan Rencana Peningkatan Prestasi Olahraga Indonesia di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Sebagai gambaran, anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) 2019 sekitar Rp 1,951 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 Rp 2.439 triliun. Artinya, anggaran Kemenpora tidak sampai 1 persen dari total APBN. Namun, dengan keterbatasan itu, Kemenpora harus menggelontorkan anggaran sekitar Rp 500 miliar untuk pelatnas 45 cabang olahraga yang ikut SEA Games 2019 maupun kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020.
Bila dibagi rata, anggaran pelatnas yang digelontorkan sekitar Rp 11 miliar per cabang. Anggaran itu tentu amat terbatas mengingat kebutuhan cabang amat tinggi, antara lain ikut uji coba/kejuaraan internasional di luar kebutuhan latihan sehari-hari.
Bambang mengatakan, Indonesia patut meniru negara-negara yang sukses secara prestasi di setiap gelaran Olimpiade. Sebagai sampel, Bappenas mengambil Australia karena menjadi tetangga dekat Indonesia, China sebagai gambaran kesuksesan Asia, dan Inggris Raya sebagai perwakilan negara-negara Barat. Australia ternyata hanya fokus kepada delapan cabang unggulan, China fokus pada pembinaan kecepatan, fleksibilitas, dan refleks, serta Inggris Raya fokus di 24 cabang.
Data itu menunjukkan, mereka hanya memilih cabang-cabang tertentu yang bisa menyumbangkan prestasi di tingkat dunia, dan bukan justru menggeluti semua cabang. Hasilnya, walaupun cenderung fluktuatif, Australia selalu berada di sepuluh besar perolehan medali terbanyak Olimpiade sejak 1992 hingga 2016. China selalu berada di tiga besar Olimpiade sejak 2000 hingga 2016. Inggris Raya selalu di papan atas Olimpiade, terutama berada di lima besar sejak 2008 hingga 2016.
Sementara Indonesia yang menggelontorkan anggaran hampir ke semua cabang justru terpuruk di Olimpiade. ”Yang menyumbangkan medali hanya cabang itu-itu saja di Olimpiade, yakni bulu tangkis, angkat besi, dan panahan,” kata Bambang.
Perubahan harus segera dimulai dengan membentuk lembaga khusus untuk pembinaan cabang-cabang prioritas tersebut. Bambang menuturkan, melihat Australia, mereka mulai serius merencanakan prestasi tinggi di Olimpiade sejak 1981. China mulai serius mengincar prestasi tertinggi di Olimpiade sejak 1979. Inggris Raya memulainya sejak 1975.
Rata-rata, mereka baru menuai hasil dari transformasi program pembinaan olahraga itu sekitar 20 tahun kemudian. ”Artinya, kita harus mulai melakukan perubahan itu sedini mungkin agar prestasi kita tidak semakin tertinggal di kancah internasional,” tuturnya.
PON dan SEA Games
Perubahan paradigma dalam pembinaan olahraga harus mulai diimplementasikan dalam ajang multicabang skala kecil, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) dan SEA Games. Menurut Bambang, sudah menjadi rahasia umum, PON hanya menjadi ajang gengsi-gengsian antardaerah. Untuk itu, selain terjadi jual-beli atlet, PON sering kali disisipi cabang-cabang yang hanya jadi unggulan daerah tuan rumah. Tak jarang, cabang-cabang itu bukan cabang Olimpiade.
Kondisi tak jauh beda terjadi pada SEA Games. Mantan Ketua Komite Olimipade Indonesia (KOI) dan mantan Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) Erick Thohir mengutarakan, SEA Games harusnya menjadi ajang antara untuk persiapan atlet menuju jenjang kompetisi yang lebih tinggi, seperti Asian Games dan Olimpiade.
Namun, yang terjadi sekarang, justru SEA Games menjadi ajang gengsi-gengsian negara. Demi melanggengkan niat tuan rumah menjadi juara umum, akhirnya banyak cabang yang hanya bisa dilakukan tuan rumah yang masuk SEA Games. Hampir semua cabang itu bukan cabang Olimpiade.
”Akhirnya, sering kali, yang hebat atau juara umum di SEA Games justru keok di Asian Games, apalagi Olimpiade. Sebab, nilai pembinaan di SEA Games sudah luntur karena gengsi-gengsian untuk merebut medali emas sebanyak-banyaknya itu,” ujarnya.
Untuk itu, lewat PON maupun SEA Games, Indonesia patut sudah memfokuskan diri menuju Olimpiade. Caranya, fokus saja menggelar ajang-ajang Olimpiade di PON dan mengikuti ajang-ajang Olimpiade di SEA Games.
Kembangkan kompetisi
Pengamat olahraga Fritz E Simandjuntak menyampaikan, untuk cabang yang tidak masuk kategori prioritas, pemerintah patut mendorong Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) ataupun pengurus induk cabang bersangkutan untuk menggulirkan kompetisi yang berkualitas dan berkelanjutkan. Kompetisi seperti liga bisa memicu minat sponsor memberikan dukungan.
”Kehadiran sponsor bisa menjadi celah untuk mendukung program pembinaan cabang-cabang tersebut. Dengan demikian, cabang-cabang yang tidak masuk kategori prioritas pun bisa terus tumbuh dan berkembang,” kata Fritz.
Fritz melanjutkan, dirinya mengambil contoh Liga Inggris. Sepak bola Inggris praktis terakhir kali berprestasi tingkat dunia ketika juara Piala Dunia 1966. Setelah itu, mereka nyaris nihil prestasi. ”Tapi, sepak bola mereka terus berkembang sampai saat ini. Sebab, mereka punya Liga Inggris, liga terbaik dunia yang banyak menyedot minat sponsor,” tuturnya.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, tidak mudah untuk menerapkan strategi sepuluh cabang prioritas itu. Sebab, butuh pendekatan khusus pada semua cabang lain untuk legowo. Sejauh ini, hampir semua cabang itu sangat bergantung pada bantuan anggaran pelatnas dari pemerintah. ”Hingga sekarang, hampir semua cabang itu ngotot bahwa mereka juga penting untuk diperhatikan,” ujarnya.