Cara Teroris Mempertahankan Eksistensi, "Amaliyah" Disampaikan Lewat Medsos
Meski tidak terstruktur di lapangan, terduga teroris ini intens berkomunikasi melalui media sosial. Strategi ini dinilai membuat kelompok teroris tetap eksis meski sudah banyak yang ditangkap.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setelah aksi penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap puluhan terduga teroris dari berbagai wilayah di Indonesia. Meski tidak terstruktur di lapangan, terduga teroris ini intens berkomunikasi melalui media sosial. Strategi ini dinilai membuat kelompok teroris tetap eksis meski sudah banyak yang ditangkap.
Hingga hari ini, Senin (14/10/2019), menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, Polri menangkap 22 terduga teroris, termasuk SA alias Abu Rara dan istrinya, FA, yang menusuk Wiranto, Kamis (10/10/2019) di Menes, Pandeglang, Banten. Selain Abu Rara dan FA, kata Dedi, Densus 88 Antiteror juga menangkap perempuan berinisial RA, di wilayah itu.
Di hari yang sama, di Jawa Barat, Polri menangkap WB. Polisi menyita serbuk untuk membuat bom dan sejumlah senjata tajam, serta konsep amaliyah dari WB.
Sehari sesudahnya, Jumat (11/10/2019), ditangkap AT dan anaknya ZA, yang masih di bawah umur, di Bali. AT pernah menjalin kontak bersama Abu Rara dan mengetahui aksi Abu Rara terhadap Wiranto. Ayah dan anak ini berencana melakukan aksi teror di Bali.
Di hari Jumat ini juga, Polri menangkap R di Muaro Bungo, Jambi; TH di Cengkareng, Jakarta Barat; S alias Jack di Minahasa, Sulawesi Utara. Nama terakhir merupakan bagian dari Mujahidin Indonesia Timur yang berencana melakukan jihad di Papua. "S ini punya keahlian merakit bom," katanya.
Kemarin, polisi juga menangkap A di Poso Sulawesi Tengah; RF, YF, dan BA, di Cirebon, Jawa Barat; serta NAS di Lampung. Sementara Senin ini, Polisi menangkap MRM, UD, Y, TH, dan APS di Lampung; serta AAS, J, dan N, di Bandung, Jawa Barat.
Dedi menjelaskan, semua terduga teroris yang ditangkap terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Mereka tidak terstruktur dalam melakukan aksi di lapangan. Mereka hanya membangun komunikasi di media sosial.
"Komunikasi mereka di media sosial sangat terstruktur dan sistematis. Aksi amaliyah pun juga disampaikan melalui media sosial," katanya.
Dia menyatakan, ini merupakan sel-sel teroris yang bergerak secara independen. Mereka melakukan amaliyah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Densus 88 akan terus bekerja keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi," katanya.
Dihubungi terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar, menyatakan, ketiadakan struktur yang ajek dalam melakukan tindakan teror merupakan ciri khas teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Pola rekrutan kelompok ini pun sangat terbuka, antara lain melalui media sosial.
Menurutnya, inilah yang membuat JAD tetap eksis meski sudah banyak dari mereka yang ditangkap. Strategi ini merupakan respons kelompok teroris dalam menyikapi penindakan dari aparat keamanan.
"Pola aksi yang spontan dan irreguler itu yang membuat JAD tetap bertahan. Memang agak sulit, tetapi tetap harus ada improvisasi dari kepolisian untuk memberantasnya," katanya.