Proyeksi Ekonomi Melambat, Perbankan Pilih Menahan Diri
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sejumlah 0,1 persen menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Perbankan pun memilih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi membuat kinerja perbankan akan ikut terdampak. Perbankan memilih berhati-hati dalam menyalurkan kredit di tengah ancaman rendahnya pertumbuhan dana pihak ketiga dan peningkatan risiko kredit macet.
Sebelumnya, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,1 persen menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas 0,3 persen menjadi 2,6 persen pada 2019 dan 2,7 persen pada 2020.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kinerja kredit memang sedikit melambat tahun ini. Pertumbuhan penyaluran kredit Bank Mandiri per September 2019 berkisar 7-8 persen secara tahunan.
”Di situasi seperti ini strategi (penyaluran kredit) kita lebih defensif. Kita lebih mendukung usaha yang sustainable, supaya jangan sampai bermasalah,” katanya, Senin (14/10/2019).
Bank Mandiri akan lebih berhati-hati terhadap sektor komoditas. Seperti arahan Bank Dunia, eskalasi perang dagang AS-China akan menyebabkan harga komoditas turun.
Menurut Kartika, pihaknya lebih berfokus pada penyaluran kredit di bidang produk turunan sawit. Dia berharap pengusaha mengekspansi peningkatan nilai daripada hanya peningkatan volume bahan mentah.
”Misalnya yang pasti kena, komoditas nilainya menurun seperti batubara atau sawit kita harus berhati-hati. Harus meningkatkan value seperti sawit jadi biodiesel. Kalau seperti ini kami akan dukung,” jelasnya.
Kredit Bank Mandiri kepada industri pengolahan terakit produk turunan kelapa sawit mengalami penurunan lebih dari dua digit secara tahunan. Hal itu dikarenakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang belum stabil. Meski begitu, kualitas portofolio industri tersebut masih terjaga dengan tingkat rasio kredit macet (NPL) nol persen.
Misalnya yang pasti kena, komoditas nilainya menurun seperti batubara atau sawit kita harus berhati-hati. Harus meningkatkan value seperti sawit jadi biodiesel.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hingga Agustus 2019, ekspor industri pengolahan hasil minyak mengalami pertumbuhan 12 persen secara tahunan menjadi 1,19 miliar dollar AS. Potensi itu sangat besar dibandingkan dengan ekspor minyak mentah yang melambat 67,9 persen secara tahunan menjadi 1,16 miliar dollar AS.
Bank Mandiri juga melihat penyaluran kredit potensial ke beberapa sektor, seperti industri manufaktur, mikro, dan properti khusus segmen menengah ke bawah.
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk lebih akan menyasar kredit yang bergantung pada konsumsi masyarakat. Sektor itu, di antaranya informasi dan komunikasi. Selain itu, sektor perdagangan yang ditunjang platform e-dagang, seperti industri makanan dan minuman, pakaian jadi, alas kaki, kreatif, dan transportasi.
”Pertumbuhan kredit BNI tahun depan diperkirakan tumbuh 10-12 persen. Pertumbuhan kredit diperkirakan masih dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan konsumsi masyarakat. Karena konsumsi masyarakat diperkirakan menyumbang sekitar 55 persen dari total PDB,” ujar Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidartha.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan, melemahnya proyeksi ekonomi tidak hanya akan berdampak pada penurunan kinerja kredit. Dana pihak ketiga (DPK) juga akan turut menurun.
”DPK di 2019 hanya tumbuh sekitar 7 persen dan di 2020 sekitar 9 persen. Penting bagi perbankan untuk jaga kualitas kredit, himpun dana murah, dan optimalkan jasa transaksi untuk dongkrak fee based income (pendapatan nonbunga),” ujarnya.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, kinerja kredit memang sedikit terkendala karena masalah global yang masih rumit. Meski begitu, dengan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, sekitar 5 persen, dia melihat hal itu sudah sangat baik bagi perbankan.
”Bank Dunia betul karena masalah global masih rumit. Tidak bisa kita hebat sendirian karena pengaruh lingkungan besar. Masih banyak sektor potensial untuk penyaluran kredit, seperti perdagangan dan makanan,” tutur Jahja.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan, pemangkasan proyeksi pertumbuhan memang akan berdampak pada perbankan, khususnya dalam penyaluran kredit dan NPL.
”Realisasi kredit melambat. Hal itu karena permintaan ekspor akan menurun, terutama pada produk yang berorientasi komoditas global. Misalnya saja kredit ke sektor pertambangan,” sebutnya.
Di tengah situasi itu, NPL juga berpotensi naik. Saat permintaan global melambat, kemampuan perusahaan membayar kredit cenderung turun. Untuk itu, perbankan perlu lebih berhati-hati dalam penyaluran kredit. Pada Agustus 2019, NPL perbankan naik menjadi 2,6 persen dari bulan sebelumnya 2,55 persen.
Bank Dunia betul karena masalah global masih rumit. Tidak bisa kita hebat sendirian karena pengaruh lingkungan besar. Masih banyak sektor potensial untuk penyaluran kredit, seperti perdagangan dan makanan.
Di sisi lain, pertumbuhan DPK akan semakin melambat karena mengikuti aktivitas ekonomi. Hal itu membuat perbankan akan menerbitkan surat utang.
”Saat kondisi ekonomi tidak begitu baik, maka kupon obligasi akan cenderung tinggi. Bank-bank akan semakin terbebani. Bank-bank menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan menerbitkan obligasi akan dihadapkan persoalan likuiditas sehingga berdampak pada suku bunga kredit,” sebut Abdul.
Menurut Abdul, kredit yang masih bisa tumbuh tinggi berbasis konsumen, seperti industri makanan minuman dan telekomunikasi. Selain itu, peluang dari kredit industri pariwisata karena sejalan dengan program pemerintah.
”Jenis-jenis produk yang dihasilkan industri makanan dan minuman dapat digolongkan sebagai kebutuhan primer sehingga tidak akan rentan terhadap perubahan harga. Misalnya ke sektor makanan minuman hingga ke telekomunikasi (misalnya pulsa),” tambahnya.
Indef melihat, kredit yang berorientasi ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), juga bisa menjadi solusi. Jumlah pelaku UMKM, sekitar 60 juta, yang masih berkembang, membuatnya akan menjadi mesin penggerak kredit perbankan.
Bank Indonesia menyebutkan, kredit UMKM mampu tumbuh 13,3 persen secara tahunan pada Agustus 2019, meningkat dari bulan sebelumnya, hanya 11,6 persen. Padahal, kredit secara umum tumbuh melambat dari 9,7 persen pada Juli 2019 ke 8,6 persen pada Agustus 2019.