Penanggulangan Kemiskinan Perlu Dikaji secara Multidimensi
Penanggulangan kemiskinan tidak cukup hanya dengan pendekatan satu dimensi saja. Namun, langkah ini perlu dilakukan melalui pendekatan multidimensi agar angka kemiskinan tidak bertambah saat gejolak ekonomi terjadi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengatasi kemiskinan perlu dikaji secara multidimensi. Pemangku kebijakan tidak bisa sekadar melihat tingkat pendapatan masyarakat. Standar kemapanan serta kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan juga perlu dilihat. Tujuannya agar angka kemiskinan tidak bertambah saat terjadi gejolak ekonomi.
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mencatat, tingkat kemiskinan multidimensi di Indonesia pada 2019 sebesar 7 persen dari total populasi. Angka ini berasal dari metode penghitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index/MPI).
Resident Representative UNDP Indonesia Christophe Bahuet mengatakan, tingkat kemiskinan di Indonesia berdasarkan MPI tahun ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 7,2 persen. Namun, ia mengingatkan, jumlah populasi yang rentan jatuh menjadi miskin 9,1 persen. Adapun populasi yang ada di perbatasan kemiskinan 1,2 persen.
”Tugas utama Pemerintah Indonesia adalah mengurangi kerentanan orang yang telah keluar dari kemiskinan agar tidak kembali jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Senin (14/10/2019).
MPI memberikan gambaran kemiskinan lebih luas di suatu cakupan wilayah. Pasalnya penghitungan indeks kemiskinan ini tidak sekadar melihat dari sisi pendapatan, tetapi juga berdasarkan tiga dimensi kesejahteraan, yakni kesehatan, pendidikan, dan tingkat kemapanan atau standar hidup minimal.
Ketiga dimensi indikator penghitung MPI tersebut dielaborasi menjadi 10 indikator, yakni kecukupan nutrisi, tingkat kematian anak, lama waktu sekolah, tingkat kehadiran di sekolah, akses bahan bakar untuk memasak, sanitasi, air minum, listrik, kepemilikan rumah, dan kepemilikan aset.
Hasil MPI, menurut Banquet, menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus semakin aktif untuk menggaet mitra strategis guna mengatasi kemiskinan melalui pendekatan multidimensi. Terlebih sektor swasta yang memiliki peranan penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
SDGs merupakan konsensus negara-negara anggota PBB tentang pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan dalam 17 tujuan. Tujuan itu, di antaranya menghilangkan kemiskinan di samping tujuan lain mencakup bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, industri, dan lingkungan hidup. ”Cara mengurangi kemiskinan multidimensi tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga dengan meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan, termasuk menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja disabilitas,” ujarnya.
Akses memasak
Technical Advisor Development Finance UNDP Muhammad Didi Hardiana mengatakan, dari sembilan indikator, persentase paling tinggi terdapat di akses bahan bakar untuk memasak, yakni 5,8 persen, kemudian akses sanitasi 5,2 persen. Untuk saat ini, perhitungan MPI di Indonesia belum menggunakan indikator nutrisi karena UNDP belum memiliki basis data yang diperlukan.
Terkait akses bahan bakar untuk memasak, Didi mengatakan, masyarakat Indonesia banyak menggunakan bahan bakar non-gas seperti kayu dan arang. Padahal, berdasarkan definisi UNDP, penggunaan bahan bakar non-gas untuk memasak membuat masyarakat masuk dalam kategori sangat kekurangan atau miskin.
Adapun dalam kategori MPI, masyarakat yang tergolong kategori miskin adalah rumah tangga dengan fasilitas sanitasi yang tidak sesuai dengan kategori SDGs. Kondisi ini kerap ditemui di permukiman padat penduduk di Indonesia, bahkan masih banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum.
Di sisi lain, jumlah masyarakat yang kesulitan mengakses listrik mendapatkan persentase terendah, yakni 1,8 persen dari total populasi. Didi menilai, program pemerintah dalam meningkatkan elektrifikasi sudah efektif dalam meningkatkan akses masyarakat ekonomi menengah ke bawah terhadap listrik.
”Harapan kami, MPI dapat membantu pemerintah ataupun pembuat kebijakan lainnya dalam merancang program yang lebih tepat sasaran dan akurat untuk mengatasi kemiskinan,” ujar Didi.
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengatakan, pembangunan infrastruktur tidak akan serta merta menurunkan tingkat kemiskinan. Dibutuhkan kegiatan ekonomi dari lintas sektor agar tercipta nilai tambah untuk pendapatan masyarakat.
”Upaya tersebut yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia bagian timur. Kesenjangan besar masih terjadi di Papua dan Maluku yang masih membutuhkan dorongan berupa aktivitas ekonomi dengan nilai tambah,” ujar Vivi.
Pihaknya mendorong perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia untuk terlibat dengan Bappenas dalam program SDGs, terutama untuk penanggulangan kemiskinan. Himpunan dana dari pasar modal dapat dialokasikan untuk memfasilitasi dan memobilisasi sumber daya manusia. ”Misalnya, ikut terlibat dalam pembangunan peningkatan kapasitas masyarakat sekitar,” ujarnya.