Celurit di Atas Kuburan
Setiap malam Jumat, setelah azan magrib berkumandang, Brodin langsung mengambil sebilah celurit yang digantung sungsang pada paku payung berkarat di balik pintu.
Laki-laki berkulit gelap itu memandikan celuritnya dengan rendaman air bunga serta kertas-kertas bertuliskan huruf Hijaiyyah. Kemudian Brodin berkomat-kamit membaca doa seraya mengasapi celurit di tangan kanannya itu dengan kemenyan.
”Minggu depan, celurit ini akan mengangkat kembali martabatku,” ujar Brodin pada Tarebung, anak lelaki satu-satunya yang sudah berumur dua puluh tahun.
”Dengan siapa eppa’[1] mau carok?” Tarebung melihat Brodin yang mengelap celuritnya dengan kain putih. Lalu diciumnya mata celurit itu penuh gairah.
”Durakkap.” Dengan suara emosi Brodin menyebut nama lelaki yang telah melecehkan harga dirinya sebagai lelaki sekaligus kepala rumah tangga.
”Kenapa harus carok? Apa tak ada cara lain?” Pertanyaan anak lelakinya membuat Brodin meludah berkali-kali.
”Nak...!” Brodin mengambil napas sebentar. Ia melanjutkan perkataannya lagi, ”Harus kamu tahu, oreng lake’ mate acarok, oreng bini’ mate arembi’[2]. Ingat itu, penting artinya!”
Tarebung mengelus dadanya dan mengucap istigfar berulang-ulang dalam hati. Tidak mudah memang bagi anak ingusan seperti Tarebung melarang eppa’-nya menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Semua lelaki di kampung itu memiliki pola pikir yang sama seperti Brodin apabila berkaitan dengan martabat dan harga diri. Satu-satunya jalan yang mereka tempuh cuma satu, yaitu carok.
Mereka memegang teguh prinsip; ango’an pote tolang katembang pote mata[3]. Beda halnya dengan Tarebung yang selalu ngeri bila telinganya mendengar kabar orang-orang carok. Tarebung tidak seberani Brodin yang disebut sebagai satu-satunya blater terkemuka. Brodin disegani di kalangan para bajing.
Brodin menjadi masyhur lantaran kemenangannya merobek perut Dulkaji dengan celurit takabbuwan miliknya tiga tahun lalu. Maka dengan pongah Brodin membolak-balikkan celurit di depan Tarebung. Ia berkeyakinan Durakkap akan langsung tumbang hanya dengan satu sabetan celurit yang ia ayunkan.
”Ini celurit dibuat tidak sembarangan. Durakkap pasti mati!” Brodin mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia coba mengayunkan celuritnya seolah-olah sedang berhadapan dengan Durakkap.
”Kemungkinannya hanya ada dua. Eppa’ yang mati atau Durakkap.” Tarebung membuat Brodin tertawa terbahak-bahak. Binar-binar keangkuhan berpendar di matanya.
”Tidak mungkin aku kalah. Celurit ini dipesan secara khusus. Tak seorang pun yang sanggup menghindari sabetan celurit saktiku ini.” Tarebung hanya diam. Bayangan buruk berkelebat dalam benaknya.
Tarebung memang tidak tahu sejak kapan eppa’-nya memiliki celurit. Sejak Tarebung membuka mata di dunia ini, ia sudah melihat celurit itu tergantung sungsang di balik pintu rumahnya. Ia pun sering melihat ritual yang dilakukan Brodin pada celuritnya. Brodin memperlakukan celuritnya ibarat istri keduanya.
Waktu kecil Tarebung sempat bertanya pada embu’[4]nya, ”Kenapa ada celurit di belakang pintu?”
”Hanya orang sombong yang tidak punya celurit di rumahnya. Ini untuk menjaga kita, harta kita, jiwa kita, juga untuk menjaga martabat keluarga.” Jawaban embu’ belum sepenuhnya dimengerti oleh Tarebung yang saat itu masih berumur sepuluh tahun.
Kemasyhuran seorang pandai besi bernama Lessap sudah sampai ke luar kota. Lelaki kurus itu puluhan tahun membuat celurit pesanan orang-orang yang datang kepadanya dari segala penjuru. Tidak diragukan lagi kehebatannya membuat celurit. Selama ini celurit yang dibuatnya selalu mampu mengalahkan lawannya.
Celurit pesanan Brodin dikerjakan dengan sangat hati-hati. Lessap melakukan puasa Daud selama mengerjakan celurit itu. Mulutnya tak henti berzikir setiap menempa logam yang sudah membara untuk dibentuk lengkungan menyerupai bulan sabit. Setiap tahun, tepatnya bulan Maulid bersama pekerjanya yang lain, Lessap melakukan ritual kecil di bengkel tempatnya membuat celurit.
Ritual yang dilakukan Lessap disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi, dan air bunga. Sesajen itu didoakan bersama di langgar, kemudian air bunga disiramkan pada bantalan tempat menempa besi. Tidak seorang pun berani melangkahi apalagi sampai menduduki bantalan tersebut. Itulah pantangan yang tak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar pantangan itu dapat dipastikan orang tersebut akan sakit-sakitan, celaka, bahkan bisa meninggal dunia dengan cara mengerikan.
Karena itu Brodin sangat percaya bahwa kemenangan akan berpihak kepadanya. Tidak mungkin celurit buatan Lessap mudah dikalahkan begitu saja. Lebih-lebih Brodin tahu, celurit yang akan digunakan Durakkap hanyalah celurit biasa yang dipesan dari seorang pandai besi tak terkenal. Selain itu, Durakkap juga belum pernah carok. Ia tak berpengalaman seperti Brodin. Pantas saja Brodin sangat yakin dengan kemenangannya.
”Maafkan saja Durakkap. Ia tidak bermaksud mengganggu embu’.” Tarebung mencoba membujuk Brodin agar mengurungkan niatnya.
Brodin menantang carok Durakkap hanya karena persoalan sepele. Secara tak sengaja Durakkap berpapasan dengan Marlena, istri Brodin itu di pasar. Karena kasihan, Durakkap mengantar Marlena ke rumahnya sebab perempuan yang tetap kelihatan cantik itu kebingungan tidak menemukan ojek, maka Durakkap menawarkan bantuannya.
Durakkap hanyalah orang biasa, hidup pas-pasan sebagai seorang petani. Setelah pilihan cinta Marlena jatuh ke hati Brodin yang berasal dari keluarga berkecukupan, saat itu juga Durakkap menikahi seorang perempuan dari desa sebelah. Durakkap kini memiliki satu anak gadis berusia sembilan belas tahun. Tapi sayang, istri Durakkap meninggal saat melahirkan Taneyan, anak gadis satu-satunya.
Kebaikan Durakkap mengantar Marlena pulang dipandang sebagai pelecehan oleh Brodin. Laki-laki bajing itu tidak terima istrinya dibonceng oleh Durakkap yang pernah menaruh cinta pada Marlena. Durakkap dianggap melecehkan harga diri Brodin sebagai seorang suami. Durakkap menjelaskan duduk perkaranya. Brodin tak percaya. Degup jantungnya berlompatan tak karuan.
Sebagai seorang bajing yang disegani, Brodin menantang Durakkap carok. Awalnya Durakkap menolak, tapi lama-kelamaan mulut Brodin membuat dadanya berlubang. Durakkap diminta memotong kelaminnya jika menolak tantangan Brodin. Penolakan Durakkap bukan tak beralasan. Ia khawatir dirinya tewas di medan carok. Dengan kematian Durakkap, tentu saja akan membuat Taneyan sebatang kara.
Kesepakatan waktu dan tempat ditentukan hari itu juga. Durakkap pulang dengan dada yang kian sesak. Bayangan anak gadis semata wayangnya berkelebat di matanya. Ia tidak mengatakan apa-apa pada Taneyan saat tiba di rumah. Rencana carok dengan Brodin ditutup rapat-rapat.
”Memaafkan jauh lebih mulia ketimbang harus carok.” Tarebung mengucapkannya lirih. Brodin melihat ke arah anak lelakinya itu dengan rupa emosi.
”Pantang bagi lelaki menjilat ludah kembali,” kata Brodin.
”Ini hanya untuk kebaikan bersama. Jadi berhentilah carok,” jawab Tarebung.
”Kebaikan apa yang kau maksud? Apa kau akan diam bila harga dirimu direndahkan?” lanjut Brodin.
”Masih banyak cara yang lebih baik daripada saling bunuh,” tukas Tarebung.
”Kau belum menikah. Jadi tidak tahu rasanya bila istrimu digandeng lelaki lain. Maka menikahlah. Kapan kau mau menikah?” kata Brodin.
Tarebung bergeming. Pertanyaan dari eppa’-nya membuat Tarebung ingat gadis dari desa sebelah. Seorang gadis yang telah mengambil hatinya. Keduanya menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orangtua mereka. Belum waktunya bagi Tarebung untuk memperkenalkan gadis itu pada kedua orangtuanya. Tarebung pasti mempersunting gadis itu pada waktu yang tepat.
Hari carok antara Durakkap dan Brodin sudah tiba. Brodin mengayunkan-ayunkan celuritnya ke udara seakan memperlihatkan kematian pada Durakkap. Tanpa perlu basa-basi, keduanya saling menyerang. Brodin berhasil merobek lengan kiri Durakkap. Tersenyum pongah Brodin melihat darah bercucuran di lengan Durakkap.
Entah bagaimana cara, Durakkap mengayunkan celuritnya dan langsung mengenai perut Brodin. Tersungkur Brodin ke tanah. Tubuhnya bermandikan darah. Matanya yang melotot sempat melihat Durakkap mengusap darah di ujung celuritnya. Satu menit kemudian malaikat datang mengambil napas dari tubuh Brodin.
Brodin langsung dikuburkan sore harinya. Keluarga yang mengantar ke pemakaman menangis. Marlena terkulai lemas di atas lincak. Tarebung duduk di tepi lincak menabahkan hati embu’-nya. Celurit yang digunakan Brodin digantung kembali di tempat semula. Tangis Marlena bermacam rasa, ada benci, sedih, pilu, dan dendam pada Durakkap.
”Sekarang giliranmu carok. Balas kematian eppa’-mu,” ujar Marlena pada Tarebung sambil berurai air mata.
”Balas dendam itu bukan dengan carok,” kata Tarebung. ”Andai aku memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja, aku yang akan carok!”
Tarebung melihat dendam kian membesar di mata embu’. Tarebung mengambil celurit milik eppa’-nya yang tergantung dengan amis darah menempel di mata celurit takabbuwan itu. Gegas melangkah ia membawa celurit terayun-ayun di tangan kanannya. Para pelayat mengangkat kedua bahunya, bergidik tubuh mereka melihat Tarebung berjalan kasar meninggalkan rumah.
Dalam perjalanan, Tarebung bertemu Taneyan yang hendak melayat ke rumahnya. Keduanya saling pandang penuh cinta. ”Apa kau mau balas dendam pada eppa’?” Tarebung menggeleng dan mengajak Taneyan. Rupanya, Tarebung membawa celurit itu ke kuburan eppa’-nya. Tarebung mengubur celurit itu di atas pusara Brodin.
”Cintaku padamu yang akan membuat carok berhenti di sini saja.” Tarebung menggenggam erat tangan Taneyan.
Pulau Garam, Januari 2019
Keterangan:
[1]Eppa’ (bahasa Madura) = bapak
[2]Oreng lake’ mate acarok, oreng bini’ mate arembi’ = seorang lelaki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan
[3]Ango’an pote tolang katembang pote mata = lebih baik putih tulang ketimbang putih mata
[4]Embu’ (bahasa Madura) = ibu
Zainul Muttaqin, lahir di Garincang, Batang-Batang Laok, Batang-Batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Pemenang II Lomba Cerpen Se-Nusantara (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kabupaten Sumenep, Desember 2017). Buku kumpulan cerpen perdananya, Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019). Tinggal di Sumenep, Madura.
Hari Budiono, lulusan Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, tahun 1985. Mantan wartawan dan aktif menulis tentang seni budaya di beberapa media. Kini menjadi Redaktur Artistik Majalah Budaya Basis di Yogyakarta. Sebagai pelukis, pada Maret hingga April lalu berpameran tunggal keliling Jakarta, Bali, Solo, dan Yogyakarta dengan mengusung tema ”Memedi Sawah”.