"Brunch" ala Manado di Akhir Pekan
Akhir pekan jelang siang di Manado, Sulawesi Utara, adalah waktu yang pas untuk menyantap berbagai kekayaan kuliner khas kota itu. Mari, makan!
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F7176a053-c5b3-4db4-b9ad-292a7a5b101e_jpg.jpg)
Suasana Rumah Makan Syully di Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, pada Minggu (13/10/2019). Rumah makan yang berdiri pada 1980 itu kini dijalankan oleh pasangan Reno Pattiasina dan Yenny Betsy Ngantung.
Akhir pekan tiba juga di Manado! Pas sekali untuk bangun lebih awal, senam, lari pagi, dan bersih-bersih rumah. Namun, siapa sangka, saat niat sudah membulat, virus mager alias malas gerak bisa bikin merem 5 menit bablas jadi 2 jam. Batal sudah semua rencana. Tapi, tenang saja, tak akan terlalu siang untuk aktivitas yang satu ini: makan!
Matahari sudah telanjur meninggi saat kesadaran sepenuhnya terkumpul, terlalu siang untuk aktivitas fisik. Namun, peralihan pagi menuju siang inilah yang paling pas untuk brunch. Kata dalam bahasa Inggris ini adalah kombinasi dari breakfast dan lunch, sarapan pagi dan makan siang.
Manado di Sulawesi Utara punya beragam tawaran makanan yang pas dinikmati di waktu yang nanggung pada akhir pekan. Coba saja ke kedai Nasi Kuning Saroja di Jalan Diponegoro, Lawangirung, Kecamatan Wenang, yang buka setiap hari hingga pukul 20.30 Wita.
Nasi kuning di atas sebuah piring akrilik segera dihidangkan setelah dipesan. Porsinya pas, tak terlalu banyak, tak pula terlalu sedikit.
Tumpukan lauk di atas nasi kuning itu adalah campuran semur daging sapi yang dipotong kecil-kecil, cakalang suwir, serpihan kentang dan ubi jalar goreng, taburan bawang goreng, serta serundeng. Sebutir telur ayam rebus memberikan warna kontras sekaligus menjadi pelengkap sajian senilai Rp 22.000 itu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F44f7ecbc-4ee8-4d82-916e-d56f23d936f2_jpg.jpg)
Kedai Nasi Kuning Saroja di Jalan Diponegoro, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, yang berdiri sejak 1977 itu menyediakan nasi kuning khas manado dengan daging semur dan cakalang suwir. Sepiring nasi kuning dijual dengan harga Rp 22.000.
Harum kunyit dan santan bercampur bawang goreng mengundang air liur. Suapan pertama menyalakan hampir semua bagian indera perasa. Nasi kuning yang gurih dan sedikit asin bercampur dengan manisnya semur serta kentang goreng. Cakalang suwir mempertemukan kekayaan cita rasa darat dan bahari.
Bagi pecinta pedas seperti orang Manado dan Minahasa pada umumnya, sudah tersedia sekotak sambal yang bisa diambil sesuai selera. Seperti warnanya yang merah berani, campuran cabai merah bercampur cabai rawit pedas menyengat. Kelengkapan rasa dan renyah lauk di atasnyalah yang membuat Nasi Kuning Saroja digandrungi.
Rafiah Madiu (48), salah satu pemilik rumah makan itu, justru merendah saat ditanyai tentang rahasia kelezatan nasi kuningnya. “Di mana-mana, nasi kuning di Manado hampir sama, bahkan ada yang lebih enak. Allah saja yang mengatur rezeki,” katanya, Sabtu (12/10/2019).
Namun, konsep nasi kuning di Manado berbeda dengan umumnya di Jawa. Di sana, nasi kuning dihidangkan dengan ayam goreng, sambal goreng tempe, perkedel, hingga irisan timun dan tomat. Lain lagi di Gorontalo, nasi kuning disajikan dengan laksa atau bihun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F94c2b867-6e13-458c-9c87-72f0781670d8_jpg.jpg)
Seorang warga berkunjung ke Kedai Nasi Kuning Saroja di Jalan Diponegoro, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (12/10/2019).
Kini, Rafiah melanjutkan bisnis yang berdiri sejak 1977 itu bersama kakak dan adiknya, Saidah (55) dan Jafar (47), serta sepupunya, Yanti Basarang (45). Mereka tidak membuka cabang. Namun, justru itu yang membuat para pemilik sangat dekat dengan pelanggan.
“Kalau pelanggan enggak suka daging, tinggal bilang pada kami, nanti kami lebihkan cakalang dan lauk lainnya. Bisa juga sebaliknya. Pokoknya, kami sesuaikan selera pelanggan,” katanya.
Tinutuan
Sajian khas Manado yang tak kalah cocok untuk brunch adalah tinutuan, nama lokal dari bubur manado. Ingat, belum sah ke Manado kalau belum coba bubur manado.
Maka, bertolaklah ke Jalan Wakeke, juga di Kecamatan Wenang. Di jalan kecil sepanjang lebih kurang 300 meter itu, ada 11 kedai yang menawarkan tinutuan. Jalan itu pun ditetapkan sebagai kawasan khusus wisata kuliner.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F5fb26cf8-1dd6-4817-bb8a-efa6c232d320_jpg.jpg)
Suasana gerbang Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (12/10/2019).
Salah satu kedai tinutuan pertama yang didirikan di situ adalah Rumah Makan Wakeke. Letaknya di persimpangan antara Jalan Sarapung dan Jalan Wakeke. Menu yang menarik adalah tinutan yang disajikan dengan tumbukan ikan roa seharga Rp 24.000 per porsi.
Hidangan itu disajikan selagi hangat dalam wadah piring porselen. Nasi, jagung, dan singkong dicampur aduk dengan daun bayam, kangkung, dan daun gedi khas Sulut. Potongan buah labu membuat warna bubur jadi dominan kuning. Tumbukan ikan roa ditaburkan hingga menutupi permukaan genangan bubur.
Uap yang mengepul dari permukaan menyebarkan harum lembut daun kemangi. Masalah kelezatan, tak perlu ditanya. Rasa manis jagung bertemu dengan gurih dan asin ikan roa. Benar-benar seimbang, tidak terlalu manis, asin, maupun hambar.
Baca juga: Vegetarian Rasa Indonesia
Tinutuan tak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein untuk memulai hari. Asupan serat pun disediakan daun-daun yang masih segar. Berbeda dari sayur bayam yang daunnya lembek, bayam, kangkung, dan gedi yang disajikan masih segar dan padat, hingga berbunyi saat dilumat.
Hasrat makan makin berpacu saat tinutuan bertemu sambal dan kecap. Bersama itu, muncul pula perdebatan: buburnya diaduk atau tidak? Mayoritas orang akan makan bubur manado yang diaduk. Namun, silakan kembali pada keyakinan masing-masing.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2Fe8da9ad2-21c8-41d0-92ab-64ba91493e3e_jpg.jpg)
Tinutuan atau bubur manado dengan taburan tumbukan roa adalah menu andalan Rumah Makan Wakeke di Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara.
Rumah Makan Wakeke kini dikelola oleh Teddy Tabalujan (56) sebagai generasi kedua sejak didirikan pada 1970-an. Dalam pasar persaingan sempurna dengan penjual tinutuan lainnya, Teddy berusaha menjaga keaslian serta ciri khasnya. Tinutuan roa adalah menu andalannya yang tak ada di kedai lain.
Teddy juga tidak menggunakan bubuk penyedap rasa. Selain itu, ia menyediakan perkedel ikan nike, semacam teri yang banyak ditemui di Danau Tondano, yang dibuat dengan resep rahasia.
Tumbukan roa juga saya olah sendiri setelah dipanggang, tidak beli jadi.
“Ini cara saya mempertahankan originalitas rasa. Hanya mengandalkan rasa yang dibawa oleh jagung, sayur, dan labu. Tumbukan roa juga saya olah sendiri setelah dipanggang, tidak beli jadi,” katanya.
Tinutuan pas disantap saat pagi hari atau menjelang siang. Karena itu, setiap hari, Rumah Makan Wakeke hanya buka sampai pukul 13.30 Wita.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F7b954d25-eae1-405d-9363-6d88ce5b891b_jpg.jpg)
Rumah Makan Wakeke yang menyajikan tinutuan atau bubur manado di Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (12/10/2019).
Mie cakalang
Satu lagi makanan yang tak boleh dilewatkan di Manado adalah mie cakalang. Saking umumnya mie cakalang di sini, beberapa warga Manado tak bisa menentukan restoran mana yang menyediakan mie cakalang terlezat.
Untungnya, kedai-kedai tinutuan di Jalan Wakeke juga menyediakan mie cakalang. Kebolehan mie cakalang di Rumah Makan Syully sebagai salah satu kedai tertua di situ patut dicoba. Harganya relatif murah, yakni Rp 17.000.
Meskipun menampilkan diri sebagai pelopor tinutuan, mie cakalang di kedai yang berdiri sejak 1980 itu juga tak mengecewakan. Sekilas tampak seperti mie ayam dalam mangkok bakso. Akan tetapi, aroma kaldu, cakalang, dan bawang goreng adalah pengalaman yang sama sekali berbeda.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2Fb0ee15e3-6ca6-4972-bd84-8ddb7d749c3f_jpg-1.jpg)
Mie cakalang yang disajikan di Rumah Makan Syully, di Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara.
Mie cakalang terdiri dari mi telur, serpihan irisan cakalang, tahu goreng, dan daun caisim. Ini meruntuhkan sangkaan rasa pahit yang dibawa sawi pada mie ayam umumnya. Kelezatan berasal dari berbagai macam rempah, yaitu bawang goreng, daun bawang, dan seledri.
Menyesap kuah mie cakalang seakan membukakan tabir dunia mi yang baru bagi yang belum pernah mencobanya. Ada rasa yang familier seperti ayam, tetapi rasa daging ikan cakalang seakan menyatu pula pada kuah. “Kuahnya tetap kami buat dengan kaldu ayam, kami rebus sendiri,” kata Reno Pattiasina (53), Minggu (13/10).
Tapi, kami berbeda karena kuahnya kami buat dengan kaldu ayam.
Tanpa ditambah apa-apa lagi, sedapnya kaldu ayam berpadu cakalang sudah sempurna. Jika ingin makan dengan cara khas Manado seutuhnya, sambal cuka yang pedas, manis, dan kecut sekaligus boleh memperkaya rasa.
Kini, rumah makan yang dibangun Syully Rompis-Ngantung itu diteruskan oleh Reno dan istrinya, Yenny Betsy Ngantung, sebagai generasi kedua. Menurut mereka, mie cakalang di mana-mana hampir mirip. “Tapi, kami berbeda karena kuahnya kami buat dengan kaldu ayam,” kata Reno.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F6f68debd-e95f-46ca-b0a4-fecc0e596237_jpg.jpg)
Suasana Rumah Makan Syully di Kawasan Wisata Kuliner Jalan Wakeke, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, pada Minggu (13/10/2019).
Adwitya (33), warga Makassar yang sudah tinggal di Manado selama 5 tahun, mengatakan, mie cakalang yang pernah ia coba tidak dibuat dengan kaldu ayam. “Makanya, amis cakalangnya terasa sekali, bahkan sampai berjam-jam setelah makan,” katanya. Pengalaman aftertaste ini tak muncul setelah menikmati mie cakalang Syully.
Hari sudah siang, akhir pekan masih panjang. Perut sudah terisi menu brunch ala Manado yang lezatnya mantap betul. Sekarang bagaimana? Lanjut tidur siang saja, kah?