Beban Hidup Pengungsi Perang
Senyum manis mengembang di wajah Yasmin (32). Sama sekali tak menggambarkan beban hidupnya membiayai empat anaknya seorang diri di Amman, Jordania. Sudah enam tahun pengungsi asal Suriah ini bertahan hidup di Amman.

Yasmin (32) bersama anaknya, Khaled (10), merupakan sebagian dari pengungsi Suriah yang bertahan di Jordania. Dengan menempati salah satu unit rumah susun di Amman, Yasmin tinggal bersama empat anaknya.
Senyum manis mengembang di wajah Yasmin (32). Sama sekali tak menggambarkan beban hidupnya membiayai empat anaknya seorang diri di Amman, Jordania.
Sudah enam tahun pengungsi asal Suriah ini bertahan hidup di Amman. Bersama keempat anaknya, Yasmin menempati salah satu unit rumah susun yang disewanya 150 dinar Jordania atau hampir Rp 2,7 juta per bulan.
Sebagai orangtua tunggal tanpa pekerjaan tetap, Yasmin harus berjuang sekuat tenaga. Mengerjakan yang dapat mendatangkan uang, seperti bekerja sebagai tenaga kebersihan di lingkungan tempat tinggalnya. Kerap kali ia harus menjual kupon makan yang diberikan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, seperti membeli sabun atau pakaian.
Anaknya yang tertua, Khaled (10), belakangan ini meninggalkan bangku sekolah. Bocah laki-laki ini memilih membantu Yasmin bekerja supaya bisa membiayai sewa unit rusun yang mereka tempati, makan mereka sehari-hari, termasuk kebutuhan mandi dan cuci.
Hidup tak memberikan banyak kemudahan bagi Yasmin. Beberapa tahun lalu ia memilih bercerai dari suaminya sehingga ia harus menghidupi keempat anaknya seorang diri. Selama enam tahun mengungsi di Amman sampai saat ini, ia belum pernah memperoleh bantuan uang tunai, salah satu bantuan dari UNHCR yang rutin diberikan setiap bulan kepada pengungsi korban perang. Nama Yasmin masih berada dalam daftar tunggu penerima bantuan.
”Saya hanya memperoleh voucer makan dan saya masih masuk daftar tunggu cash system (bantuan uang tunai), dan belum pernah menerimanya (bantuan uang tunai),” ujar Yasmin, Kamis (3/10/2019).

Yasmin bersama keempat anaknya yang sudah enam tahun ini mengungsi di Jordania, Kamis (3/10/2019).
Lebih berat lagi, selama mengungsi di Jordania, Yasmin tinggal sendiri. Sejak konflik dan perang di negaranya meningkat pada 2013 dan kian memanas pada 2014, keluarganya terpencar ke beberapa negara untuk menyelamatkan diri. Orangtuanya mengungsi ke Afrika. Kakaknya saat itu masih bertahan di Suriah, tetapi Yasmin meyakini kakaknya kini telah diungsikan UNHCR ke AS.
Sebetulnya, jika Yasmin memilih tinggal di kamp pengungsi UNHCR di Al-Azraq, sekitar satu jam berkendara dari Amman, seluruh kebutuhan Yasmin dipenuhi. Mulai dari rumah, listrik, air bersih, hingga sekolah anak-anaknya bisa dipenuhi di sana.
Namun, tinggal di kamp pengungsi tak menjadi pilihan Yasmin. Menurut dia, saat pertama kali menginjakkan kaki di Jordania, ia pun tinggal di kamp pengungsi. Saat itu Khaled masih berusia sekitar 3 tahun.
Kamp pengungsi yang dikelilingi lahan tandus dan berpasir membuat lingkungan kamp kerap diterpa angin yang membawa debu dan pasir. Khaled alergi terhadap debu dan mengalami gangguan kesehatan selama di kamp pengungsi itu.
”Pada 2013, saat saya pertama kali datang di Jordania, Khaled sakit karena debu dan cuaca sehingga saya pindah dari kamp pengungsi ke tengah kota (Jordania),” ucap Yasmin.

Kamp Al-Azraq, Jordania, Rabu (2/10/2019), menjadi tempat warga Suriah mengungsi selama negaranya dilanda kecamuk konflik dan perang.
Rumah pengungsi
Jordania merupakan salah satu dari beberapa negara Arab di dekat Laut Tengah yang menjadi rumah bagi pengungsi Suriah dan Palestina.
Di negara ini, berdasarkan data Regional Refugee and Resilience Plan yang dikendalikan oleh UNHCR, setidaknya ada 1,38 juta jiwa warga Suriah dan 673.414 jiwa di antaranya telah teregistrasi sebagai pengungsi. Selain itu, menurut Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurusi pengungsi Palestina, Jordania juga menjadi tuan rumah bagi 2,3 juta pengungsi Palestina.
Total pengungsi asal Suriah dan Palestina itu pun mencapai hampir separuh dari total penduduk Jordania. Hingga tahun 2019, jumlah penduduk Jordania sebanyak 10,1 juta jiwa.
Sekitar 80 persen pengungsi itu tinggal di kawasan perkotaan di Jordania, seperti Yasmin dan keempat anaknya yang memilih tinggal di Amman. Selebihnya bertahan di tempat pengungsian.
Kamp Al-Azraq, sekitar 100 kilometer dari Amman, merupakan salah satu kamp pengungsi Suriah di Jordania. Hingga Agustus 2019, kamp itu ditempati 35.767 pengungsi.
Total pengungsi asal Suriah dan Palestina itu pun mencapai hampir separuh dari total penduduk Jordania. Hingga tahun 2019, jumlah penduduk Jordania sebanyak 10,1 juta jiwa.
Mahmoud Al Melhem (35) adalah salah satu pengungsi Suriah yang memilih tinggal di Kamp Al-Azraq. Ia bersama istri dan tiga anaknya menempati satu unit rumah semipermanen yang dibangun dari seng yang dilapisi peredam hawa panas dan dingin, dengan luas lebih dari 60 meter persegi.
Tak banyak perabot rumah tangga di dalam rumah Mahmoud, tetapi cukup nyaman ditempati. Ruang keluarga seluas 20 meter persegi, dilengkapi karpet dan bantal-bantal kecil untuk duduk, dapat memuat lebih dari 15 orang untuk duduk bersama. Di musim dingin, tiap-tiap rumah diberikan mesin penghangat dari gas.
Total ada 8.650 unit rumah yang dihuni pengungsi di kamp ini. Hanya, menurut Mahmoud, tinggal di kamp pengungsi memang tidak leluasa. Pengungsi dilarang keluar dari kamp. Pintu masuk kamp dijaga ketat petugas keamanan. Tak heran, hanya sebagian kecil pengungsi yang tertarik tinggal di kamp walaupun seluruh kebutuhan pengungsi di kamp itu pun dipenuhi oleh UNHCR. Mulai dari listrik, air bersih, sekolah, tempat olahraga, hingga ada pelatihan menjahit dan melukis.
Namun, tanpa ada kegiatan pekerjaan, menurut Mahmoud, berada di dalam pengungsian dengan segala fasilitasnya itu membosankan. Sebagai manusia, lanjutnya, ia juga butuh pekerjaan yang bisa membuat dirinya merasa bermakna.

Dato’ Sri Tahir (kanan, mengenakan rompi biru) memimpin doa di tempat salah satu keluarga pengungsi Suriah di Kamp Al-Azraq, Jordania, Rabu (2/10/2019). Dalam doanya, Dato’ memohon agar para pengungsi Suriah dapat hidup dengan tenang.
Izin kerja
Baru setahun ini, lanjut Mahmoud, Pemerintah Jordania memberikannya izin keluar dari kamp untuk bekerja di lahan pertanian milik warga setempat. Pekerjaan itu, menurut dia, sangat bermanfaat bagi dirinya dibanding hanya berdiam diri di tempat pengungsian tanpa melakukan pekerjaan apa pun.
”Saya memiliki izin keluar kamp dan bekerja di pertanian. Ini sangat membantu saya,” ucapnya.
Terhitung pada 18 Februari 2018, Pemerintah Jordania dan UNHCR mendirikan kantor penyaluran tenaga kerja bagi pengungsi di Kamp Al-Azraq. Hingga 30 Juli 2019, ada 3.348 izin bekerja yang diterbitkan di kamp itu. Sementara total izin kerja yang diterbitkan kementerian tenaga kerja setempat selama 2017 sampai 30 Juli 2019 ada 9.720 izin kerja bagi pengungsi.
Asisten Perwakilan untuk Perlindungan UNHCR Jordania Alia al-Khattar Williams menyampaikan, izin kerja dari Pemerintah Jordania ini sangat membantu pengungsi untuk membangun kembali harga diri dan kemampuan ekonominya. Selama ini, sebelum ada izin kerja, tak banyak yang bisa dilakukan pengungsi untuk membangun kembali kepercayaan diri dan kemampuan ekonominya.
”Kini, para pengungsi yang dapat mengakses kerja akan memperoleh pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarganya,” ujarnya.
Bantuan tunai
Namun, untuk menjaga agar kebutuhan hidup pengungsi tetap terpenuhi dan martabat mereka sebagai manusia tetap terjaga, UNHCR juga menyokong kebutuhan hidup pengungsi dengan bantuan tunai. Alia mengatakan, tanpa bantuan tunai, pengungsi tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti membayar iuran sekolah anak-anaknya, termasuk kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Kaum ibu pengungsi Suriah mengisi hari-hari mereka di pengungsian Kamp Al-Azraq, Jordania, dengan menjahit, Rabu (2/10/2019).
Bantuan tunai itu, menurut Alia, diberikan kepada setiap kepala keluarga setelah dilakukan serangkaian pendaftaran dan penilaian.
Pada Kamis (3/10/2019), contohnya, ada lebih dari 100 pengungsi mendaftar untuk mengakses bantuan tunai itu di kantor UNHCR di Amman, Jordania. Mereka datang dari sejumlah negara di Timur Tengah yang sedang berkonflik. Tak hanya Suriah dan Palestina, tetapi juga ada pengungsi dari Irak. Pengungsi ini harus melalui lebih dari lima bilik untuk menjalani pendaftaran sekaligus penilaian sehingga dapat ditentukan bantuan yang akan diterimanya.
Agar bantuan itu tak mudah dialihkan kepada pihak lain, pengungsi diwajibkan merekam iris matanya. Iris mata itu digunakan sebagai pengganti nomor identifikasi personal (PIN) untuk menarik uang di mesin ATM. Seorang petugas UNHCR mengungkapkan, dengan iris mata digunakan sebagai kode akses, tak ada lagi pengungsi yang bisa memberikan akses untuk menarik bantuan tunai kepada pengungsi lain yang tak terdaftar.

Pengungsi yang umumnya berasal dari Suriah mengantre, menunggu giliran perekaman iris mata di Kantor UNHCR di Aman, Jordania, Kamis (3/10/2019). Iris mata digunakan sebagai kode akses bagi pengungsi untuk menarik bantuan tunai.
Bantuan itu pun hanya bisa ditarik di mesin-mesin ATM khusus yang dilengkapi mesin pembaca iris mata. ”Jika pengungsi itu kembali ke negaranya, tak ada yang bisa menarik uang yang kami sediakan. Sebab, untuk menarik uangnya, harus menggunakan iris mata penerima bantuan tersebut,” kata petugas UNHCR itu.
Bagi pengungsi yang buta, akses untuk menarik dana bantuan itu diberikan kepada anggota keluarganya yang lain.
Masih banyaknya pengungsi yang bertahan di Jordania membuat dana kemanusiaan bagi pengungsi tetap dibutuhkan.
Bantuan donor dan pengusaha
Selama ini, UNHCR memenuhinya dengan menggunakan dana bantuan dari negara-negara donor dan ada pula dari pengusaha yang menjadi penyumbang perseorangan. UNRWA pun mengandalkan bantuan serupa untuk memenuhi kebutuhan hidup pengungsi asal Palestina.
Alia mengungkapkan, meskipun ada banyak dana bantuan dari sejumlah negara yang mengalir ke UNHCR Jordania, dana itu masih saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pengungsi. Sebab, dana itu juga dibutuhkan untuk membiayai layanan kesehatan bagi pengungsi, infrastruktur di kamp pengungsi, termasuk bantuan tunai bagi pengungsi.

Deputi Komisioner Jenderal UNRWA Christians F Saunders
Deputi Komisioner Jenderal UNRWA Christians F Saunders mengungkapkan, dalam setahun pihaknya membutuhkan setidaknya 1,4 miliar dollar AS untuk membiayai kebutuhan pengungsi Palestina yang mengungsi di sejumlah negara Arab. Total ada 5,5 juta pengungsi Palestina, dengan 2,3 juta jiwa di antaranya bertahan di Jordania.
Selain mengandalkan bantuan dari negara-negara maju, Christians pun mengharapkan kalangan pengusaha dapat ikut membantu pengungsi Palestina. Filantrop Indonesia, Dato’ Sri Tahir, contohnya, telah menunjukkan komitmennya membantu pengungsi Palestina.
Setidaknya Rp 9 miliar diberikan Tahir kepada beberapa lembaga kemanusiaan di Jordania yang mengurus pengungsi korban perang pada Kamis (3/10/2019). Sebanyak Rp 5 miliar diberikan kepada UNRWA, Rp 2 miliar diberikan kepada UNHCR untuk pengungsi Suriah, dan Rp 2 miliar diberikan kepada Pemerintah Jordania melalui Kementerian Keuangan untuk mendukung penanganan pengungsi.
Tahir menyampaikan, pihaknya bisa saja memberikan bantuan itu melalui transfer bank. Namun, hal itu tidak ia lakukan. Menurut dia, dengan langsung hadir di tengah-tengah pengungsi, sekaligus memberikan dana bantuan, dirinya dapat menyaksikan dan merasakan langsung beban hidup yang ditanggung pengungsi.
Cara ini, menurut Tahir, dapat menumbuhkan empati pada dirinya sehingga tumbuh rasa tahu diri, bahwa dirinya patut bersyukur lahir dan hidup di negara yang damai di Indonesia.
Selain mengandalkan bantuan dari negara-negara maju, kalangan pengusaha dapat ikut membantu pengungsi Palestina.
Selama di Jordania, Tahir mengunjungi pengungsi di kamp pengungsi ataupun pengungsi yang tinggal berbaur dengan warga di kota Amman. Ia tak hanya mengunjungi fasilitas yang disediakan bagi pengungsi, tetapi juga datang menghibur dengan main bola bersama anak- anak pengungsi di Kamp Al-Azraq.
”Dengan begini, mengajarkan saya tahu diri. Kita patut bersyukur hidup di negara yang damai. Tidak lahir di tengah negara yang berkonflik seperti yang dialami para pengungsi ini,” katanya.
Tahir pun mengajak istri, anak, dan cucunya selama mengunjungi pengungsi di Jordania. Ia ingin agar keluarganya dapat ikut merasakan beban hidup yang ditanggung para pengungsi.
Yasmin, sebagai contoh, selama enam tahun mengungsi di Jordania hingga kini harus berjuang keras membiayai hidup anak-anaknya. Ia pun enggan kembali ke negerinya yang sampai saat ini belum aman. Baginya, keamanan anak-anaknya adalah yang utama.
”Yang terpenting, anak-anak saya aman, jauh dari bahaya. Itu sudah cukup,” ucapnya.
Perjalanan kemanusiaan yang dilakukan Tahir memang tak hanya untuk dirinya sendiri. Dengan perjalanan itu, Tahir juga ingin menyampaikan pesan bahwa terkoyaknya perdamaian dapat menimbulkan duka seperti yang dialami para pengungsi korban perang yang bertahan di Jordania ini.