Sekuat Tenaga Menjaga dan Melindungi Situ
Pemerintah bisa menerapkan model pengelolaan situ berbasis masyarakat. Warga setempat dirangkul turut menjaga keberlangsungan situ di sekitarnya. Masyarakat bisa dibimbing membentuk komunitas peduli situ.
Lebih dari tiga tahun, Rully Farisi (18) menempa fisik dan kemampuannya sebagai atlet kayak di sebuah situ dengan air berwarna hijau gelap di tengah belantara perumahan di Pamulang, Tangerang Selatan. Setiap lekuk situ ia kenali, tetapi tidak demikian dengan nama dan nasibnya.
”Situ Tujuh Muara sepertinya, ya? Tapi biasanya ini disebut Situ Pamulang Square,” kata Rully dengan nada ragu dan diikuti tawa kecil.
Rully menyebut nama Situ Pamulang Square karena situ itu berada di balik bangunan Pamulang Square. Sementara situ yang menjadi arenanya berlatih selama ini sebagai atlet dayung tak dilengkapi informasi apa pun terkait nama, luas, dan informasi singkat terkait fungsinya.
Jika merujuk pada data situ di Jabodetabek dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, situ tempat Rully berlatih ini bernama Situ Ciledug atau Situ Tujuh Muara. Situ ini merupakan satu dari 9 situ di Tangerang Selatan, yang masih berfungsi dan terjaga baik.
Namun, dari 9 situ di Tangsel itu ada yang sudah rata dengan tanah seperti Situ Kayu Antep karena dimiliki dan dapat dikuasai fisiknya oleh pengembang lewat penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB). Ada pula yang terancam hilang akibat tiga sertifikat hak milik (SHM) di areal situ itu juga dimiliki pengembang, seperti Situ Rompang.
Baca juga: Situ Hilang Bencana Datang
Satu-satunya yang dapat mengingatkan Rully bahwa ia juga bertanggung jawab menjaga Situ Ciledug adalah karena situ itu menjadi tempatnya berlatih dayung. Baru belakangan ini saja, sebagai atlet dayung untuk pra-PON (Pekan Olahraga Nasional), ia lebih sering berlatih di Situ Cipondoh, Kota Tangerang.
Bersama Dimas Antariksa (17), temannya sesama atlet dayung, Rully mengangkat sampah yang tergenang di Situ Ciledug. ”Kalau pas kita turun di air dan menemukan sampah, ya, langsung kita ambil,” kata Rully.
Rasa tanggung jawab Rully menjaga kebersihan Situ Ciledug itu berangkat dari nasihat dan binaan kakak-kakak pelatih dayungnya di Organisasi Kepemudaan Gugusan Alam Nalar Ekosistem Pemuda Pemudi (OKp Ganespa). Selama ini, organisasi pemuda ini diandalkan Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk menjaga dan melestarikan Situ Ciledug baik dari limbah dan sampah maupun pihak-pihak yang berusaha melakukan alih fungsi situ.
Jadi bukan kami yang berhadapan dengan masyarakat karena ini bisa memicu konflik horizontal antara kami dan warga. Perlu ada kerja sama dengan pemda sehingga ada aparat yang bisa diterjunkan untuk menindak warga yang mencemari atau merusak situ
Ketua OKp Ganespa, Dodi Harianto mengungkapkan, sejak ia bersama teman-temannya di OKp Ganespa menjaga Situ Ciledug pada 2004, diperoleh pelajaran bahwa menjaga dan melestarikan situ dibutuhkan peran serta seluruh pihak.
Namun, masalahnya, menurut Dodi, saat ini seluruh situ di Tangsel dan juga Jabodetabek dikelola oleh BBWSCC, bukan lagi di pemerintah daerah. Sementara BBWSCC pun tak memiliki aparat di lapangan yang bisa menindak setiap pihak yang berusaha menguasai maupun merusak areal situ.
”Kehadiran aparat ini dibutuhkan agar kami dan juru situ yang menjaga situ ini tak terlibat konflik horizontal dengan warga,” katanya.
Lihat juga: Kala Situ Jabodetabek Disulap Jadi Perumahan
Ada baiknya, menurut Dodi, BBWSCC tetap menggandeng pemerintah daerah setempat. Jika ada pihak yang terbukti mencemari situ atau membangun kedai di sempadan situ, itu bisa ditindak oleh aparat pemda.
”Jadi bukan kami yang berhadapan dengan masyarakat karena ini bisa memicu konflik horizontal antara kami dan warga. Makanya tetap perlu ada kerja sama dengan pemda sehingga ada aparat dari pemda yang bisa diterjunkan untuk menindak warga yang mencemari atau merusak situ,” ujarnya.
Untuk menjaga situ-situ lainnya di Jabodetabek, sejak 2014 BBWSCC telah merekrut warga setempat menjadi juru situ. Keterlibat mereka cukup bermanfaat untuk menjaga situ sekaligus menularkan kesadaran untuk menjaga situ kepada warga.
Juru Situ Rompang, Tukimin (47), salah satu contohnya. Bersama warga, Tukimin menjaga kelestarian Situ Rompang yang kini luas bidang airnya tinggal sekitar 1,5 hektar. Padahal, berdasarkan inventarisasi BBWSCC, luas awal situ itu mencapai 10 hektar, tetapi pada 2018 menjadi 2,9 hektar.
Tukimin tak lain adalah warga yang memanfaatkan lahan Situ Rompang sebagai tempat tinggal. Sebagai Ketua RT setempat, ia mengungkapkan, ada 327 keluarga atau 1.200 jiwa yang tinggal di lahan Situ Rompang.
Sejak Tukimin direkrut sebagai juru situ, sedikit demi sedikit warga yang menempati areal Situ Rompang itu menyadari untuk menjaga kebersihan dan kelestarian situ. ”Saya kan rutin memberikan laporan dan memperoleh pelatihan dari BBWSCC untuk melestarikan situ ini. Pengetahuan yang saya terima, saya bagikan juga kepada warga di sini,” jelasnya.
Bahkan, Tukimin bersama beberapa warga lainnya, Jon Kaster Tobing (57) dan Toto Suharto (68), menyadari bahwa mereka juga bagian dari masalah pelestarian Situ Rompang. Mereka mengaku sudah menggarap lahan Situ Rompang sejak 30 tahun lalu untuk dijadikan tempat tinggal. Toto pun memanfaatkan halaman rumahnya sebagai tempat pemancingan.
Sudah beberapa tahun ini ada pengembang yang berusaha menguasai seluruh areal Situ Rompang. Warga mencurigai pengembang itu berusaha menguruk seluruh air situ yang masih terjaga sampai saat ini.
Berangkat dari kesadaran itu, mereka bersama-sama menjaga Situ Rompang dari alih fungsi, baik oleh warga yang menggarap lahan maupun pengembang yang berusaha menguasai seluruh areal situ. ”Kami tahu ini tanah pengairan dan tidak mungkin bisa kami miliki,” ucapnya.
Menurut Tobing, sudah beberapa tahun ini ada pengembang yang berusaha menguasai seluruh areal Situ Rompang. Menurut dia, warga mencurigai pengembang itu berusaha menguruk seluruh air situ yang masih terjaga sampai saat ini. Kecurigaan itu berangkat dari aktivitas pengurukan yang dilakukan pengembang di areal situ yang tepat berdampingan dengan tempat tinggal mereka.
”Kalau tidak kami demo (Januari 2019), sepertinya mau diuruk semuanya itu,” jelasnya.
Baca juga: Situ Hilang Ancam Lingkungan Jabodetabek
Dari penelusuran Kompas, sejak 1974 dan 1978 telah terbit 4 SHM untuk lahan Situ Rompang. Tiga SHM di antaranya dimiliki PT Harapan Permai Indonesia (PT Harperindo), dengan total luas lahan lebih dari 3 hektar. Salah satu SHM itu berada tepat di bagian situ yang masih dipenuhi air. Sementara data BBWSCC, menunjukkan luas Situ Rompang saat ini sekitar 2,9 hektar.
Untuk mempertahankan Situ Rompang, Tobing bersama Tukimin dan Toto menyimpan semua dokumen terkait pengelolaan lahan situ, termasuk fotokopi peta lokasi Situ Rompang yang dimuat dalam peta kuno Belanda pada 1929. Pengumpulan dokumen itu bertujuan untuk menghalau segala upaya dari pihak mana pun yang berusaha menguasai lahan Situ Rompang, dengan argumentasi bahwa situ itu ada sejak zaman dulu.
”Di peta Belanda pun, situ ini ada sejak jaman dulu,” kata Tobing.
Hingga kini, PT Harperindo tengah menggugat beberapa instansi pemerintah di Pengadilan Negeri Kota Tangerang agar mereka bisa memproses 3 SHM yang mereka miliki itu dapat dibalik nama menjadi atas nama PT Harperindo. Proses itu belum dapat dilaksanakan lantaran buku tanah tiga SHM di kantor Badan Pertanahan Nasional Tangsel itu diblokir karena ada catatan masih dipermasalahkan oleh Dinas Tata Air Tangerang sejak 1981. Sementara pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah mengakui, terbitnya SHM di areal situ adalah kesalahan BPN di masa lalu.
Menjaga kelestarian situ dalam kehidupan sehari-hari juga bukan perkara mudah. Tukimin pun harus bersikap tegas terhadap warganya yang merusak atau berusaha mengurangi areal air Situ Rompang. Seperti pada pertengahan September lalu, Tukimin mendapati warganya tengah menimbun bibir situ dengan tanaman eceng gondok.
”Siapa yang ngelebarin (menambah lebar bibir situ) ini? Sudah dibilangin, jangan ngelebarin tanah ke arah situ. Tambah sempit nanti situnya,” kata Tukimin keras. Warga yang ditegurnya pun hanya bisa menggerutu.
”Warga harus terus diingatkan terus untuk sama-sama menjaga situ,” kata Tukimin.
Baca juga: Waktu Ada Situ, Sumur Enggak Pernah Kering
Di Kota Depok, ada pula Situ Bojongsari. Kondisinya jauh lebih terjaga karena masih dikelilingi perkampungan, dan sebagian dikelilingi oleh areal golf dan tempat pelatihan milik instansi pemerintah. Warga setempat juga tidak membuang limbah rumah tangganya ke situ itu. Setiap rumah sudah menggunakan septic tank. Pada musim kemarau, air situ ini juga diandalkan warga untuk mencuci.
Namun, menurut Juru Situ Bojongsari, Paryono, ada saja orang yang berusaha memiliki lahan situ dengan menguasai area situ yang alami sedimentasi. Menurut dia, dari beberapa informasi yang diperoleh, ada empat akta jual-beli yang terbit di lahan endapan situ. Lahan itu kini digarap untuk tanaman hias oleh beberapa warga.
”Yang memiliki AJB itu sepertinya orang luar, karena orang di sini tidak ada yang memiliki,” jelasnya.
Jika pemerintah menerapkan model pengelolaan situ berbasis masyarakat, penduduk setempat bisa dirangkul untuk turut menjaga keberlangsungan situ di sekitarnya. Sebagai contoh, masyarakat bisa dibimbing membentuk komunitas peduli situ.
DS (40), salah satu penggarap di lahan Situ Bojongsari itu, mengaku, ia menggarap lahan situ yang alami pendangkalan dan sudah rata dengan tanah. Namun, tanah itu pun sudah milik seseorang di luar Kota Depok. ”Ini mah lahan sengketa. Sebenarnya ini lahan situ. Kami hanya memanfaatkan saja untuk tanam tanaman hias,” ucapnya.
Untuk mengamankan areal situ, BBWSCC telah membangun jalur joging sebagai areal sempadan di sejumlah situ. Seperti dijumpai di Situ Rompang dan juga Situ Bojongsari, jalur joging yang dibangun tak terlampau lebar, 50-80 sentimeter.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengatakan, pihaknya tak bisa memungkiri ada sejumlah situ yang luasnya menyusut dan kini telah dikepung permukiman. Untuk situ-situ yang sekitarnya dipadati permukiman, hanya dapat dijaga sempadannya dengan membangun jalur joging. Tujuannya untuk menjaga luas situ sehingga tak lagi menyusut.
”Untuk sempadannya, gunakan lahan yang kosong. Kalau yang sudah berbentuk rumah, kita biarkan. Kita mengerjakan yang ada,” ujarnya.
Baca juga: Merugi Setelah Situ Jadi Perumahan
Ahli hidrologi sumber daya air Institut Pertanian Bogor, Hidayat Pawitan, mengatakan, pemerintah sebaiknya membagi kewenangan dalam menjaga situ-situ di Jabodetabek. Pemerintah pusat fokus menjaga situ besar yang masih ada. Pengelolaan dan perawatan situ yang besar bisa menuai dampak yang terasa bagi masyarakat setempat.
”Pemerintah pusat harus menangani situ skala besar. Skala kecil serahkan ke pemda. Lebih kecil lagi serahkan ke masyarakat,” ujarnya.
Menurut Hidayat, jika pemerintah menerapkan model pengelolaan situ berbasis masyarakat, penduduk setempat bisa dirangkul untuk turut menjaga keberlangsungan situ di sekitarnya. Sebagai contoh, masyarakat bisa dibimbing membentuk komunitas peduli situ.
”BBWSCC bisa membina model-model pengelolaan berbasis masyarakat, tetapi jangan terus terlibat,” kata Hidayat.