Sander: Indonesia Perlu Belajar dan Selesaikan Pekerjaan Rumah
Peningkatan risiko global berdampak pada ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Bagaimana Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander memandangnya? Berikut wawancaranya.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·5 menit baca
Peningkatan risiko global berdampak pada ekonomi negara-negara kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Pemerintah berupaya memperkecil dampak tekanan global itu dengan sejumlah kebijakan. Untuk mendalami kondisi dan respons ekonomi Indonesia, Kompas mewawancarai Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander di kantor Bank Dunia di Jakarta, Rabu (9/10/2019). Berikut petikan wawancaranya:
Peringatan Bank Dunia dalam laporan perekonomian kawasan Asia Timur dan Pasifik bertajuk ”Risiko Pelapukan Meningkat” cukup keras. Bagaimana proyeksi perekonomian global terkini?
Mayoritas indikator ekonomi kawasan hingga Juli 2019 di bawah ekspektasi. Penyebab utamanya adalah eskalasi ketegangan perdagangan AS-China yang berimbas pada penurunan ekspor dan investasi. Tren pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik diperkirakan terus melambat dari 6,3 persen tahun 2018 menjadi 5,8 persen tahun 2019, kemudian 5,7 persen dan 5,6 persen pada tahun 2020 dan 2021.
Tekanan terhadap ekonomi kawasan semakin kuat manakala pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah negara Uni Eropa terkontraksi cukup dalam. Potensi resesi ekonomi AS juga makin nyata yang tecermin dari inverted yield curve obligasi Pemerintah AS. Peningkatan ketidakpastian global ini menimbulkan ancaman jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan.
Seberapa besar dampak tekanan eksternal terhadap perekonomian Indonesia?
Ketidakpastian global akan menekan ekonomi Indonesia dari dua sisi, yaitu neraca perdagangan dan arus modal asing. Meski bukan negara eksportir, seperti Vietnam, Thailand, atau Malayasia, kinerja ekspor Indonesia juga melambat. Ekspor sejumlah komoditas turun seiring permintaan global yang turun. Harga komoditas juga melemah, terutama untuk maple dan batubara. Ekspor sulit dijadikan motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Ketidakpastian global juga mendorong arus modal keluar. Indonesia seharusnya belajar dari kejadian tahun 2013, 2015, dan akhir 2018 lalu. Arus modal keluar menyebabkan rupiah terdepresiasi. Defisit transaksi berjalan tahun 2019 diperkirakan 2,8 persen produk domestik bruto (PDB)— lebih tinggi dari proyeksi Bank Indonesia kisaran 2,5 persen PDB. Volatilitas nilai tukar rupiah akan berdampak pada kondusivitas ekonomi domestik.
Dengan hanya mengandalkan konsumsi domestik, apa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa di atas 5 persen?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pada kisaran 5 persen. Namun, Indonesia berpotensi tumbuh lebih tinggi dari 5 persen, 6 persen, bahkan 7 persen. Konsumsi domestik dalam jangka menengah panjang harus dibarengi peningkatan produktivitas, kualitas angkatan kerja, dan pertumbuhan investasi.
Jumlah penduduk bekerja ditingkatkan agar konsumsi bisa tumbuh tinggi. Secara spesifik, angkatan kerja Indonesia memang tumbuh, tetapi tidak secepat 5-10 tahun lalu. Pertumbuhan angkatan kerja mesti dipacu dengan mendatangkan lebih banyak investasi, terutama di bidang infrastruktur.
Presiden Joko Widodo, dalam periode kedua kepemimpinannya, akan fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bagaimana pandangan Bank Dunia?
Peningkatan kualitas modal manusia penting untuk memperbaiki daya saing. Ada tiga hal yang mesti dilakukan pemerintah saat ini, yaitu menurunkan angka tengkes, meningkatan pendidikan dasar, dan memberikan pelatihan tenaga kerja. Pemerintah juga jangan lupa bahwa peningkatan produktivitas sangat terkait dengan isu kesehatan. Saat ini, angka harapan hidup Indonesia jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam. Untuk itu, investasi dalam sistem kesehatan nasional, seperti BPJS Kesehatan, tetap harus dilanjutkan. Upaya preventif dalam bentuk kebijakan konkret juga dibutuhkan.
Bagimana dengan rencana pemerintah menaikkan cukai rokok?
Kami mendukung kenaikan cukai rokok. Salah satu penyebab angka harapan hidup di Indonesia lebih pendek karena jumlah perokok tinggi, terutama pria. Selain meningkatkan angka kematian, rokok juga menjadi penyebab penyakit katastropik yang membebani klaim sistem kesehatan nasional.
Oleh karena itu, kenaikan cukai rokok diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok dan meningkatkan angkatan kerja sehat. Hal itu akan memengaruhi daya saing Indonesia masa depan. Di sisi lain, peningkatan cukai rokok akan menambah penerimaan negara dan turut memperbaiki lingkungan.
Sejauh ini, indikator makro ekonomi Indonesia cukup baik, peringkat layak investasi juga naik. Namun, mengapa investor lebih memilih Vietnam dan Thailand untuk relokasi bisnis dari China?
Indonesia memiliki kebijakan makro cukup baik, inflasi stabil, defisit anggaran kecil, rasio utang terhadap PDB relatif rendah dibandingkan negara tetangga, kebijakan moneter, dan kurs rupiah saat ini juga stabil. Namun, investor masih melihat indikator-indikator itu dalam jangka panjang. Mereka berpatokan pada kondisi taper tantrum tahun 2013. Indonesia bergantung arus modal portofolio yang menyebabkan volatilitas kurs rupiah.
Selain itu, ketidakpastian hukum di Indonesia juga sangat tinggi. Sebagai contoh, seluruh proses relokasi investasi dari China ke Vietnam dan Thailand hanya membutuhkan waktu 60 hari. Sementara itu, investasi di Indonesia kerap terkendala aturan Standar Nasional Indonesia (SNI), surat rekomendasi dari banyak lembaga kementerian, dan proses birokrasi yang rumit dengan pemerintah daerah. Belum lagi masalah hambatan tarif impor barang input dan biaya logistik yang tinggi.
Bagaimana dengan rencana pemerintah menurunan Pajak Penghasilan (PPh) badan?
Perpajakan bukan pertimbangan utama yang dilihat perusahaan. Namun, dalam prinsipnya Indonesia bisa menurunkan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen. Penurunan tarif PPh harus mencakup reformasi perpajakan dalam arti luas. Sebagai contoh, penurunan tarif PPh dibarengi perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tujuannya, untuk mengompensasi potensi penerimaan pajak yang hilang. Di India, misalnya, perluasan basis PPN dilakukan pada sektor barang dan jasa.
Penurunan PPh badan tetap harus dilakukan hati-hati mengingat kemampuan Indonesia mengumpulkan pajak yang relatif rendah. Rasio pajak terhadap PDB masih sekitar 15 persen. Indonesia perlu menaikkan rasio pajak setidaknya menjadi 15 persen PDB dalam jangka menengah. Untuk itu, penurunan PPh harus dikompensasi perluasan basis PPN sehingga rasio pajak bisa tetap naik dan fiskal tidak terlalu terbebani.
Selain memberikan insentif fiskal, pemerintah juga tengah menyusun omnibus law. Apa kebijakan itu efektif untuk menarik investasi berorientasi ekspor?
Bank Dunia belum mendapatkan data dan informasi spesifik terkait rumusan omnibus law. Namun, hal terpenting dalam perbaikan regulasi bisnis adalah memberikan kepastian bagi investor.
Di tengah ketidakpastian global, apakah perkembangan ekonomi digital di Indonesia bisa mendorong pertumbuhan?
Potensi ekonomi digital untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas Indonesia sangat besar. Untuk mengoptimalkan potensi ekonomi digital, pemerintah harus mendorong peningkatan nilai tambah dan mengembangkan jaringan internet. Di China, misalnya, ekonomi digital diarahkan untuk mendorong model bisnis ke bisnis (B to B). Platform e-dagang dikembangkan untuk menjual lebih banyak produk dalam negeri, terutama dari kelompok usaha kecil menengah.