Pola pembinaan olahraga di Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, yang berbasis pada jenjang pendidikan formal, perlu segera diterapkan di Indonesia. Pola itu terbukti jitu melahirkan banyak atlet kelas dunia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melihat paceklik prestasi olahraga nasional dan tersendatnya regenerasi atlet saat ini, sepantasnya pemerintah memperkuat pembinaan olahraga sejak akar rumput. Berkaca dari kesuksesan Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, pemerintah patut mengoptimalkan lembaga pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi sebagai ujung tombak pembinaan olahraga.
Kepala Badan Perencaaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, ketika membuka seminar Refleksi Setahun Asian Games 2018 dan Rencana Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional di Kantor Bappenas, Kamis (10/10/2019), mengatakan, Indonesia patut berkaca pada Jepang, Australia, atau Amerika Serikat (AS). Negara-negara raksasa di setiap Olimpiade itu menjadikan lembaga pendidikan sebagai ujung tombak pembinaan olahraga.
”AS, misalnya, pembinaan olahraga tingkat perguruan tingginya sangat hidup. Setidaknya, mereka punya NCAA, yakni kejuaraan tingkat perguruan tinggi nasional. Dari NCAA, banyak lahir atlet-atlet top dunia terutama di cabang atletik, renang, hingga basket. Bahkan, perenang Singapura yang meraih emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Joseph Schooling, lahir dari kompetisi itu,” ujar Bambang.
Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas Subandi Sardjoko menuturkan, sejatinya Indonesia mempunyai modal besar untuk mengandalkan lembaga pendidikan sebagai ujung tombak pembinaan olahraga.
Sebab, lembaga pendidikan SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi sudah tersebar seantero negeri. Bahkan, beberapa daerah/provinsi pun memiliki Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar (PPLP), Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahasiswa (PPLM), dan Sekolah Khusus Olahraga (SKO).
Negeri ini sudah terlalu banyak berdiskusi dan seminar. Sekarang, kita butuh bukti nyatanya.
Hanya saja, pemangku kepentingan di bidang olahraga belum melihat peluang itu. Bahkan, di sekolah, porsi pelajaran sekolah sangat kecil. Di luar jam sekolah, olahraga hanya menjadi program ekstrakulikuler yang tidak wajib. Belum lagi sarana atau fasilitas olahraga juga tidak memadai di banyak sekolah yang ada.
Itu sangat disayangkan. Melihat Jepang, Australia, atau AS, mereka justru menempatkan pelajaran olahraga sebagai pelajaran wajib. Mereka juga punya cabang prioritas yang patut dipelajari di sekolah, antara lain cabang olahraga induk (mother of sports) seperti atletik, akuatik, dan senam.
Dari fondasi cabang induk itu, baru nanti anak-anak diarahkan ke olahraga lain yang jadi minat dan bakatnya. ”Sekolah-sekolah mereka pastinya dilengkapi fasilitas yang memadai untuk menunjang pembinaan yang optimal,” kata Subandi.
PPLP dan SKO
Subandi mengutarakan, Indonesia mungkin bisa memulai fokus pembinaan di lembaga pendidikan yang sudah, seperti di PPLP dan SKO. Sekarang, baik PPLP maupun SKO sudah tersebar di sejumlah daerah. Dan terbukti, lembaga itu bisa melahirkan atlet top nasional. PPLP NTB melahirkan sprinter yang sekarang menjadi andalan Indonesia, Lalu Muhammad Zohri. SKO Ragunan melahirkan pesepak bola muda Egy Maulana Vikri yang kini bermain di Liga Polandia.
Namun, PPLP ataupun SKO membutuhkan penguatan. Sekarang, pemangku kebijakan perlu memperluas lagi jaringan PPLP ataupun SKO. Contohnya SKO, sekarang baru terdapat 17 SKO di seluruh Indonesia. Ke depan, setiap provinsi harus memiliki SKO.
Kemudian, PPLP ataupun SKO patut dilengkapi dengan sarana dan prasarana latihan yang memadai. Sekarang, tak sedikit PPLP ataupun SKO yang justru tidak memiliki fasilitas latihan yang memadai. Tanpa fasilitas latihan mumpuni, bagaimana mungkin atlet pelajar itu bisa berlatih dengan optimal.
”Selain itu, PPLP ataupun SKO itu harus memilah dan memilih cabang prioritas ataupun unggulan dari daerah masing-masing. Kami mengusulkan sepuluh cabang prioritas untuk pembinaan di Indonesia, yakni bulu tangkis, panjat tebing, atletik, panahan, angkat besi, taekwondo, senam, dayung, renang, dan sepeda. Setiap PPLP maupun SKO bisa memfokuskan pembinaan di antara cabang-cabang tersebut,” tutur Subandi.
Kompetisi
Bambang melanjutkan, kemudian yang tak kalah penting, perlu ada kompetisi berjenjang dan rutin. Kompetisi itu harus dilakukan dari tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Tingkatannya dari level terkecil kampung, kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi, hingga nasional. Nanti, atlet-atlet terbaik di tingkat nasional yang patut dikirim ke ajang-ajang internasional sesuai level usianya.
”Sekarang sudah sangat jarang ada kejuaraan rutin di tiap daerah maupun nasional. Jika pun ada, seperti PON (Pekan Olahraga Nasional), justru jadi ajang jual-beli atlet. Sudah jadi rahasia umum, atlet berpindah-pindah daerah setiap PON yang utamanya ke daerah tuan rumah demi mengejar gengsi jadi juara umum atau mendulang medali emas sebanyak-banyaknya. Buat apa? Mentalitas buruk itu justru membuat pembinaan tidak ada gunanya,” ujar Bambang.
Mantan Ketua Komite Olimpiade Indonesia dan mantan Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) Erick Thohir menyampaikan, peta rencana pembinaan olahraga yang disusun Bappenas sangat ideal. Sekarang yang ditunggu adalah implementasi atau kerja nyata untuk melakukan perubahan tersebut. ”Kita jangan cuma terus berdiskusi atau seminar. Negeri ini sudah terlalu banyak berdiskusi dan seminar. Sekarang, kita butuh bukti nyatanya,” pesan Erick.
Respons lambat
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto menyampaikan, pihaknya tidak kaget dengan segala usulan itu. Hal itu bukan sesuatu yang benar-benar baru. Setidaknya, transformasi program olahraga nasional sudah diminta oleh Presiden Joko Widodo ketika menerima Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir seusai pasangan ganda campuran itu meraih emas Olimpiade 2016 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Hanya saja, Gatot mengakui bahwa respons Kemenpora sangat lambat. Bahkan, sampai detik ini, belum ada perubahan mencolok dalam pembinaan olahraga nasional. Praktis mereka baru mulai melakukan perubahan pada sistem penganggaran pelatnas induk cabang olahraga.
Dahulu, anggaran digelontorkan secara merata ke semua cabang. Sekarang, mereka membaginya dalam sejumlah kluster dan cabang-cabang unggulan dengan jejak prestasi dunia menjadi kluster utama yang dapat porsi anggaran lebih besar.
”Untuk yang lain, semuanya belum bisa jalan karena keterbatasan anggaran dan butuh koordinasi lebih erat dengan lembaga lain. Untuk memperluas PPLP, misalnya, dibutuhkan anggaran besar, sedangkan anggaran Kemenpora terbatas dan terkuras untuk pelatnas. Selain itu, butuh kerjasama dengan pihak lain, seperti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mengelola pembinaan atlet tingkat perguruan tinggi,” ujar Gatot.