Kebiasaan Arteria yang Bikin Geger dan Kode Etik DPR
Perdebatan antara anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, dan menteri di era Orde Baru, Emil Salim, Kamis (10/10/2019), menjadi viral, mengantarkan Arteria sebagai topik pembicaraan paling populer di media sosial.
Perdebatan antara anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, dan menteri di era Orde Baru, Emil Salim, Kamis (10/10/2019), menjadi viral. Hal itu bisa jadi merupakan titik puncak penampilan Arteria yang paling menggegerkan di muka publik.
Peristiwa itu mengantarkan Arteria sebagai topik pembicaraan paling populer di media sosial, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Pada Kamis itu, nama Arteria menjadi salah satu trending topic dunia di Twitter. Jagat media sosial itu disesaki pembicaraan, hujatan, dan ejekan terhadap gaya berdebat politisi PDI-P yang menyerang Emil Salim secara bertubi-tubi dengan nada tinggi, umpatan, dan gestur menuding-nuding ekonom senior itu.
Respons warganet terhadap perilaku Arteria tak berhenti di situ. Ada pula yang membajak profilnya di situs Wikipedia. Deskripsi dirinya sebagai politisi dan pengacara diubah menjadi olok-olok.
Perdebatan itu berlangsung dalam talk show di salah satu stasiun televisi. Arteria bersama anggota DPR lainnya, yaitu Supratman Andi Agtas dari Fraksi Partai Gerindra dan Johnny G Plate dari Fraksi Partai Nasdem.
Mereka dihadapkan dengan Emil Salim, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, dan Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan.
Keenam narasumber itu diundang untuk memperbincangkan urgensi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi.
Revisi UU KPK dan pembahasan sejumlah RUU lainnya telah memicu gelombang unjuk rasa berujung kericuhan. Menanggapi gejolak tersebut, Presiden Joko Widodo pun meminta untuk menunda pembahasan beberapa RUU dan mempertimbangkan penerbitan perppu terhadap UU KPK.
Dalam acara bincang-bincang itu, para narasumber diposisikan dalam kubu yang berbeda sikap. Tiga anggota DPR sebagai pendukung revisi UU KPK dan menolak penerbitan perppu, sedangkan tiga narasumber lainnya bersikap sebaliknya.
Mereka berdebat selama sekitar satu jam. Mereka satu sama lain sama-sama berkeras pada pendiriannya. Namun, sikap Arteria paling mencolok.
Selain terlibat perdebatan keras dengan Emil Salim, Arteria juga mengejek pembicara lainnya. Terhadap Djayadi Hanan, misalnya, Arteria mempertanyakan keabsahan metodologi survei LSI yang hasilnya menunjukkan mayoritas responden berharap presiden menerbitkan perppu untuk UU KPK.
Arteria juga tak berkenan saat Feri Amsari mengatakan presiden perlu mempertimbangkan penerbitan perppu karena gejolak penolakan terhadap UU KPK telah berdampak pada kematian mahasiswa. Menurut Arteria, pandangan tersebut merupakan provokasi yang tidak semestinya disampaikan akademisi.
Sejumlah ejekan yang merendahkan pun terlontar, seperti Feri dicapnya tak lebih pintar dari dirinya. Djayadi tak perlu berlagak sok intelek pun keluar dari mulut Arteria.
Beberapa hari setelah perdebatan itu, Arteria membela diri. Ia merasa telah mengatakan hal-hal yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai anggota DPR yang ikut membahas revisi UU KPK.
”Saat ini yang dibahas bukan perppu lagi, tetapi sikap saya yang kurang sopan. Padahal, kita ini belajar jujur dan menyatakan yang benar saja,” katanya.
Menurut Arteria, narasumber yang diundang pun tak semua memiliki kapasitas yang sesuai untuk membicarakan perppu sebagai produk hukum. Oleh karena itu, perbincangan memang berpotensi besar menjadi debat kusir.
Kebiasaan lama
Gaya khas Arteria saat menyampaikan pendapat sebenarnya bukan fenomena baru. Ia tercatat kerap melakukan hal serupa pada berbagai kesempatan sejak masa awal melangkah ke Senayan.
Arteria diangkat sebagai anggota DPR pada 2015 untuk menggantikan Djarot Saiful Hidayat yang didaulat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pada kesempatan pertamanya, Arteria ditempatkan di Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur dan reformasi birokrasi, serta kepemiluan.
Dalam salah satu rapat dengan mitra Komisi II pada Juni 2016, Arteria mengejek rencana kebijakan rasionalisasi pegawai negeri sipil (PNS) yang dibuat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi.
Saat itu, jumlah PNS membeludak, pemerintah hendak merampingkan sistem kepegawaian salah satunya dengan memensiundinikan 1 juta PNS. Arteria mengatakan, lebih baik Menteri PANRB beserta jajaran yang pensiun dini jika tak bisa mengelola sistem PNS dan malah memecat mereka.
Di luar itu, Arteria juga terlibat beberapa kali perdebatan keras, mulai dari mitra komisi hingga sesama anggota Komisi II. Ia pun dipindahtugaskan dari Komisi II ke Komisi VIII yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang agama dan sosial pada Juni 2017.
Meski sempat ”dilempar” ke Komisi VIII, Arteria yang berlatar belakang pendidikan hukum dan berpengalaman sebagai pengacara dipercaya untuk bertugas di Komisi III yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan sejak September 2017. Saat itu, Komisi III tengah sibuk dengan wacana revisi UU KPK dan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK.
Namun, perpindahan tugas tak menghilangkan kebiasaannya. Dalam salah satu rapat dengar pendapat dengan Kejaksaan Agung pada Maret 2018, umpatan kembali ia lontarkan ketika tengah membahas ihwal maraknya biro perjalanan umrah bodong.
Arteria menuding, praktik penipuan yang dilakukan biro perjalanan umrah itu terkait dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan jajarannya. Ia menyebut jajaran Kementerian Agama dengan ungkapan ”bangsat”.
Umpatan itu memicu reaksi dan kecaman dari para pegawai Kementerian Agama. Arteria pun meminta maaf, tetapi tetap disertai pembenaran bahwa umpatannya didasarkan pada empati terhadap warga yang tertipu oleh biro perjalanan umrah bodong.
Meski sudah dikecam banyak orang, aksinya belum berhenti. Namanya kembali mengemuka saat memprotes pimpinan KPK periode 2015-2019 yang tak menyebutnya ”Yang Terhormat” dalam sebuah rapat.
Sepanjang bertugas di Komisi III, ia selalu berbicara keras di persidangan kepada seluruh mitra. Termasuk saat menguji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK beberapa waktu lalu.
Kode etik
Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpendapat, sikap Arteria terutama saat berhadapan dengan Emil Salim berlebihan. Dalam perspektif budaya, sikapnya tergolong tidak sopan dan tidak patut dilakukan.
”Seharusnya Fraksi PDI-P memperingatkan Arteria untuk tidak mengulangi lagi sikap seperti itu,” ujarnya.
Menurut Hendri, sebagai anggota Dewan, Arteria pun perlu memperbaiki gaya bicaranya. Tanpa cara yang tepat, substansi pembicaraannya cenderung tak dihiraukan publik. Ia berharap, respons publik bisa berdampak positif pada perubahan sikap Arteria.
Selain dari perspektif budaya, gaya debat Arteria juga problematik jika dihadapkan pada kode etik DPR. Mengacu pada Pasal 2 Ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, anggota harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, gaya debat Arteria dipengaruhi kultur tempat ia dibesarkan. Ia lahir dan besar di Jakarta, kini usianya 44 tahun. Semasa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Arteria merupakan aktivis yang kerap mengkritisi pemerintah Orde Baru.
Menurut Hasto, ketika berdebat dengan Emil Salim, Arteria berusaha menyampaikan pemikiran sesuai konteks revisi UU KPK dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi III DPR. Secara pribadi, Arteria menghormati Emil Salim sebagai tokoh nasional.
Meski demikian, Hasto mengakui, penyampaian pendapat hendaknya memang dilakukan sesuai norma. Dalam budaya Timur, ada kewajiban untuk menghormati orang yang lebih tua.
”Arteria menyampaikan kebenaran, hanya saja seni berdiplomasinya ke depan memang perlu penyempurnaan,” ujar Hasto.