Joker dan Stigma Penderita Gangguan Jiwa
Stigma membuat perilaku kekerasan diidentikkan dengan penderita gangguan jiwa. Padahal, mereka yang yang tidak mengalami gangguan jiwa justru lebih banyak melakukan kekerasan.
Stigma membuat perilaku kekerasan diidentikkan dengan penderita gangguan jiwa. Padahal, mereka yang yang tidak mengalami gangguan jiwa justru lebih banyak melakukan kekerasan.
Kisah kehidupan Joker, sosok badut yang dikenal sebagai musuh superhero Batman, diangkat ke layar lebar. Keberadaan film itu menggugah kesadaran publik terhadap persoalan kesehatan jiwa yang selama ini kerap kali terabaikan.
Dalam film itu, aktor Joaquin Phoenix memerankan Arthur Fleck, yang mencari nafkah sebagai badut dan mulai menjadi komedian tunggal. Keterasingan di kehidupan sosial, perundungan, dan gangguan jiwa yang dideritanya menjadikannya pembunuh berantai sekaligus gembong penjahat bernama Joker.
Dalam film tidak dijelaskan masalah kejiwaan yang dialami Fleck. Ia sempat rutin menjalani konseling dan mengonsumsi tujuh jenis obat yang disediakan Dinas Sosial setempat. Namun, ia putus berobat dan tak lagi menjalani konseling lantaran layanan itu ditutup pemerintah setempat demi efisiensi anggaran.
Fleck pun mengalami delusi atau keyakinan tak nyata yakni menjalin kasih dengan ibu tunggal yang bertetangga dengannya. Ia juga menderita cedera otak atau saraf sehingga kadang tertawa tanpa terkendali pada waktu tak tepat.
Kondisinya terus memburuk ketika mengalami perundungan dan penindasan. Dalam film itu, Fleck diganggu sekelompok remaja saat sedang bekerja menjadi badut di depan sebuah toko. Selain papan promosi yang dipegangnya direbut, ia juga dipukuli para remaja itu.
Kejadian itu membuat rekannya menawarkan sebuah pistol. Berawal dari memiliki pistol itu, ia dipecat dari tempat kerjanya karena menjatuhkan senjata itu ke lantai saat menghibur para pasien anak di rumah sakit. Namun, temannya justru berbohong dengan menyatakan justru Fleck yang menawarkan pistol itu.
Fleck pun menembak mati tiga eksekutif muda yang memukulinya karena tertawa tak terkendali saat mereka mengganggu seorang perempuan di kereta bawah tanah. Ia juga merenggut nyawa ibunya ketika tahu bahwa perempuan yang selama ini tinggal bersamanya itu justru membiarkannya jadi korban penganiayaan saat kanak-kanak hingga cedera otak.
Kemarahannya pada orang-orang yang mengganggunya dilampiaskan dengan menghabisi nyawa mereka, termasuk temannya yang menawarkan pistol dan seorang pembawa acara televisi yang mengolok-olok penampilannya saat mementaskan komedi tunggal. Ia pun menjelma menjadi sosok Joker yang tak segan-segan membunuh orang yang dianggap jahat terhadap dirinya.
Skizofrenia
Meski tidak dijelaskan eksplisit gangguan jiwa yang dialami, dari gejala delusi yang dialami, Fleck diduga menderita skizofrenia, penyakit yang memicu perubahan pikiran, perasaan dan perilaku. Gangguan itu menyebabkan penderitanya tidak bisa berpikir dan bertindak secara wajar.
Skizofrenia adalah penyakit medis yang sama dengan penyakit fisik lain, bukan akibat guna-guna, kurang iman atau hal mistis lainnya yang sering diyakini masyarakat Indonesia. Otak penderita skizofrenia biasanya memiliki kadar dopamin berlebihan.
”Berlebihnya dopamin membuat otak jadi salah persepsi,” kata psikiter di Rumah Sakit (RS) Marzoeki Mahdi Bogor, Jawa Barat, Lahargo Kembaren. Skizofrenia banyak ditemukan pada penduduk usia muda, antara 15-30 tahun.
Dopamin adalah senyawa kimia otak yang berperan terhadap motivasi dan penghargaan. Berlebihnya dopamin membuat penderitanya mengalami delusi, yaitu meyakini suatu hal yang sebenarnya tidak benar atau tidak ada. Jika Fleck memiliki delusi menjalin hubungan romantis dengan seorang perempuan, delusi atau waham penderita skizofrenia jauh lebih beragam dari itu.
Dari pengalaman Kompas berjumlah dengan penderita skizofrenia di sejumlah daerah, pekan lalu, ada pasien yang menerima bisikan untuk membunuh ibu atau mencekik suaminya. Bisikan itu menegaskan secara berulang bahwa yang diminta dibunuh itu bukan ibu atau suaminya.
Ada pula penderita yang mendapat bisikan untuk menyerang orang lain karena merasa dirinya terancam atau akan dihabisi. Keyakinan yang tidak nyata itulah yang mendorong sejumlah penderita skizofrenia melakukan kekerasa. Namun, itu bukan berarti semua penderita skizofrenia bisa melakukan kekerasan.
”Film Joker makin menstigma penderita gangguan jiwa. Padahal, pelaku kekerasan yang bukan penderita gangguan jiwa jauh lebih banyak jumlahnya,” tambah Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Bagus Utomo.
Film Joker makin menstigma penderita gangguan jiwa. Padahal, pelaku kekerasan yang bukan penderita gangguan jiwa jauh lebih banyak jumlahnya.
Penderita skizofrenia yang melakukan kekerasan tidak lebih banyak jumlahnya dibanding pelaku kekerasan yang bukan penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia melakukan kekerasan akibat gangguan yang dialaminya dalam menilai realitas, adanya halusinasi yang menyuruhnya melakukan kekerasan, atau munculnya delusi atau waham yang membuatnya terancam.
Menjadi korban
”Orang dengan skizofrenia justru lebih banyak jadi korban kekerasan dibandingkan dengan jadi pelaku, mulai dari dipasung, ditelantarkan, didiskriminasi hingga berbagai tindak tak manusiawi lainnya,” kata Lahargo.
Kemarahan yang berujung pada perilaku kekerasan yang ditunjukkan penderita gangguan jiwa, termasuk Fleck, bisa muncul karena adanya perasaan kecewa, frustrasi, terabaikan, penolakan, takut, tertipu, hingga tersakiti.
Berbagai perasaan yang memicu kemarahan itu akan mengaktifkan amigdala, bagian otak yang mengatur emosi. Aktifnya amigdala akan meningkatkan produksi hormon kortisol yang memicu stres.
Peningkatan hormon kortisol akan mematikan banyak sel saraf di korteks prefrontal atau otak bagian depan yang berperan dalam pengambilan keputusan logis dan perencanaan. Kortisol berlebih juga mematikan sel saraf di hipokampus, bagian otak yang mengatur memori hingga dia tidak ingat apa yang diucapkan atau dilakukan ketika marah.
Meski demikian, tambah Nurhamid Karnaatmaja, pendiri Yayasan Istana Komunitas Sehat Jiwa, walau dopamin dalam otak penderita skizofrenia berlebih, memori dan inteligensia mereka tidak rusak. Karena itu, dalam kondisi stabil, mereka akan ingat tiap tindakan menyakitkan atau penindasan yang dilakukan orang lain terhadapnya.
Psikiater dari Departemen Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Hervita Diatri, mengatakan, skizofrenia adalah penyakit dengan karakteristik menahun, kambuhan, dan bisa memberikan penderitaan atau menyebabkan disabilitas.
”Namun, skizofrenia bisa diobati. Jika penderita sejak awal dapat pengobatan adekuat, dia bisa sembuh sempurna (gejala penyakit hilang tanpa gejala sisa) hingga bisa berfungsi seperti semula,” katanya.
Meski demikian, sebagian besar gejala skizofrenia baru dikenali dalam kondisi lanjut. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian tentang kesehatan jiwa hingga terbatasnya layanan kesehatan jiwa membuat gejala skizofrenia umumnya sudah lambat diketahui.
Di Indonesia, kuatnya anggapan skizofrenia sebagai penyakit mistik membuat banyak penderita dibawa ke pengobatan tradisional atau spiritual sebelum ditangani tenaga medis. Akibatnya, kondisi mereka makin parah hingga menjadikan skizofrenia penyakit menahun dan penderita harus minum obat sepanjang hidup.
”Jika gejala skizofrenia sudah diobati saat episode (gejala) pertama muncul, dia bisa sembuh diobati dengan minum obat maksimal 2 tahun,” ujarnya. Kalau diobati saat ditemukan pada episode kedua, waktu minum obat maksimal 5 tahun. Jika diobati pada kekambuhan yang lebih dari tiga kali, dia harus menjalani pengobatan seumur hidup.
Situasi itulah yang membuat orang seperti Fleck harus mendapat pengobatan teratur. Ini juga menjadi tantangan besar di Indonesia. Selain tidak semua layanan kesehatan menyediakan obat sakit jiwa, menjaga kepatuhan penderita untuk terus minum obat juga tak mudah.
Tetap produktif
Di luar pengobatan, karena skizofrenia adalah penyakit yang dipicu masalah biopsikososial, dukungan keluarga dan lingkungan sosial sangat menentukan. Pengobatan dengan obat saja tak cukup. Keluarga dan masyarakat yang mendukung, memberdayakan dan tidak menstigma akan mempercepat kesembuhan dan menjaga kestabilan kondisi penderita skizofrenia.
Dengan pemberdayaan yang tepat, penderita gangguan jiwa tetap bisa produktif dan menjadi apa pun yang mereka inginkan. Di Indonesia, penderita skizofrenia bisa menjadi guru, aparatur sipil negara, berdagang, tukang ojek daring menjadi seniman atau pegiat sosial.
Di negara maju, pemahaman yang baik tentang kesehatan jiwa membuat pemberdayaan terhadap penderita gangguan jiwa lebih baik dilakukan. Berbagai insentif diberikan pemerintah, baik pada penderita maupun keluarga yang memiliki penderita gangguan jiwa. Akibatnya, tingkat produktivitas mereka pun tetap baik.
Bahkan, penderita skizofrenia juga bisa meraih Nobel, penghargaan paling prestisius bagi ilmuwan, seperti yang didapat John F Nash Jr, matematikawan kelahiran Amerika Serikat pada 1928 yang juga penderita skizofrenia itu, dianugerahi Nobel Ekonomi pada 1994 karena merintis analisis kesetimbangan dalam teori permainan nonkooperatif yang disebut Nash ekuilibrium.
Nash mengalami delusi yang membuat dia merasa dipilih Departemen Pertahanan Amerika Serikat, ”Pentagon” untuk menjalankan misi rahasia. Ia pun sempat mengalami ketakutan karena merasa dimata-matai organisasi rahasia asing. Perjungan Nash itu diangkat dalam film Beautiful Mind.
Situasi itu membuat pemahaman masyarakat sekitar tentang gangguan jiwa perlu ditingkatkan. Stigma harus dihapuskan karena stigma bisa dilakukan siapa saja, bukan hanya masyarakat awam. Stigmatisasi dari politisi, lembaga pemerintah, maupun tenaga kesehatan juga harus diberantas.
Namun, penderita skizofrenia tidak untuk dikasihani. Mereka hanya butuh empati dan simpati dari sesama hingga mereka tetap bisa berdaya. Bagimanapun, penderita gangguan jiwa tetap manusia yang butuh dihargai dan dihormati.