Tidak bisa dianggap sepele, kelalaian kecil bisa berujung pada petaka yang mematikan. Kebakaran yang terjadi di Tamansari, Jakarta Barat, menjadi pelajaran penting untuk warga.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Tiga hari berselang setelah kebakaran, Latif (58) tampak mondar-mandir di sekitar puing bangunan rumahnya, di Tamansari, Jakarta Barat. Kamis (10/10/2019) siang itu, dia bersama warga lain masih berusaha mencari harta benda tersisa di antara puing bangunan yang terbakar pada Minggu (6/10/2019).
”Saya masih coba lihat apakah ternyata ada barang-barang yang masih bisa diselamatkan walau sebagian besar puing kini sudah diangkat petugas kebersihan,” ujarnya saat dikunjungi Kompas, Kamis siang.
Berawal dari api yang muncul di rumah salah satu tetangga, Latif masih tidak menyangka bahwa hal itu memicu kebakaran yang begitu besar. Kebakaran di Jalan Kebon Jeruk XI Kelurahan Maphar, Tamansari, Minggu lalu, menghanguskan sekitar 62 rumah warga di lima wilayah RT yang dihuni 509 jiwa.
Belakangan diketahui, kebakaran itu bersumber dari rumah Jeje (60) di RT 004 RW 007 Maphar. Doni, cucu Jeje yang berumur lima tahun, saat itu sedang iseng bermain korek api dan tak sengaja mengenai kasur di dalam kamar.
Jeje yang luput mengawasi Doni saat itu baru menyadari ada hawa panas dari kamar tidur. Saat ia membuka pintu kamar, Jeje panik karena api telah membesar dan merambat ke belakang rumah.
”Saya sudah enggak ingat apa-apa selain bawa anak-anak dan kakak saya keluar rumah. Boro-boro ingat membawa harta benda, kakak saya yang umurnya 70-an sampai harus saya gendong,” katanya. Akibat kebakaran ini, Jeje dan warga lain saat ini terpaksa tinggal di tenda pengungsian.
Berawal dari kelalaian kecil, setitik api bisa menjalar dan menghanguskan kawasan permukiman. Maret lalu, kasus kebakaran yang dipicu karena kelalaian juga terjadi di Kecamatan Tamansari, tepatnya di Jalan Thalib III Dalam, Kelurahan Krukut.
Rival (29), warga Krukut, saat itu menyebutkan, kebakaran di Jalan Thalib III Dalam dipicu hubungan pendek arus listrik salah satu rumah tetangganya saat memasak. Akibat kejadian ini, 305 rumah turut hangus terbakar.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta mencatat, 1.563 kebakaran terjadi pada periode Januari hingga September 2019. Dari jumlah itu, 460 kasus di antaranya terjadi di kawasan permukiman.
Kepala Bidang Pengendalian Kebakaran DPKP DKI Jakarta Rahmat mengatakan, kebakaran yang terjadi di permukiman sebagian besar melanda rumah semipermanen. Permukiman dengan bangunan jenis ini yang sering kali terbakar hingga menghabiskan puluhan, bahkan ratusan rumah.
Permukiman padat
Kepala Seksi Ketahanan Bidang Partisipasi Masyarakat DPKP DKI Jakarta Syaifulloh menuturkan, ada kaitan tersendiri antara fenomena kebakaran dan permukiman padat di Ibu Kota. Menurut pengamatannya, budaya keselamatan warga di permukiman padat cenderung rendah.
Ia menyebut beberapa kawasan yang kerap kali ”langganan” dilanda kebakaran, seperti di Kecamatan Tambora dan Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Di kawasan itu, banyak bangunan yang secara konstruksi didominasi material yang mudah terbakar.
”Dari sejumlah kasus yang terjadi, rumah di permukiman padat umumnya terdiri atas bahan-bahan yang rentan terkena api. Ada pula sebagian kasus rumah yang menyimpan material mudah terbakar, seperti plastik atau karet,” ujar Syaifulloh.
Ia menambahkan, kasus kelalaian yang paling sering terjadi berkaitan dengan instalasi listrik. Berdasarkan data DPKP DKI, ada 848 kasus kebakaran yang diduga dipicu masalah instalasi kelistrikan. Sementara dugaan penyebab lainnya yang juga sering terjadi yaitu karena pembakaran sampah dan kebocoran gas.
Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan Manlian Ronald A Simanjuntak mengatakan, kebakaran di permukiman padat berkaitan dengan masalah tata ruang Ibu Kota sejak dulu. Kawasan tersebut memiliki jarak rumah yang sangat rapat sehingga saat terjadi kebakaran pun api begitu cepat merambat dari rumah ke rumah.
”Kerapatan di permukiman padat juga membuat warga tidak memperhatikan budaya keselamatan. Dapur yang sempit, misalnya, berpotensi membuat warga kurang memperhatikan apakah ada kebocoran gas,” kata Manlian.
Di tengah persoalan tata ruang yang tidak bisa segera diselesaikan, Manlian menyarankan agar budaya keselamatan di permukiman padat dibenahi. Sebab, ini satu-satunya upaya yang dapat dilakukan secara jangka pendek.
Tom Kiurski dalam Creating a Fire Safe Community (2002) menekankan pentingnya edukasi pencegahan kebakaran dilakukan di tingkat komunitas warga. Menurut Tom, peningkatan kewaspadaan warga sama pentingnya dengan upaya pemadaman itu sendiri. Karena itu, ia menilai petugas pemadam kebakaran pun memiliki kewajiban untuk mengedukasi warga.
Pelibatan warga
Syaifulloh mengatakan, cara yang dilakukan dalam penanganan kebakaran saat ini adalah dengan melibatkan warga. Hingga akhir tahun ini, ada 417 wilayah RW di Jakarta yang masuk program sosialisasi kebakaran dengan anggaran dari APBD DKI.
Sosialisasi ini adalah program pencegahan kebakaran secara bertahap, dimulai dari pelibatan Dasawisma, organisasi di tingkat warga yang diberdayakan untuk memeriksa kondisi rumah warga. Mereka yang beroperasi di setiap RT akan memetakan mana rumah yang aman dan tidak aman. ”Nantinya, rumah yang dikategorikan tidak aman ditandai dengan stiker. Pemasangan stiker ditujukan agar masyarakat sadar bahwa wilayahnya masih rentan terhadap risiko kebakaran,” kata Syaifulloh.
Pemasangan stiker juga digunakan sebagai pemetaan ulang wilayah rawan kebakaran. Dengan pemetaan wilayah yang baru, DPKP DKI Jakarta dapat merencanakan di mana penambahan pos pemadam dan pengadaan hidran mandiri.
Ia menambahkan, keterlibatan warga juga penting, terutama saat nantinya hidran mandiri telah dibangun di permukiman padat. Hidran yang terhubung dengan sumber air terdekat akan diberdayakan oleh warga untuk mengatasi kebakaran. ”Hidran mandiri juga jadi solusi saat mobil pemadam kebakaran sulit masuk ke permukiman padat. Dengan begitu, pencegahan dapat dilakukan sesegera mungkin,” katanya.
Terkait pencegahan kebakaran, Manlian menyarankan agar warga memakai material konstruksi yang resisten terhadap kebakaran. Material beton, misalnya, dapat menahan risiko kebakaran dalam beberapa jam. Hal ini pun dibenarkan JF Denoël dalam Fire Safety and Concrete Structures (2007) yang menyebut beton sebagai material paling resisten untuk menahan api, bahkan tanpa lapisan pelindung apa pun.
”Beton, misalnya, dapat menahan api selama beberapa jam tergantung dari kualitasnya. Tetapi, hal yang penting tetap soal kesadaran warga terhadap kerentanan wilayahnya pada kebakaran,” ujar Manlian.