Selain meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 99 persen akhir tahun ini, pemerintah juga menghadapi tantangan untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi hingga akhir tahun ini mencapai 99 persen atau lebih tinggi dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang 97,6 persen. Selain rasio elektrifikasi, tantangan ke depan adalah meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, saat membuka seminar dan pameran Hari Listrik Nasional Ke-74 di Jakarta, Rabu (9/10/2019), mengatakan, rasio elektrifikasi Indonesia saat ini 98,83 persen dan ditargetkan 99 persen pada akhir tahun 2019. Per 1 Juli 2019, rumah tangga yang belum teraliri listrik 721.008 rumah tangga.
”Perlu sekitar Rp 700.000 untuk menyambung listrik dan mereka (rumah tangga yang belum teraliri listrik) tidak mampu. Lalu bagaimana? Kami menggalang semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi,” kata Jonan.
Sejalan dengan peningkatan rasio elektrifikasi, kapasitas listrik terpasang di Indonesia meningkat lima tahun terakhir. Jika pada akhir 2014 kapasitas listrik terpasang sekitar 53 gigawatt (GW), sampai akhir 2019 telah bertambah menjadi 69 GW. Lima tahun ke depan, kapasitas listrik terpasang ditargetkan 90 GW.
Meski peningkatannya cukup besar, secara total jumlah itu dinilai masih jauh di bawah kapasitas listrik China yang memiliki kapasitas 1.100 GW, sebanyak 300 GW di antaranya merupakan energi primer terbarukan.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Supangkat Iwan Santoso, meski secara persentase relatif kecil, tantangan meningkatkan rasio elektrifikasi justru makin besar. Sebab, sasarannya ada di daerah terisolasi atau terpencil.
Energi terbarukan
Saat ini, porsi energi baru terbarukan di Indonesia baru sekitar 13 persen dalam bauran energi nasional dan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.
Penggunaan energi terbarukan pada masa depan menjadi keharusan di tengah perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, menurut Jonan, Indonesia akan terdampak oleh perubahan itu. Setidaknya 10 persen dari 100 juta warga Indonesia yang berada di pesisir diperkirakan terdampak langsung dan harus direlokasi.
Dalam konteks industri 4.0, pemanfaatan energi baru terbarukan jadi relevan. Tantangannya saat ini adalah harga teknologinya relatif masih mahal. ”Kita ada tenaga air, tapi jalannya pelan. Maka, saya sarankan pembangkit listrik tenaga surya, lalu angin atau bayu. Saya berharap PLN juga mau berinvestasi sendiri,” ujar Jonan.
Pada tahun 2017, sektor ketenagalistrikan Indonesia bergantung 87 persen pada bahan bakar fosil, 58 persen di antaranya dari batubara. Menurut Program Manajer Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform, Jannata Giwangkara, Indonesia perlu meningkatkan kontribusi energi baru terbarukan di sektor ketenagalistrikan hingga tiga kali lipat tahun 2030 untuk menjawab isu dan dampak terkait perubahan iklim. (MKN)