Situ Hilang Ancam Lingkungan Jabodetabek
Sepanjang 2007-2017, sebanyak 33 situ hilang di kawasan Jabodetabek. Berkurangnya situ mengancam tatanan ekologi di kawasan tersebut
Unit wadah air permukaan yang tergolong paling kecil, yaitu situ, mulai berkurang jumlahnya. Sepanjang sepuluh tahun terakhir (2007-2017), sebanyak 33 situ hilang di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mengingat fungsi ekologisnya, berkurangnya situ mengancam tatanan ekologi di kawasan Jabodetabek.
Selain ruang terbuka hijau (RTH), ada bentukan lahan yang sama pentingnya dengan RTH, yaitu ruang terbuka biru (RTB). RTB merupakan penampung air permukaan yang berupa bendungan, waduk, situ, atau embung.
RTB menjadi penting di Jabodetabek karena perannya yang besar dalam penyediaan air, daerah parkir air, bahkan penahan intrusi air laut. Meskipun sudah banyak yang mengetahui fungsi situ, pengetahuan tersebut tidak membuat masyarakat menjaga keberadaannya, malah cenderung mengabaikannya.
Situ adalah ekosistem air permukaan yang umumnya berisi air tawar dan berukuran kecil. Sebutan situ muncul di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sementara bagi daerah lain umumnya kerap disebut embung, telaga, atau ranu di Jawa Timur.
Situ dapat terbentuk baik secara alami maupun buatan. Secara alami, situ terbentuk karena keadaan topografi yang memungkinkan terperangkapnya air, contohnya Situ Rawa Besar di Depok.
Adapun situ buatan dibangun dengan membendung sungai seperti yang dilakukan ketika membangun Situ Lido. Situ yang terletak di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, ini dibangun dengan cara membendung Sungai Ciletuk untuk pembangunan Jalan Raya Bogor-Sukabumi pada abad ke-18.
Situ buatan juga dibangun untuk fungsi ekologis, contohnya Situ Cikaret. Situ ini dibangun sekitar tahun 1903-1909 untuk menampung air hujan dan rembesan air tanah sebagai pengendali banjir di Jakarta, mempertahankan permukaan tanah saat kemarau, sumber irigrasi, pariwisata, dan perikanan.
Situ di Jawa Barat dan DKI Jakarta memiliki kedalaman 1-10 meter dengan luas 1-160 hektar. Sumber airnya berasal dari mata air, limpasan air hujan, maupun air sungai. Jumlah situ di Jabodetabek cukup banyak, namun kini jumlahnya berkurang.
Hadi Susilo Arifin, Guru Besar IPB di Bidang Pengelolaan Lanskap, mengatakan, pada 1960-an terdapat 800 waduk dan danau di Jabodetabek. Pada 1980-an diketahui jumlahnya berkurang menjadi 400 waduk/danau (Kompas, 5 Juni 2013).
Sementara itu, berdasarkan data terkini miliki BBWSCC yang berasal dari inventarisasi pemerintah daerah, jumlah situ tersisa 208. Sebanyak 102 situ terletak di Kota dan Kabupaten Bogor. Di Kota dan Kabupaten Bekasi terdapat 28 situ. Sementara di Kota dan Kabupaten Tangerang terdapat 37 situ. Sisanya tersebar di Depok (26 situ), Tangerang Selatan (9 situ), dan di Jakarta (16 situ).
Mengacu pada data tahun 1980-an, jumlah situ berkurang hampir 50 persen. Banyaknya situ yang hilang berarti mengubah tatanan ekologi Jabodetabek sebab peran situ dalam lingkungan turut lenyap.
Fungsi dan dampak
Tanpa kita sadari, keberadaan situ memiliki fungsi dan dampak besar terhadap kehidupan penduduk di sekitarnya. Siapa sangka, rusak dan hilangnya situ-situ di Jabodetabek juga berakibat pada banjir di Jakarta.
Banjir kiriman, istilah yang sering digaungkan ketika Jakarta terendam, merupakan banjir yang disebabkan jutaan meter kubik air dari sungai-sungai di daerah yang lebih tinggi seperti Bogor dialirkan tanpa dibendung.
Situ yang berfungsi sebagai kawasan lindung berperan untuk menahan limpasan air yang berlimpah dari daerah-daerah yang lebih tinggi ke wilayah yang elevasinya lebih rendah. Itulah sebabnya situ disebut sebagai kawasan parkir air.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dijelaskan bahwa air serta sumber-sumbernya merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara.
Ketika hujan lebat, limpasan air hujan dan sungai tidak langsung mengalir deras ke daerah yang lebih rendah, tetapi ditangkap oleh situ lebih dulu. Namun, jika situ menjadi lebih sempit bahkan hilang, dapat dibayangkan betapa banyaknya air yang langsung mengalir ke aliran di kawasan yang lebih rendah.
Air yang mengalir tanpa ditahan lajunya juga akan menghambat penyerapan air ke dalam tanah. Jika tersedia waktu air untuk terserap ke tanah, sebagian air tersebut akan mengisi akuifer air tanah. Akuifer merupakan istilah bagi lapisan tanah dengan rongga udara yang dapat meloloskan air ke bagian bawah tanah.
Jika kawasan resapan air termasuk situ terjaga dengan baik, air tanah akan menjadi sumber cadangan air bagi masyarakat, terutama ketika musim kemarau. Sebab, di kawasan Jabodetabek, terutama Jakarta yang masif pembangunannya, saat musim hujan saja semua tipe lahan di Jakarta dapat berfungsi sebagai penambah air tanah.
Setelah masuk musim kemarau, pemasukan air tanah di akuifer mengandalkan lereng utara Gunung Gede, Pangrangro, Salak, Halimun, sungai, serta rawa atau situ. Namun, jumlah situ semakin sedikit sehingga sumber air yang disimpan serta diserap akuifer juga semakin sedikit. Akibatnya, akuifer menjadi kosong karena berkurangnya air di sela-sela tanah akuifer.
Kondisi ini memperparah krisis air di kawasan metropolitan sebab cadangan air baku bagi masyarakat berkurang. Padahal, kebutuhan akan air tanah terutama ketika musim kemarau semakin tinggi. Sebabnya, kebutuhan air baku tidak dapat dipenuhi dari air permukaan karena sungai dan rawa/situ menjadi surut pada musim itu.
Selain itu, kekosongan rongga-rongga akuifer juga menyebabkan penurunan tanah. Meskipun sering kali penyebabnya adalah penyedotan air tanah dan beban bangunan yang berlebihan, hilangnya kawasan resapan air juga berdampak pada bencana ini.
Kompleksnya masalah krisis air tanah dengan berbagai penyebabnya itu berdampak juga pada intrusi air laut. Kosongnya zona akuifer akan air tanah karena berkurangnya serapan air dari kawasan resapan air menyebabkan air lautlah yang terserap lapisan akuifer.
Jika hal itu tidak segera ditangani, penurunan tanah mencapai 5-12 sentimeter per tahun akan semakin parah. Menurut Prof Otto SR Ongkosongo, Peneliti Utama Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, dampak intrusi air laut di pesisir Jakarta mencapai 3 kilometer dan pada air tanah mencapai 10 kilometer.
Keberadaan situ tak hanya menjaga tata air lingkungan, tetapi juga ekosistem mahluk hidup di dalamnya. Masyarakat sekitar menggunakan situ sebagai penghidupannya. Tak heran sering kali situ digunakan untuk budidaya ikan. Misalnya, Situ Lido yang dikembangkan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Kabupaten Bogor untuk budidaya jaring apung.
Selain untuk perikanan, air situ juga digunakan sebagai sumber pengairan bagi sawah-sawah di sekitar lokasi situ. Situ memiliki saluran air keluar sehingga menjadi potensi bagi irigrasi.
Masalah tata hidrologi ini berhubungan satu dengan lainnya. Kerusakan bagian hulu akan berdampak pada bagian hilir. Perubahan pada tatanan lahan dan tanah akan menentukan kuantitas dan kualitas air yang terserap. Oleh karena itu, dalam upaya memperbaiki seluruh komponen ekologi dan sistem hidrologis, situ harus mampu menjalankan fungsinya secara alami.
Pelestarian
Dalam UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dijelaskan bahwa air serta sumber-sumbernya merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. Artinya, negara memiliki kewenangan untuk mengelola, mengembangkan, dan mengatur kemanfaatan air dan sumber-sumbernya.
Hal tersebut kembali dipertegas dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 dengan konsep adanya pertimbangan pengelolaan demi kebutuhan air yang meningkat, sedangkan ketersediaan sumber daya air semakin sedikit.
Meski telah diakui sebagai obyek kekayaan alam yang dikuasai negara, situ-situ terutama yang berada di Jabodetabek belum terinventarisasi hingga tahun 1994. Pengelolaan situ sebagai sumber airpun terbengkalai sebab pemerintah tidak memiliki data valid tentang perkembangan kondisi situ (Kompas, 22 September 1995).
Akibatnya, situ-situ tersebut menjadi rusak dan pada akhirnya hilang. Bagaimana bisa? Penyebabnya bisa secara alami maupun ulah tangan manusia. Secara alami, situ yang tidak terawat lama-lama akan mengalami pendangkalan. Dari pendangkalan inilah, lama-lama lahan situ yang menjadi daratan dibangun. Atau bisa jadi, dengan sengaja situ diuruk untuk dijadikan lahan pembangunan.
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat sehingga banyak situ yang berubah menjadi lahan permukiman atau industri. Selain itu, limbah industri yang dibuang sembarangan tanpa diolah juga turut mencemari situ.
Sementara dalam sistem DAS, rusaknya DAS menyebabkan erosi secara berlebihan sehingga terjadi pendangkalan situ. Tali-tali air pun rusak karena adanya pembangunan jalan, bangunan, atau konstruksi lainnya.
Kesadaran akan kerusakan dan hilangnya situ yang menuai dampak ke tata air mulai muncul dalam kajian-kajian pemerintah dan lembaga-lembaga pada periode 1990-an. Sumur resapan menjadi salah satu solusi untuk menggantikan situ dalam perbaikan tata air di Jabodetabek.
Namun, menurut Rovicky Dwi Putrohari, ahli geologi, sumur resapan ini tidak banyak membantu banjir yang terjadi khususnya di Jakarta. Sebab, daya serap alami tanah di Jakarta relatif kecil.
Solusi lain pun telah dilakukan, yaitu dengan membangun waduk dan bendungan di Jabodetabek. Konsep pembangunan ini diarahkan untuk menggantikan fungsi situ sebagai area tangkapan dan parkir air yang menjadi cadangan air serta mengurangi limpasan air langsung ketika musim hujan.
Meskipun dana yang banyak harus dikeluarkan untuk membangun waduk dan bendungan, usaha pemerintah ini patutlah diapresiasi. Nyatanya, usaha inventarisasi situ serta sertifikasi situ di bawah BBWSCC telah dilaksanakan dan menghasilkan empat situ yang telah disertifikasi. Keempat situ itu adalah Situ Pagam, Situ Cogreg, Situ Tlajung Udik, dan Situ Rawa Lumbu.
Situ berfungsi sebagai kawasan lindung berperan untuk menahan limpasan air yang berlimpah dari daerah-daerah yang lebih tinggi ke wilayah yang elevasinya lebih rendah. Itulah sebabnya situ disebut sebagai kawasan parkir air.
Pemerintah daerah pun mulai bergerak untuk mengamankan keberadaan situ. Salah satu contohnya, rencana Situ Front City yang digagas Pemerintah Kabupaten Bogor pada 2016. Karena kesadaran akan potensi situ dan perannya dalam meningkatkan daya dukung air, Situ Front City yang direncanakan dibangun di Cibinong mendekatkan rencana pengembangan wilayah atas dasar keberlanjutan lingkungan.
Di sisi masyarakat, kita pun memiliki kewajiban pula untuk melestarikan kualitas air pada sumber daya air. Hal tersebut jelas tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang merusak sumber air dan prasarananya.
Baik dari masyarakat, pemerintah, maupun pihak swasta dapat bekerja sama untuk melestarikan situ. Menjadikan situ sebagai kawasan lindung yang dijaga ketat sekaligus melalui pengembangan serta pengelolaan yang sesuai akan bermanfaat untuk mengurangi ancaman kerusakan ekologis di Jabodetabek. (LITBANG KOMPAS)