Siapakah Pembunuh Anak Balita Itu?
Tanpa penanganan serius, gangguan jiwa bisa berakibat fatal. Selain membahayakan diri sendiri, penderita juga membahayakan orang lain.
Tanpa penanganan serius, gangguan jiwa bisa berakibat fatal. Selain membahayakan diri sendiri, penderita juga membahayakan orang lain.
Dua polisi berjaga di lorong Ruang Rawat Inap II Rumah Sakit Dr Soedarsono Darmosoewito, Sabtu (5/10/2019). Di luar hujan rintik-rintik. Petugas yang berbaju preman membaca pesan di ponsel, lalu berkata kepada kawannya yang memakai seragam lengkap, ”Anak itu sudah meninggal kabarnya.”
Di ruang perawatan di rumah sakit yang sama, Dodi Simamora (27) terbaring lemas. Selang oksigen menempel di hidungnya. Sehari sebelumnya ia dioperasi karena perutnya sobek setelah ditusuk dua kali dengan pisau dapur. Ia sudah melewati masa kritis. Matanya terbuka, ia sadar, tetapi belum bisa banyak bicara.
Yuraimah Sihombing, istrinya, menunggu di samping tempat tidur. Tubuh perempuan berwajah pucat itu terbungkus kain batik warna coklat. Kantong matanya hitam, ia belum tidur sejak suaminya dioperasi kemarin siang.
Sebentar-sebentar Dodi merintih sakit. Yuraimah dengan lembut menenangkan. Mengusap dahinya, lalu membetulkan letak bantal dan selimutnya. Ia membisikkan sesuatu ke telinga suaminya. Dodi mengangguk, lalu diam.
”Kami baru tiga minggu tinggal di sana,” kata Yuraimah setengah berbisik. Di sana yang dimaksud Yuraimah adalah kawasan rumah liar di Nongsa, Batam.
Mereka menikah sekitar tiga tahun lalu di Sibolga, Sumatera Utara, lalu merantau ke Batam, Kepulauan Riau. Selama 2,5 tahun belakangan, Dodi bekerja sebagai penjaga keamanan sebuah perusahaan galangan kapal di Tanjung Uncang, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Batam.
Dua bulan lalu Dodi dipecat dari pekerjaannya. Ia menderita sakit yang misterius. Setiap kambuh, bicaranya jadi ngawur dan sikapnya berubah kasar.
Yuraimah bercerita, seorang dukun mengatakan sakit Dodi itu sengaja ”dibikin” orang yang tidak suka. Mereka disarankan untuk pulang kampung agar sembuh. Saran itu ada benarnya juga. Selama satu bulan di kampung, penyakit Dodi tidak pernah kambuh.
Di Sibolga, mereka tinggal menumpang pada keluarga Dodi. Karena tak enak terus membebani orang lain, mereka memutuskan kembali lagi ke Batam. Anak laki-laki mereka, Deja Simamora (1,5), ikut dibawa juga.
Sampai di Batam, mereka tidak lagi kembali ke rumah kontrakan di Tanjung Uncang. Kakak perempuan Dodi, Meliati Simamora, menawarkan rumah kosong untuk ditinggali.
Sejak saat itulah mereka tinggal dalam sebuah rumah liar (ruli) di Kampung Ubi, Kelurahan Batu Besar, Nongsa. Rumah berdinding batako dan berpintu tripleks itu berdiri di atas lahan Bandara Hang Nadim. Petugas bisa datang kapan saja menggusur mereka.
Jumat kelabu
Malang bagi Yuraimah, mimpinya untuk mengembalikan kesehatan suami dan menjalani hidup normal harus buyar setelah penyakit Dodi kambuh lagi. Penyakit itu merampas kesadaran Dodi. Kemarin, ia menusukkan pisau ke tubuh keponakannya. Lalu, dia mencoba bunuh diri dengan merobek perut.
Peristiwa itu dimulai pada Jumat (4/10/2019) sekitar pukul 08.00. Dodi mengetuk pintu rumah tetangganya, sesama penghuni ruli, Lilis Suryani. Rumah mereka berdempetan, saling pinjam perkakas sudah perkara biasa.
”Pinjam sebentar untuk ambil barang, nanti aku pulangin,” kata Dodi.
Tanpa curiga Lilis mengambilkan pisau dapur sepanjang satu jengkal. Saat itu, Dodi menunggu di teras sambil menggendong keponakannya, Shelin Hutagalung (2,5), putri kakak kandungnya yang menawari Dodi tinggal di ruli.
Sekitar 50 meter di sebelah barat rumah Lilis, Bela Safitri, tetangga lain, sedang menyantap sarapan di dekat tiang jemuran. Ia melihat Dodi melintas bersama Shelin.
Ia tiba-tiba berhenti di bawah pohon nangka tepat di depan rumah Bela.
Mata Bela mengikuti langkah laki-laki pendiam itu sampai kemudian ia tiba-tiba berhenti di bawah pohon nangka tepat di depan rumah Bela. Shelin yang sedang menangis dibaringkan telentang di tanah. Gaun merahnya diangkat sang paman.
”Aaaaaaa,” Bela berteriak, lalu menghambur ke dalam rumah.
Dari balik jendela, ia menyaksikan setelah dua kali menusuk tubuh Shelin dengan pisau, Dodi berusaha merobek perutnya sendiri.
Pada saat bersamaan, dengan tergopoh, Yuraimah mendatangi rumah Lilis. Ia menanyakan benda apa yang telah dipinjam suaminya.
Kecemasan menyergap ibu satu anak itu. Ia segera berlari memanggil kedua kakak ipar Dodi, Januari Hutagalung dan Jamas Hutagalung. Keduanya diminta segera mencari Dodi.
Dodi telah beranjak dari bawah pohon nangka. Ia melempar pisaunya ke sebuah rumah kosong, lalu sembunyi di rerimbunan kebun.
Saat ditemukan warga, Dodi duduk bersila dengan Shelin di pelukan. Keduanya bersimbah darah. Ia tertunduk dan tak mencoba kabur saat warga mendekat.
Januari merebut Shelin, sedangkan Jamas menyeret Dodi ke halaman belakang rumah Shelin. ”Aku enggak tahu apa yang merasuki tubuhku,” ujar Dodi kepada Jamas. Keduanya lalu dilarikan ke rumah sakit.
Berita duka
Saat dering telpon berulang kali memanggil, Meliati yang tengah berada di ruang depan ICU RS Budi Kemuliaan tak sekalipun meraih ponselnya. Tubuhnya memang bersandar di kursi, tetapi pikirannya melayang bersama putrinya yang tengah terbaring kritis di meja operasi.
Lebih kurang 20 orang berkerumun di depan lorong ICU. Sebagian tak henti merapal doa bersama bagi kesembuhan Shelin, sebagian lagi sibuk mencari donor darah. Anak balita berusia 2,5 tahun itu setidaknya butuh dua kantong darah B+ untuk menyelamatkan nyawanya.
”Waktu sampai di RS Soedarsono Darmosoewito dia masih sadar, tetapi kondisinya lalu turun dan dirujuk ke sini,” kata seorang kerabat korban, Bison Sianturi, Jumat (4/10/2019).
Malam itu, kesedihan dan kekecewaan tampak jelas di wajah Meliati. Ia tidak menyangka adik kandungnya, Dodi, tega menusukkan pisau tiga kali ke dada putri bungsunya. Sekalipun begitu, ia masih berdoa bagi Dodi agar dia diberi kesembuhan, begitu juga dengan Shelin.
Satu permohonan doa Meliati dikabulkan. Dodi selamat. Namun, tidak dengan doa untuk Shelin. Luka tusukan di dada kiri dan kanan anak balita itu terlalu parah untuk diobati tim dokter RS Budi Kemuliaan. Ia dinyatakan meninggal pukul 11.45, Sabtu (5/10/2019).
Menurut Bela, keluarga Dodi memang tertutup. Ia sudah lama menduga laki-laki itu mengidap gangguan jiwa. Jika diajak bicara ia sering tidak nyambung. Oleh karena itu, orang-orang ruli menyebutnya agak gila.
”Tapi, kalau lagi enggak kambuh sebenarnya dia sayang anak kecil, makanya Shelin dekat sama dia,” ujar Jamas.
Kepala Polsek Nongsa Komisaris Albert Sihite, Rabu (9/10/2019), mengatakan, Dodi telah ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (6/10). Tersangka telah dikurung di sel tahanan setelah keluar dari RS Soedarsono Darmosoewito pada Rabu pagi.
”Sekarang kondisinya masih belum pulih 100 persen. Diperkirakan, baru dua atau tiga hari ke depan tersangka bisa diperiksa oleh psikolog. Kami sudah berdiskusi tentang hal ini dengan psikolog dari Tanjung Pinang yang akan memeriksa dia,” kata Albert.
Bagi polisi, faktanya sudah jelas. Dodilah yang menusukkan pisau itu ke tubuh Shelin. Sekian banyak orang telah bersaksi melihat hal itu. Namun, bagi Yuraimah tidak begitu. Yang membunuh keponakannya adalah ”Dodi yang lain”.
Kasih sayang dan kelembutan yang ditunjukkan Yuraimah saat merawat Dodi di rumah sakit menggambarkan segalanya. Yang berbaring di tempat tidur itu adalah sosok suami dan ayah yang ia kenal selama ini. Bukan Dodi yang membenamkan pisau ke tubuh Shelin.
Baca juga : Kesadaran untuk Membawa Penderita Gangguan Jiwa Berobat Masih Rendah
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, enam dari setiap 1.000 warga usia 15 tahun ke atas di Indonesia mengidap depresi. Jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta orang atau sekitar 6 persen dari total jumlah penduduk. Namun, hanya 9 persen pengidap yang menjalani pengobatan medis.
Sementara penelitian Human Right Watch pada 2016, ”Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia”, menunjukkan banyak warga masih percaya gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat. Hal tersebut membuat banyak orang lebih memilih membawa anggota keluarganya yang sakit kepada paranormal daripada membawanya kepada tenaga kesehatan profesional.
Hal lain yang menghalangi pengidap gangguan jiwa mendapat penanganan medis adalah stigma masyarakat. Stigma negatif itu bukan hanya dilempar kepada pengidap, melainkan juga kepada keluarganya. Inilah yang membuat pengidap gangguan jiwa semakin menutup diri dan terisolasi dari lingkungan sekitar.
Secara kasatmata memang Dodi yang menusukkan pisau itu ke tubuh Shelin. Namun, di balik semua itu ada kemiskinan yang ikut memainkan peran. Seandainya dia adalah orang berpunya dan cukup terdidik untuk memahami penyakit itu serta obatnya, mungkin cerita masygul ini tak perlu ditulis.
Baca juga : Sikap Warga Tentukan Kesembuhan