Penggunaan bibit kultur jaringan rumput laut masih menuai perdebatan. Program yang digalakkan pemerintah itu dituding mengganggu pasar komoditas andalan ekspor tersebut.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Penggunaan bibit kultur jaringan rumput laut jenis Eucheuma cottonii untuk meningkatkan kualitas dan mempercepat masa produksi rumput laut masih menuai perdebatan. Program penggunaan bibit kultur jaringan yang digalakkan pemerintah dituding mengganggu pasar komoditas andalan itu.
Pemerintah telah menetapkan pengembangan rumput laut sebagai program prioritas, seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2019 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Rumput Laut Nasional Tahun 2018-2021. Dalam peta itu, industri karagenan dan agar-agar ditargetkan jadi pemimpin pasar dunia tahun 2021.
Tahun 2019, pemerintah menargetkan produksi rumput laut basah 19,54 juta ton atau setara 1,95 juta ton kering. Jumlah itu jauh di atas realisasi tahun 2018 yang sekitar 10,4 juta ton. Adapun sasaran produksi bibit rumput laut kultur jaringan yakni 1,95 juta ton dengan luas areal 11.633 hektar di 20 provinsi.
Selama ini, produksi rumput laut kerap terganjal ketersediaan bibit yang tak mencukupi kebutuhan dan kualitasnya tidak stabil. Selain itu, serangan penyakit membuat hasil produksi tak menentu. Padahal, rumput laut jadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan.
Seiring upaya memacu produksi, pembibitan rumput laut hasil teknologi kultur jaringan mulai digalakkan secara nasional, antara lain di Lombok (Nusa Tenggara Barat), Situbondo (Jawa Timur), dan Takalar (Sulawesi Selatan).
Indukan kultur jaringan yang berasal dari Lampung ditargetkan menghasilkan bibit unggul siap pakai, kandungan karagenan (senyawa yang diekstraksi dari rumput laut) lebih tinggi dengan masa produksi kurang dari 45 hari.
Kekhawatiran muncul karena pasar ekspor rumput laut, yang didominasi Amerika Serikat (AS), mensyaratkan produk rumput laut memenuhi syarat komoditas organik. Proses pembibitan kultur jaringan jadi sorotan karena dikhawatirkan mengandung bahan kimia sebagai perangsang produksi.
Kecurigaan itu membuat Asosiasi Rumput Laut Indonesia menolak penggunaan bibit hasil kultur jaringan. Surat protes telah dilayangkan ke pemerintah untuk mengevaluasi metodologi kultur jaringan guna memastikan proses hulu-hilir pembibitan bebas dari penggunaan bahan kimia dan tersertifikasi organik. Di sisi lain, pemerintah menegaskan bahwa kultur jaringan tidak akan menghilangkan sifat organik komoditas rumput laut. Penggunaan pupuk dalam proses laboratorium berasal dari mikronutrien di alam.
Menurut pemerintah, kultur jaringan tidak akan menghilangkan sifat organik komoditas rumput laut.
Di tataran global, tantangan pasar terus meningkat seiring permintaan dunia terhadap produk rumput laut kering. Kebutuhan dunia berkisar 600.000-800.000 ton per tahun. Ekspor rumput laut jenis cottonii dan gracilaria kering sekitar 50 persen dari kebutuhan dunia, 70 persen di antaranya dipasok ke China. Dari bahan baku itu, China mengekspor karagenan ke AS dan Eropa.
Persaingan tidak hanya dengan sesama negara produsen rumput laut, tetapi juga dengan komoditas organik dan nonorganik. Produk rumput laut berupa agar-agar dan karagenan pernah terancam dikeluarkan dari daftar produk organik National Organic Standards Board AS.
Meski akhirnya Departemen Pertanian AS (USDA) pada 4 April 2018 menerbitkan keputusan bahwa agar-agar dan karagenan tetap masuk dalam daftar produk organik, Indonesia berkepentingan agar rumput laut tetap tergolong produk organik. Jika rumput laut dikeluarkan dari daftar produk organik AS, komoditas itu dapat terlibas oleh komoditas hidrokoloid nonorganik, seperti maizena, gelatin, dan tapioka.
Demi mencapai target besar tahun 2021, riuh di negeri sendiri terkait transparansi kultur jaringan perlu segera dituntaskan dengan memastikan komoditas rumput laut mampu memenuhi standar pasar. Semua pihak diharapkan terbuka untuk memperkuat sinergi hulu-hilir agar industri ini dapat tumbuh dan memenangkan persaingan global. (BM LUKITA GRAHADYARINI)