Mengais Air, Bertaruh Nyawa Menghadang Api
Rasa cemas menghantui kehidupan di atas gambut. Tiap kali kebakaran berkobar, terdorong keinginan untuk mengungsi. Namun, apa daya, seisi kebun mendesak untuk diselamatkan walau harus bertaruh nyawa.
Sepanjang hari, Faudin (62) menunggui kebun pinangnya. Api telah menyambar hingga memakan badan jalan menuju kebun itu. Andai sedikit saja lengah, dirinya akan terkepung api. Bahkan kebunnya pun bakal hangus.
Faudin bergegas menuju parit kecil yang mengelilingi kebun itu. Air di dalamnya nyaris kering. Digalinya dasar parit itu hingga setengah meter dalamnya.
Air berwarna kehitaman perlahan merembes dari pori-pori remah gambut. Air terakhir akhirnya mengisi lubang galian tersebut. Diciduknya air untuk menyirami badan jalan yang ikut terbakar.
”Hanya ini satu-satunya cara. Jangan sampai api masuk ke dalam kebun,” kata petani itu, Jumat (20/9/2019).
Hamparan gambut di Desa Sinarwajo, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, itu adalah sumber penghidupannya. Merantau dari tanah Sulawesi 20 tahun silam, Faudin membangun harapan baru dengan membeli 8 hektar lahan di sana. Hamparan yang semula masih berupa semak belukar itu, ia buka dan ditanami pinang dan sawit.
Untuk mengeringkan genangan di atas permukaan rawa gambut, ia membangun parit sekeliling kebun. Air mengumpul ke dalam parit. Permukaan rawa gambut yang mengering akhirnya bisa ditanami.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sejak 10 tahun terakhir, kekeringan melanda kebunnya setiap musim kemarau. Saat terjadi kebakaran di tempat lain, api kerap menjalar masuk.
Tahun 2015, kebakaran tak terelakkan menyambar sebagian pinang yang telah berbuah. Hanya sebagian yang dapat diselamatkan. Tahun ini, kebakaran rupanya berulang. Faudin tak punya pilihan selain bertahan menjaga tanaman yang tersisa.
Pinang yang menjadi sumber penghidupannya itu terasa lebih penting ketimbang nyawa dan kesehatan. ”Kalau mau dikata sesak karena asap, ya tentu sesak. Tenggorokan dan mata perih. Tetapi kalau saya mengungsi, siapa yang selamatkan seluruh tanaman ini?” katanya.
Mujiati pun hampir tak berdaya menyelamatkan kebunnya. Api telanjur merambat sampai ke pekarangan di belakang rumahnya. Sudah puluhan batang pinang dan sawitnya tergilas hangus. Tinggal sedikit lagi, rumahnya terancam hangus terbakar.
Di tengah kondisi darurat itu, ia menitipkan dua anaknya ke rumah nenek mereka. Mujiati dan suami bahu-membahu menggempur api.
Tidak terlalu lama, tim pemadam masyarakat peduli api (MPA) di desa datang. Mereka pun beramai-ramai menghadang kebakaran agar padam dan tidak meluas.
Setelah tiga hari berkobar, api baru mereda. Namun, Mujiati masih terus berjaga agar api tidak lagi membesar dan bisa didinginkan.
”Asap masih muncul dari bawah. Bisa menyala lagi kalau tidak didinginkan,” ujarnya.
Warga lainnya, Sadi (40), sampai harus menyewa mesin dan selang besar demi memadamkan kebakaran di kebunnya. Api telah menghanguskan sebagian tanaman sawit yang masih berusia 3 tahun.
”Padahal baru berbuah pasir. Belum ada hasil keuntungannya, tetapi sudah telanjur kebakaran,” sesalnya.
Tanpa pilihan
Bukan perkara mudah hidup di atas gambut. Warga Desa Catur Rahayu, Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Dwi Astuti, mengisahkan, selama tinggal di sana 11 tahun terakhir, tujuh musim kemarau harus dilaluinya hidup dalam selimut kabut asap. ”Jadi bisa dibilang hampir setiap tahun terjadi kebakaran lahan di sini,” katanya.
Tatkala kabut asap mengepung desa, warga tidak punya pilihan untuk pergi. ”Kalau ada tempat mengungsi yang aman, kami mau, tetapi nanti siapa yang akan menjaga kebun ini,” ucapnya.
Di atas gambut yang sakit karena praktik pengeringan dan pembukaan kanal, kekeringan akan selalu memantik kebakaran. Sedikit saja dibakar, api dengan cepat merambati bahan-bahan organik kering itu. Tanpa pencegahan sejak awal, percikan api di atas gambut dapat berubah sekejap menjadi bencana.
Kajian Bank Dunia menunjukkan, sektor pertanian dan perkebunan rakyat menanggung kerugian terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di negeri ini. Kajian itu dirilis dalam buku Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015 yang diterbitkan The Asia Foundation dan Perkumpulan Skala.
Tahun 2015, kebakaran terjadi seluas 2,6 juta hektar. Kerugian dan kerusakan sektor pertanian pada delapan provinsi di Sumatera dan Kalimantan diperkirakan lebih dari Rp 66,4 triliun.
Ironisnya, dari jumlah sebesar itu kerugian yang ditanggung petani subsektor tanaman pangan Rp 23,7 triliun. Sementara petani tanaman perkebunan harus menanggung Rp 42 triliun.
Nilai tersebut belum termasuk biaya rehabilitasi dan hilangnya potensi pendapatan pada subsektor perkebunan. Hal ini menyebabkan kerugian tambahan Rp 11 triliun per tahun pada tiga tahun ke depan.
Kerugian tambahan itu dihitung pada komoditas sawit, karet, dan kelapa. Secara otomatis pula peristiwa ini menghilangkan potensi pendapatan nasional dari produksi dan ekspor pertanian.
Berangkat dari kajian tersebut, terungkap kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap mengakibatkan turunnya produksi pertanian hingga 4,9 persen pada kuartal ketiga tahun 2015. Penurunan itu merupakan yang terparah sejak tahun 2011 hingga 2015.
Kebakaran hutan dan lahan juga kabut asap empat tahun silam masih menyematkan trauma mendalam bagi masyarakat. Sungguh ironis, tragedi serupa berulang kembali. Seolah bangsa kita lupa akan sejarah kelam perjalanan hidupnya.