JAKARTA, KOMPAS—Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bersama Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, pertama kali di dunia sukses menguji efektivitas repelen spasial untuk mengurangi penularan malaria. Uji klinik yang dilakukan selama 11 tahun di Sumba ini menjadi dasar penting bagi penanganan malaria di dunia dan studi lanjutan akan diujikan di Afrika.
Hasil studi yang didukung Bill Gates Foundation dan SCJohnson itu dipaparkan peneliti malaria senior Lembaga Eijkman, Syafruddin di Jakarta, Selasa (8/10/2019). Pemateri lainnya adalah dua peneliti dari Universitas Notre Dame, yaitu Nichole L. Achee dan Neil F. Lobo.
"Ini adalah studi pertama yang membuktikan repelen spasial bisa mengontrol malaria. Butuh studi lebih lanjut untuk memastikan ini bisa digunakan dalam skala luas. Kami saat ini juga mengembangkan formula repelen yang bisa lebih lama dan ramah lingkungan," kata Syafruddin.
Ini adalah studi pertama yang membuktikan repelen spasial bisa mengontrol malaria.
Studi pada kelompok desa dengan endemisitas malaria dari nol hingga sedang mengalami penurunan infeksi penyakit yang ditularkan nyamuk Anopheles sekitar 28 persen. Sementara kelompok desa dengan endemisitas rendah sampai sedang mengalami penurunan infeksi hingga 41 persen.
Menurut Syafruddin, repelen spasial itu diharapkan melengkapi berbagai strategi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melawan penyakit ini. Tak hanya diterapkan untuk malaria, repelen spasial juga bisa dipakai untuk penyakit yang ditularkan nyamuk lain, misalnya demam dengue, demam kuning, hingga zika.
"Selain di Indonesia untuk malaria, penggunaan repelen spasial ini juga diuji di Peru untuk melihat efektifitasnya pada penurunan demam dengue," kata Achee.
Menurut penjelasan Achee, selama ini WHO merekomendasikan penggunaan kelambu yang dilapisi pestisida, penyemprotan, hingga pembersihan habitat nyamuk. Namun, strategi ini memiliki kelemahan sehingga berbagai penyakit yang ditularkan nyamuk masih menjadi ancaman global.
Penanganan malaria membutuhkan berbagai inovasi baru, di antaranya penggunaan repelen spasial. Uji klinik ini akan menjadi bukti epidemiologis yang bisa mendukung rekomendasi WHO untuk memakai repelen spasial sebagai bagian dari strategi mencapai target bebas malaria secara global pada 2030.
Data WHO, angka kesakitan malaria secara global pada 2017 mencapai 219 juta kasus dan 435.000 penderita di antaranya meninggal dunia. Sedangkan demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti memicu 390 juta kasus per tahun.
Repelen spasial yang diujikan di Sumba itu mampu mengeluarkan bahan kimia transflutrin yang tahan hingga dua minggu. Dengan menaruh repelen ini di dalam rumah, nyamuk diharapkan menjauh dan tidak menggigit manusia. Jika tidak mendapatkan darah manusia, nyamuk yang tidak beradaptasi dengan sumber pangan lain akan mati sehingga populasinya diharapkan berkurang.
Achee memaparkan, sebagai kelanjutan uji klinis di Sumba ini, studi dengan skala lebih luas akan dilakukan di Mali, Kenya, Uganda, selain di Sri Lanka. Belajar dari Sumba, responden yang dipantau terutama adalah anak-anak usia 6 bulan hingga 15 tahun yang diasumsikan lebih banyak tinggal di dalam rumah saat malam hari.