Pemerintahan Baru Diharapkan Mampu Menyelesaikan Ganti Rugi Korban Lumpur Yang Berlarut Hingga 13,5 Tahun
Masyarakat korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, berharap, pemerintahan kali ini memiliki komitmen lebih besar menyelesaikan pembayaran ganti rugi karena persoalannya telah berlangsung nyaris 13 tahun.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Makruf Amin akan segera dilantik. Masyarakat korban semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, berharap, pemerintahan kali ini memiliki komitmen lebih besar menyelesaikan pembayaran ganti rugi korban karena persoalannya telah berlangsung lebih dari 13,5 tahun.
Harapan itu disampaikan oleh para korban semburan lumpur Sidoarjo, Rabu (9/10/2019). Sejumlah korban, baik dari masyarakat umum maupun kalangan pelaku usaha, mendatangi tanggul di titik 78 Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Mereka mendesak pemerintah segera menuntaskan pembayaran ganti rugi yang belum terbayar.
Ganti rugi yang belum terbayar sebenarnya masih banyak. Selain ganti rugi untuk aset milik masyarakat atau warga dan pelaku usaha yang terdampak, ada ganti rugi untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial milik pemerintah desa dan pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Ada lagi tanah dan bangunan yang berstatus wakaf.
Perwakilan masyarakat korban lumpur, Fatah mengatakan berdasarkan data yang dia himpun, jumlah yang belum dibayar sebanyak 103 berkas dengan taksiran nilai Rp 80 miliar. Warga pemilik tanah dan bangunan sudah menyerahkan berkasnya untuk keperluan proses pencairan ganti rugi.
“Namun hingga kini, belum ada kepastian kapan ganti ruginya cair. Warga korban sangat menantikan pembayaran ganti rugi tersebut karena mereka telah menunggu lama. Selama menunggu itu, warga korban hidup dalam kondisi tidak menentu,” ujar Fatah.
Mainah warga Desa Kedungbendo menambahkan dia memiliki tanah pekarangan seluas 1.500 meterpersegi dan bangunan rumah seluas 900 meter persegi. Total asetnya itu bernilai Rp 2,2 miliar. Namun hingga kini, pihaknya belum menerima pembayaran ganti rugi.
Namun hingga kini, belum ada kepastian kapan ganti ruginya cair. Warga korban sangat menantikan pembayaran ganti rugi tersebut karena mereka telah menunggu lama. Selama menunggu itu, warga korban hidup dalam kondisi tidak menentu, ujar Fatah.
Askan Hadi warga Desa Kedungbendo mengaku memiliki aset tanah atas nama istrinya Erin Yunairoh (almarhumah) seluas sekitar 200 meterpersegi. Dia belum menerima pembayaran ganti rugi karena tidak sependapat dengan penilaian PT Minarak Lapindo Brantas yang menganggap tanahnya merupakan tanah basah sehingga hanya dinilai Rp 24 juta. Menurutnya nilai tanah itu Rp 200 juta.
Selain korban lumpur dari pihak masyarakat, desakan penuntasan pembayaran ganti rugi juga disampaikan oleh kalangan pelaku usaha. Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) Joni Osaka mengatakan ada 30 pelaku usaha dengan nilai ganti rugi sekitar Rp 700 miliar hingga Rp 800 miliar.
“Pemerintah Presiden Joko Widodo harus segera menuntaskan permasalahan ganti rugi korban lumpur karena telah berlangsung lama yakni lebih dari 13,5 tahun,” kata Joni.
Lumpur terjadi di Kabupaten Sidoarjo sejak tahun 2006. Itu dipicu aktivitas di sumur pengeboran Banjar Panji I milik Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Badan Pelaksana Hulu Migas, Lapindo Brantas Inc. Selama 13,5 tahun, semburan lumpur telah menenggelamkan 671 hektar lahan di 19 desa dan tiga kecamatan.
Penanganan korban di dalam Peta Area Terdampak (PAT) menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Penanganan dilakukan oleh anak perusahaan yakni PT Minarak Lapindo Brantas. Sedangkan penanganan korban di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Faktanya, Lapindo Brantas Inc gagal menyelesaikan tanggung jawabnya sehingga pemerintah turun tangan. Lapindo dan Minarak dipinjami uang sebesar Rp 773,3 miliar pada 2015. Uang itu untuk membayar ganti rugi warga yang belum terselesaikan selama 11 tahun. Korban dari kalangan pelaku usaha tidak termasuk di dalamnya.
Perusahaan Grup Bakrie diminta mengembalikan pinjaman dengan bunga 4,8 persen per tahun itu pada Juli 2019. Namun, hingga batas waktu pengembalian, perusahaan baru membayar cicilan Rp 5 miliar. Dengan kondisi seperti itu, pelaku usaha korban lumpur pesimis Lapindo mampu memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi.