Lingkaran Setan Pemberantasan Narkoba
Pemberantasan narkoba seakan tidak pernah terhenti. Kebutuhan dan pasokan barang ilegal belum putus. Sementara ada oknum aparat yang memainkan kewenangannya. Inilah lingkaran setan yang terjadi.

Badan Narkotika Nasional mengungkap satu tersangka narapidana yang mengendalikan narkoba dari lapas. Selain narapidana, BNN juga menunjukkan empat tersangka lainnya bersama barang bukti, Selasa (25/6/2019), di Jakarta.
Dorongan dan godaan memakai narkoba begitu kuat bagi EK (27). Semua bermula dari lingkaran pergaulannya di salah satu kampus di Jakarta Selatan. Narkoba jenis sabu dan ganja begitu mudah didapat. Sejak itu pula, pergaulan dan jaringannya semakin luas, narkoba tidak hanya ia dapat di kampus, di mana saja ia bisa mendapatkannya.
”Saya mulai pakai semester dua. Awalnya ganja, belum berani pakai sabu. Karena tergoda dan dorongan teman-teman, saya pakai sabu hingga...,” EK tak melanjutkan percakapan. Ia terdiam sejenak dan menghela napas panjang lalu meminum segelas kopi di depannya, Senin (7/10/2019) malam.
Pekerja lepas ini tidak memungkiri, semua yang menyangkut tentang narkoba merupakan salah dan melanggar secara hukum. Namun, nikmat narkoba mematahkan rasa takutnya. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya bakal berurusan dengan aparat penegak hukum. Malang baginya, ia tertangkap basah membawa satu klip sabu seberat setengah gram.
Malam itu, pada pertengahan April 2019, EK baru saja bertransaksi sabu dengan bandar yang sudah menjadi langganannya beberapa waktu belakangan. Seperti biasa, ia mengontak si bandar sebelum datang ke lokasi yang ditentukan, yakni di salah satu pelosok di Jakarta Timur.
Baca juga : Narkoba Menggurita

Sebanyak 169,68 kilogram sabu ditunjukkan kepada wartawan sebelum dimusnahkan di Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Cawang, Jakarta, Jumat (10/5/2019). Sabu tersebut merupakan barang bukti dari enam kasus penyalahgunaan narkotika dalam kurun waktu September 2018 hingga April 2019.
Untuk pembelian sabu seberat setengah gram, EK merogoh kocek Rp 800.000. Jumlah itu terhitung banyak mengingat Eko saat itu sedang tidak bekerja. ”Buat senang-senang aja karena lagi suntuk,” kenang pria lajang ini.
Setelah mendapatkan barang haram itu, EK memacu motornya menuju sebuah tempat yang disebutnya sebagai ”markas”. Tempat favorit EK ini berada di kawasan Kranggan, Bekasi, Jawa Barat.
Di saat bersamaan, EK tidak menyadari, selama perjalanan menuju Kranggan, ada mobil hitam yang di dalamnya lima polisi membuntutinya. Dalam kondisi jalanan yang sepi, mobil itu memepet motor EK sehingga memaksanya untuk berhenti di pinggir jalan. ”Gue udah enggak bisa ngomong apa-apa lagi, gue yakin di dalam (mobil) itu polisi,” ujar EK, yang mengaku menggunakan sabu sejak 2014.
Dia tak mampu berkilah saat dirinya dipaksa polisi untuk mengeluarkan sabu yang disimpannya di dalam kantong celana. Pasrah, EK mengeluarkan narkoba itu lalu memberikannya kepada polisi. Ia pun digelandang ke kantor polisi.
Baca juga : Aceh dalam Cengkeraman Narkoba

”Damai”
Akibat perbuatannya, EK sempat mendekam dua hari dua malam di kantor polisi. Di dalam sana, dia sempat diinterogasi oleh polisi. Pertanyaannya bermacam-macam, tetapi yang paling sering ditanyakan ialah siapa orang-orang kenalan EK yang juga memakai dan pengedar sabu.
Saat itu, polisi menawarkan EK untuk ”menukar kepala”. Istilah yang biasa digunakan seseorang mencari pengguna narkoba lain agar pelaku diberikan keringanan hukuman. Namun, EK menolak tawaran itu.
Polisi memberikan kesempatan EK menghubungi keluarga melalui telepon seluler. Mengetahui kabar itu, keluarga EK datang ke kantor polisi untuk mengajak ”damai” pihak kepolisan. ”Saat itu, kakak ipar gue bawa uang Rp 50 juta supaya gue bebas. Soalnya, jumlah itu yang diminta sama polisi,” kata EK.
Setelah keluarga menyerahkan uang tebusan, pria kelahiran Jakarta ini menghirup udara bebas. ”Gue enggak mau main lagi dengan narkoba. Sejak saat itu, gue kapok. Ternyata yang hancur enggak hanya gue, tapi keluarga juga. Gue hanya menghabiskan uang untuk kenikmatan narkoba yang bisa membuat hubungan gue dan keluarga rusak,” ujar lelaki bertubuh kurus itu.
Baca juga : Jaringan Narkoba di LP Cipinang

Sebanyak 154 tersangka beserta barang bukti jenis sabu sebanyak 71,8 kilogram dan ekstasi 15.326 butir dirilis di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Senin (19/8/2019).
Kasus damai pada penanganan narkoba ini menjadi sorotan mantan Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto. Praktik damai sudah lama terjadi. Praktik ini berulang karena orangtua tidak ingin anaknya mendapat sanksi hukum. Di sisi lain, oknum aparat nakal ini memanfaatkan ketakutan orangtua tersebut sehingga terjadi transaksi.
”Belum lagi praktik jual beli pasal dan jumlah barang bukti. Ini salah satu faktor di antara banyak faktor yang membuat narkoba sulit diberantas,” ujar Benny.
Menurut Benny, daripada pihak keluarga melakukan praktik damai yang ilegal, sebaiknya yang bersangkutan mengikuti program wajib lapor. Laporan ini disampaikan ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di BNN, BNN Provinsi, atau BNN Kabupaten.
”Mereka diasesmen dan rekomendasinya harus direhabilitasi agar ada harapan pulih. Kalau tidak direhab, sulit diharapkan pulih,” tutur Benny. Ia melanjutkan, bagi keluarga yang melapor, pengguna tidak akan mendapat sanksi hukum, tetapi ia ikut program rehabilitasi hingga tidak tergantung lagi dengan narkoba.
Baca juga : Pemberantasan Narkoba Libatkan Perusahaan Aplikasi

Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Arman Depari dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Heru Winarko menunjukkan barang bukti narkoba dari hasil pengungkapan selama April-Mei, Jumat (28/6/2019).
Menurut Benny, pemberantasan narkoba tidak bisa sekadar melalui penangkapan bandar. Selain karena masih bisa dikendalikan di dalam jeruji besi, itu justru membuat narkoba langka di pasaran dan harga akan naik. Sebaliknya, jika banyak yang direhabilitasi, angka permintaan narkoba turun sehingga harga juga ikut turun.
Benny melanjutkan, penanganan permasalahan narkoba tidak bisa parsial, harus komprehensif, seimbang antara menekan angka pasokan melalui langkah pemberantasan. Selain itu, menekan angka permintaan melalui langkah pencegahan dan rehabilitasi, serta melibatkan semua elemen masyarakat.
”Kondisi saat ini memprihatinkan karena masalah rehabilitasi tidak maksimal. Kalau Presiden Jokowi menyatakan perang terhadap narkoba, itu sasarannya para bandar. Sementara itu, kalau Presiden menyatakan Indonesia darurat narkoba, sasarannya adalah menolong para korban narkoba untuk diselamatkan melalui rehabilitasi dan mencegah bagi yang belum terkena narkoba,” ujar Benny.
Sementara itu, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Arman Depari mengatakan, bisnis narkoba sangat menggiurkan. Siapa saja akan mudah tergoda dengan bisnis ini. Salah satu pasar narkoba yang belakangan marak terjadi di area kampus.
Baca juga : Narkoba, ”Pembunuh” yang Masih Sulit Diberantas

Baca juga : Pemberantasan Narkoba Tak Cukup dengan Regulasi
Kompas menyusuri informasi itu dengan mendatangi salah satu kampus swasta di Jakarta Selatan. Transaksi narkoba jenis tembakau gorila bebas dilakukan di selasar kampus. Pengedar yang juga anak kampus setempat menawarkan kepada temannya. Uang pembelian narkoba pun diberikan langsung di depan mahasiswa lain.
Dengan berpura-pura sebagai kerabat dekat salah seorang alumnus kampus tersebut, Kompas ikut duduk bersama mahasiswa. Hasan (26), bukan nama sebenarnya, alumnus kampus setempat yang pernah menjadi pengedar ganja di kampus itu pernah meraup untung jutaan rupiah dari mengedarkan ganja dalam sehari saja. ”Ya, biasa bawa ke kampus 10-20 empel (sebutan untuk paket kecil ganja) seharga Rp 100.000. Itu sudah pasti habis terjual, bisa dihitung penghasilannya sehari berapa,” ujar mahasiswa angkatan 2011 ini.
Hasan mendapatkan pasokan ganja dari bandar yang lebih besar dengan sistem membayar setoran. Ganja yang diturunkan dari bandar terlebih dahulu ia jual, lalu sebagian penghasilannya dikirim ke bandar.
”Misalnya, saya mendapat stok dari bandar 500 gram untuk dijual. Sebanyak 500 gram itu kemudian saya pecah menjadi per empel dan jual ke kampus. Hasil penjualan bisa sampai Rp 1,5 juta-Rp 2 juta. Sebanyak 60-70 persen dari hasil penjualan masuk ke bandar, selebihnya untuk saya,” tutur Hasan.

Kendati melanggar hukum, Hasan mengaku tidak takut tertangkap polisi. Asalkan, transaksi jual-beli dilakukan di dalam lingkungan kampus. ”Selama jualannya di kampus, saya yakin tidak akan tertangkap. Kebanyakan mereka yang tertangkap itu transaksinya di luar (kampus),” katanya.
Selain itu, para pengedar ini juga menjalin relasi dengan pihak keamanan kampus. Tak jarang mereka memberikan uang tutup mulut sebagai imbalan. Di sisi lain, solidaritas antara pemakai dan pengedar juga terjalin kuat. Hal itu kentara saat Kompas, yang datang sebagai orang asing di kampus itu sempat diberondong pertanyaan seputar asal, siapa mengajak, serta maksud dan tujuan datang. Hal itu dilakukan dengan dalih menjaga keamanan.
Kejadian serupa juga ketika Kompas masuk ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta Timur. Sesaat setelah memarkir motor, dan berjalan menuju halaman kampus, seorang mahasiswa langsung menghampiri dan bertanya curiga. Tak lama berselang beberapa mahasiswa lainnya juga mendekati dan mulai menginterogasi lalu dengan kasar mengusir.
”Kami biasa melakukan itu untuk memastikan yang masuk ke kampus itu bukan intel atau polisi. Itu sudah menjadi kewajiban, semacam aturan tidak tertulis. Kami harus pastikan juga yang melakukan transaksi adalah orang yang dikenal atau orang yang dekat dengan kerabat pengguna,” ujar Hasan.

Masih tinggi
Penyalahgunaan narkoba jenis ganja dan sabu di kalangan anak muda di Jakarta dan sekitarnya masih tinggi. Di Bekasi, jumlah kasus peredaran narkoba pada Operasi Nila Jaya 2019 meningkat 44 kasus dibanding tahun 2018 sebanyak 30 kasus. Pada Operasi Nila Jaya 2019, polisi menangkap 50 tersangka pengedar narkoba beserta barang bukti 114,03 gram ganja dan narkoba jenis sabu seberat 207,18 gram.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Eka Mulyana mengatakan, terjadi peningkatan peredaran narkoba karena tumbuh dan kuatnya jaringan-jaringan kecil. Para tersangka pengedar narkoba merupakan jaringan yang saling terhubung. Selain di Kota Bekasi, pengungkapan kasus juga di Jakarta dan Kabupaten Bekasi. Kota Bekasi sebanyak 30 kasus, Kabupaten Bekasi 8 kasus, dan Jakarta 6 kasus.
”Para tersangka tertangkap saat bertransaksi narkoba di jalanan, indekos, tempat hiburan malam yang sekaligus menjadi peredaran dan penggunaan narkoba. Kebanyakan mereka bukan bandar besar, hanya pengedar atau penjual tingkat dua,” kata Eka.
Eka menegaskan, pihaknya akan terus mengembangkan pengungkapan kasus peredaran narkoba ke arah bandar besar. ”Kami maksimalkan terus. Terbukti dengan adanya Operasi Nilam Jaya 2019, kami mengungkap penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Tujuan operasi ini meningkatkan hasil dari pengembangan yang sudah dilakukan dan mengungkap kasus peredaran narkoba,” ujar Eka.
Sementara itu, Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Timur mengungkap 25 kasus narkoba jenis ganja dan sabu. Sebagian besar dari hasil pengungkapan kasus yang berlangsung pada 18 September-2 Oktober 2019, kebanyakan polisi menemukan ganja dan sabu di indekos.

Barang bukti yang diamankan BNN dari pengungkapan tujuh kasus penyeludupan narkoba.
Baca juga : Napi Narkoba Leluasa Jalankan Bisnis Haram
Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Ajun Komisaris Besar Jonter Banuarea mengatakan, indekos menjadi salah satu operasi yang akan gencar dilakukan.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan Anang Supriatna mengatakan, jumlah berkas perkara yang ditangani kebanyakan kasus narkoba sekitar 70 persen. ”Beberapa berkas perkara kasus narkoba yang masuk ke Kejari Jakarta Selatan merupakan kategori praktik peredaran narkoba skala kecil. Perkara narkotika, sebanyak 548 narkotika dan 292 perkara umum lain,” katanya.
Anang melanjutkan, berkas perkara yang masuk Kejari Jakarta Selatan disertai pemusnahan barang bukti narkoba sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat terkait barang bukti yang telah disita. Barang bukti yang dimusnahkan, antara lain 43 kilogram ganja dari 110 kasus; 3,8 sabu dari 391 kasus; 1,7 kilogram tembakau gorila dari 30 kasus; 57,3 gram heroin dari 2 kasus; serta 426,72 gram ekstasi dan obat-obatan dari 15 perkara.
Sementara itu, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Arman Depari mengatakan, sabu dan ganja mayoritas digunakan anak muda karena harga murah dan jumlah peredaran yang banyak.

”Pemberantasan narkoba tidak bisa dari BNN atau polisi saja. Semua harus terlibat agar penyalahgunaan narkoba tidak semakin menjerat anak muda. Bisnis narkoba ini sangat mengiurkan, tapi ingat efeknya luar biasa menghancurkan anak bangsa. Oleh karena itu, kami juga menghancurkan pencucian uang hasil narkoba mereka,” katanya.
Selain itu, kata Arman, peran pegiat dalam upaya penanggulangan narkoba sangat penting, terutama dalam upaya preventif. Mereka diharapkan terjun langsung ke masyarakat dan menyusun program yang efektif.
Untuk berkontribusi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), menurut Arman, para pegiat antinarkoba ini juga didorong untuk bisa melakukan aksi nyata, paling tidak bisa menyelamatkan orang-orang di lingkungan terdekatnya dari ancaman narkoba, seperti keluarga, kerabat, atau teman-temannya.
”Karena narkoba, bisa terjadi pencurian, kekerasan, dan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga,” kata jenderal bintang dua itu.
Menurut dia, pencegahan merupakan langkah paling utama dan dilanjutkan langkah penegakan hukum. Jika pencegahan terus-menerus dilakukan, pada akhirnya akan menemui titik keterbatasan.

Sebanyak 9.000 butir narkotika jenis baru, Methoxetamine (mxe), ditunjukkan kepada wartawan saat Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono memberikan keterangan kepada wartawan terkait pengungkapan kasus narkoba di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/2/2019).
Sementara itu, Direktur Peran Serta Masyarakat BNN Mohamad Jupri berharap agar para pegiat ini bisa melaksanakan P4GN di lingkungannya masing-masing. Ia mengatakan, ada berbagai langkah penting yang bisa dilakukan terutama di lingkungan pendidikan, seperti tes urine saat proses penerimaan mahasiswa.
”Hal penting yang perlu digarisbawahi oleh para pegiat antinarkoba adalah sebagai langkah awal agar mampu membersihkan lingkungan internal terlebih dahulu dari ancaman narkoba,” ujar Mohamad Jupri.
Setelah itu, baru para pegiat ini bisa berkontribusi dengan membuat kampanye antinarkoba yang terintegrasi dengan kegiatan menarik lain dan dalam skala yang tidak terlalu besar, seperti kegiatan pentas atau olahraga.
Kepada para pegiat antinarkoba ini juga, Mohamad Jupri berharap agar mereka nantinya bisa mandiri untuk membuat aksi. Agar kegiatan bisa terealisasi, mereka bisa berkoordinasi dengan pihak lain, misalnya menggaet perusahaan tertentu melalui CSR nya agar bisa mendapatkan dukungan untuk melakukan kegiatan P4GN.