Festival Lagi, Parade Lagi, Gabus Lagi...
Akhir-akhir ini, Sulawesi Utara tak pernah sepi festival dengan sajian utama parade. Namun, saat meriah acara berakhir, ada satu masalah sama yang selalu tinggal.
Akhir-akhir ini, Sulawesi Utara tak pernah sepi festival. Tiga bulan terakhir saja, Agustus sampai Oktober, tiga festival digelar bergantian di tiga kota berbeda di provinsi itu. Suguhan utama ketiganya sama, yaitu parade meriah. Setelah riuh rendah wisatawan dan warga surut, parade pun berakhir dengan satu hal yang sama: gabus bekas.
Senin (7/10/2019) menjelang surya terbenam, angin laut bertiup tenang di dermaga Pangkalan Utama Angkatan Laut Satuan Patroli Kapal (Lantamal Satrol) Kota Bitung, Sulut. Sebuah kapal pajeko putih-toska merapat. Warnanya berpadu apik dengan jernihnya biru Selat Lembeh. Di seberang, Pulau Lembeh yang ditaburi lembayung senja begitu memikat hati.
Festival ini pantas masuk Calendar of 100 Events 2020.
Sekelompok penari maengket cilik berlenggang anggun di geladak sambil bernyanyi. Tarian itu mengiringi pemberian cenderamata kain bentenan asli Minahasa kepada Menteri Pariwisata Arief Yahya. Itulah akhir dari ”Karnaval di Laut”, atraksi utama Festival Pesona Selat Lembeh (FPSL) yang diadakan kali ketujuh tahun ini.
”Saya ucapkan selamat untuk Festival Pesona Selat Lembeh yang berjalan sukses. Festival ini pantas masuk Calendar of 100 Events 2020,” kata Arief, sesaat setelah parade perahu dan kapal hias ditutup. Pernyataan Arief ini mengunci tempat FPSL dalam daftar acara wisata yang akan dipromosikan Kemenpar di luar negeri untuk menarik wisatawan asing.
Menurut Arief, FPSL sukses meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Bitung secara signifikan. Pada 2016, sebanyak 65.521 pelancong Nusantara dan mancanegara singgah di daerah berjulukan ”Kota Cakalang” itu. Pada 2017, jumlah kedatangan meroket menjadi 147.094, lalu berlipat menjadi 338.279 pada 2018.
Arief menegaskan, keindahan Selat Lembeh tak diragukan lagi. Biru laut dan langit bertemu, melatari Pulau Lembeh yang berbukit hijau. Sebelum acara ditutup, lebih dari 200 perahu dan kapal hias membuat selat sepanjang 16 kilometer dan lebar 2 kilometer itu gegap gempita.
Bendera segitiga warna-warni pada tali dibentangkan ke sudut-sudut kapal. Lampu-lampu kapal dibungkus plastik transparan berwarna merah, putih, dan kuning. Semakin heboh, para peserta parade membawa perangkat pengeras suara untuk memutar lagu-lagu disko khas Bitung. Mereka lalu berjoget di atas dek.
Baca juga: Incar Wisman, Bitung Poles Festival Selat Lembeh
FPSL sejatinya ingin mengekspos kekayaan 3.000 spesies hewan laut di Selat Lembeh. Karena itu, berbagai jenis ikan, seperti cakalang, tuna, badut, dori, dan kakap dibentuk menjadi replika berukuran besar dengan bahan styrofoam atau gabus. Ada pula bentuk tarsius dan monyet hitam sulawesi, dua spesies endemik Sulawesi yang hidup di Hutan Tangkoko.
Negara sahabat juga menyumbang kapal hias. Kapal Filipina dihiasi ayam jantan, sedangkan kapal China memiliki kepala ular naga di bagian depan. Australia punya kanguru, Selandia Baru diwakili kiwi, sedangkan Amerika Serikat bermegah dengan replika Patung Liberty. Semuanya terbuat dari gabus.
Pesta berakhir, tetapi pekerjaan masih belum selesai bagi beberapa orang. Di salah satu sudut dermaga, Yono (41), yang menakhodai kapal milik Filipina, sibuk mencopot segala atribut dari beberapa kapal. Bendera dan replika hewan-hewan gabus itu diturunkannya dengan bantuan beberapa anak.
Di dekat situ, Ricky Ottay (56) menantinya menyelesaikan pekerjaan. Ia adalah pemborong dekorasi kapal. Proyek hiasan delapan kapal didapatnya, termasuk kapal milik China, Filipina, Australia, dan Selandia Baru. Hiasan satu kapal mencapai Rp 25 juta.
Baca juga: Wisatawan Menanti Kebaruan di Festival Pesona Selat Lembeh
Untuk proyek delapan kapal ini, Ricky memodali 30 pekerjanya dengan 60 gabus berukuran 2 x 1 meter setebal 20 sentimeter. Gabus-gabus itu ditempel satu sama lain, ”dipahat” menjadi ikan dan berbagai hewan lainnya, lalu dicat. Semua hiasan bagi delapan kapal yang ditangani Ricky itu dibuat seminggu terakhir. Semuanya baru.
Kini, setelah festival usai, ke mana gabus-gabus itu akan berlabuh? ”Hewan-hewan itu, kan, harus ditancapkan juga di gabus sebagai alasnya. Alasnya yang persegi panjang itu akan kami buang. Yang bentuk hewan besar-besar akan kami kembalikan ke dinas (Pariwisata Bitung) sebagai pemilik,” kata Ricky.
Dihubungi pada Selasa (8/10), Kepala Dinas Pariwisata Bitung Pingkan Kapoh mengatakan, dekorasi gabus-gabus itu akan dikembalikan ke pemiliknya masing-masing, baik perusahaan produk perikanan, kantor pemerintahan, maupun warga tiap kelurahan di Bitung. Pingkan mengimbau agar gabus-gabus artistik itu dijadikan dekorasi untuk acara-acara selanjutnya.
”Itu bisa kita gunakan untuk event-event selanjutnya, daripada terbuang. Kami akan kolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup,” katanya. Pingkan tak merinci acara yang dimaksud. Nyatanya, hiasan tahun lalu dan tahun ini berbeda. Tetap ada gabus yang terbuang.
Berbahaya
Menurut studi Jenna R Jambeck dari University of Georgia pada 2015, Indonesia adalah penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia setelah China. Sekitar 1,29 juta ton dari total 3,2 juta ton sampah plastik di Indonesia berakhir di laut.
Styrofoam atau expandable polystyrene foam adalah jenis plastik golongan 6 yang terbuat dari polisterin. Dikutip dari BBC, profesor biologi maritim University of California, Douglas McCauley, mengatakan, styrofoam kerap ditemukan pada usus hewan laut dan membuatnya mati.
Gabus juga sangat mudah menyerap polutan laut lainnya, kemudian termakan oleh hewan laut. Risiko cukup besar karena plastik jenis ini tidak mudah terurai ataupun didaur ulang karena bijih polisterin telah mengembang dalam proses pembuatan gabus. Cara satu-satunya untuk mengurainya adalah dibakar pada insinerator sampah.
”Tidak tertutup kemungkinan ikan-ikan yang memakan plastik ini akan kembali ke meja makan kita,” kata McCauley.
Penggunaan gabus dalam parade FPSL ini dilaksanakan bersamaan dengan kampanye Bitung untuk menjadi kota ramah lingkungan. ”Kami sudah galakkan kebijakan pengurangan sampah plastik. Warga kami dorong untuk menggunakan tumbler (wadah minum permanen). Lewat FPSL, kami mengajak warga untuk peduli terhadap kelestarian Selat Lembeh,” kata Wali Kota Bitung Max Lomban.
Ricky Ottay, pemborong dekorasi kapal, sebenarnya menyadari sifat gabus yang tak ramah lingkungan. ”Saya sebenarnya ingin pakai bahan lain, tetapi tidak ada bahan yang sangat mudah dan cepat dibentuk. Pakai tripleks sebenarnya bisa kalau bentuk dekorasi cuma kotak-kotak. Kalau ini, kan, banyak lengkungan,” katanya.
Terulang
Awal Agustus lalu, dua festival berlangsung, yaitu Manado Fiesta dan Tomohon International Flower Festival (TIFF). Suguhan utamanya hampir sama, yaitu parade kendaraan hias. Manado Fiesta menawarkan nuansa kehidupan bawah laut, sedangkan TIFF menampilkan bunga-bunga. FPSL pun demikian. Bedanya, parade dilaksanakan di perairan dan kendaraannya berupa kapal.
Sebagai seniman, Ricky dan pekerjanya mendapat manfaat dari berbagai penyelenggaraan festival di Sulut. ”Mau Manado Fiesta, TIFF, atau FPSL, panitia selalu mencari seniman Bitung untuk bikin dekorasi,” katanya.
Gabus pun selalu diandalkan, baik untuk dipahat menjadi hiasan maupun untuk alas menancapkan bunga di kendaraan hias. Masalah penanganan gabus sisa parade yang nilainya sampai puluhan juta rupiah ini pun menimbulkan tanya.
Baca juga: Gabus-gabus Puluhan Juta Rupiah Pembuka Pesta
Agustus lalu, Kepala Dinas Pariwisata Manado Lenda Pelealu mengatakan, sisa sampah Manado Fiesta akan didaur ulang oleh mesin milik Politeknik Manado. Sementara itu, Wali Kota Tomohon Jimmy Eman menyatakan akan mengatasi sampah sisa kendaraan hias dengan baik. Adapun Menpar Arief Yahya, yang kala itu menghadiri parade TIFF, mendorong agar pemerintah kota mendaur ulang gabus sisa parade.
Tahun depan, FPSL akan digelar lagi sebagai salah satu agenda 100 acara unggulan Kemenpar. Dekorasi yang ditampilkan pun kemungkinan baru dan tak jauh dari gabus. Artinya, masalahnya masih akan sama: gabus lagi, gabus lagi....