Skizofrenia bisa diobati dan disembuhkan. Namun, kuatnya stigma, kesalahpahaman, terbatasnya layanan kesehatan jiwa, dan politisasi makin membuat penderita terlambat ditangani. Keluarga dan negara pun makin terbebani.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skizofrenia bisa diobati dan disembuhkan. Namun, kuatnya stigma, kesalahpahaman, terbatasnya layanan kesehatan jiwa, dan politisasi makin membuat penderita terlambat ditangani. Keluarga dan negara pun makin terbebani.
Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Bagus Utomo, di Jakarta, Selasa (8/10/2019), mengatakan, negara belum hadir bagi penderita skizofrenia. Lemahnya peran negara membuat potensi penderita skizofrenia tak termanfaatkan untuk mencapai bonus demografi.
Indonesia memiliki sekitar 480.000 penderita skizofrenia (2018). Tujuh dari 1.000 rumah tangga punya penderita skizofrenia. Sebanyak 18.800-57.000 penderita di antaranya dipasung. Ada pula yang menggelandang, ditelantarkan keluarga, atau dirawat tidak tepat.
Sebagian besar penderita berumur 15-30 tahun atau termasuk penduduk usia produktif. Jumlah hari produktif yang hilang akibat skizofrenia di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia (2004).
”Anggaran kesehatan jiwa sekitar 1 persen dari total anggaran kesehatan,” kata Bagus. Dana yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk kesehatan jiwa mencapai Rp 720 miliar pada 2016, jauh lebih kecil dibandingkan dengan penyakit lain.
Kecilnya anggaran kesehatan jiwa, baik di pemerintah pusat maupun daerah, menunjukkan rendahnya perhatian terhadap kesehatan jiwa. Wajar jika stigma terhadap penderita masih kuat dan target Indonesia bebas pasung pada 2014 dan 2019 sulit terwujud.
”Mengatasi pemasungan tidak hanya urusan sektor kesehatan saja, multisektor juga harus terlibat,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansyah.
Mengatasi pemasungan tidak hanya urusan sektor kesehatan saja, multisektor juga harus terlibat.
Skizofrenia sebagai gangguan jiwa berat butuh perhatian serius pemerintah. Selain faktor demografi, skizofrenia memiliki karakter khusus yang berdampak luas terhadap keluarga dan masyarakat.
”Meski hanya seorang yang terkena skizofrenia, dampaknya akan terasa pada seluruh keluarga secara sosial, ekonomi, atau kesejahteraannya,” kata Bagus. Dalam banyak kasus, stres, konflik, hingga perceraian banyak dialami keluarga yang memiliki penderita skizofrenia.
Pengobatan lama
Mereka yang mengidap skizofrenia umumnya membutuhkan pengobatan lama, bahkan seumur hidup. Tanpa keteraturan minum obat, mereka bisa tidak produktif sepanjang hidupnya.
Masalahnya, layanan kesehatan jiwa terbatas. Data tahun 2017 menunjukkan, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa (RSJ), delapan provinsi tidak memiliki RSJ. Sekitar 2 persen rumah sakit umum dan 14 persen puskesmas punya layanan psikiatri. Itu meningkatkan risiko putus minum obat penderita.
Di sisi lain, tenaga kesehatan jiwa di Indonesia sangat terbatas. Pada 2019, Indonesia hanya punya 987 psikiater untuk melayani 269 juta penduduk. Sebanyak 77 persen psikiater ada di Jawa-Bali.
”Untuk menyiasati itu, layanan kesehatan primer di puskesmas dan dokter keluarga perlu diperkuat,” kata Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Agung Frijanto.
Tak hanya psikiater, psikolog klinis yang dimiliki Indonesia baru sekitar 1.100 orang. Jumlah tenaga yang berperan dalam perawatan dan rehabilitasi penderita gangguan jiwa juga terbatas, seperti perawat jiwa, tenaga kerja sosial, dan tenaga terapi okupasi.
Terpenuhinya layanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa itu penting. Namun, paradigma penanganan kesehatan jiwa secara kuratif yang butuh dana besar perlu digeser ke upaya promosi dan pencegahan, termasuk deteksi dini.
”Untuk bisa mendeteksi gangguan jiwa secara dini, kepedulian masyarakat harus dibangun,” kata Bagus. Itu jadi tantangan besar karena masih kuatnya stigma skizofrenia sebagai penyakit akibat kurang iman dan guna-guna. Stigma itu pula membuat banyak panti rehabilitasi berbasis pendekatan agama saja sulit diluruskan.
Stigma juga masih kuat tertanam pada kelompok terdidik dan menengah atas. Situasi itu membuat isu penderita skizofrenia sering dipolitisasi, khususnya menjelang pemilu.
Meski layanan kesehatan jiwa yang memadai penting, psikiater di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Hervita Diatri, mengingatkan, pengobatan saja bagi penderita skizofrenia tidak cukup. Dukungan keluarga dan masyarakat penting untuk merawat dan menjaga mereka agar berdaya, produktif, dan tak mudah kambuh.
Agar penderita skizofrenia berdaya, lembaga rehabilitasi perlu diperbanyak. Namun, menurut Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Edi Suharto, sistem rehabilitasi psikiatri dan sosial belum terintegrasi dan berkesinambungan.
Karena itu, keberadaan balai dan panti rehabilitasi perlu diperbanyak. Saat ini, Kemsos hanya memiliki empat balai rehabilitasi penyandang disabilitas mental. Balai perawatan dan rehabilitasi yang didirikan masyarakat banyak bermunculan, tetapi standar dan kualitas layanannya belum ada. (FAJAR RAMADHAN/DEONISIA ARLINTA/SONYA HELLEN SINOMBOR)