Pemerintah Kaji Strategi Pencegahan Larinya Dana Repatriasi
Pemerintah masih merumuskan strategi antisipasi pembalikan dana repatriasi ke luar negeri. Koordinasi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang mengelola dana repatriasi juga tengah dilakukan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih merumuskan strategi antisipasi pembalikan dana repatriasi ke luar negeri. Koordinasi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang mengelola dana repatriasi juga tengah dilakukan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman kepada Kompas, Rabu (8/10/2019), mengatakan, wajib pajak harus menempatkan dana repatriasi di dalam negeri (holding period) paling singkat selama tiga tahun. Dana repatriasi itu disimpan dan dikelola di perbankan dan lembaga keuangan.
“Mengantisipasi berakhirnya holding period, Kementerian Keuangan termasuk Direktorat Jenderal Pajak terus berkoordinasi dengan gateway (perbankan dan lembaga keuangan) tersebut,” kata Luky.
Pemerintah menggelar amnesti pajak selama sembilan bulan, mulai dari 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Program ini diikuti 965.983 peserta pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun. Dari total dana yang dideklarasikan itu, Rp 146,7 triliun direpatriasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, realisasi repatriasi dalam program amnesti pajak periode I (Juli-September 2016) sebesar Rp 130 triliun, periode II (Oktober-Desember 2016) Rp 10,5 triliun, dan periode III (Januari-Maret 2017) Rp 6,2 triliun.
Wajib pajak harus menempatkan dana repatriasi di dalam negeri (holding period) paling singkat selama tiga tahun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2016 tentang pelaksanaan pengampunan pajak. Mengacu pada aturan itu, holding period dana repatriasi untuk amnesti pajak periode I dan II akan berakhir 31 Desember 2019.
Luky mengatakan, pemerintah terus memantau pergerakan dana repatriasi yang disimpan dan dikelola perbankan dan lembaga keuangan. Sebagian dana itu ditempatkan dalam bentuk ekuitas atau penanaman modal. Penempatan dana repatriasi juga bisa sesuai preferensi pemilik dana, misalnya, surat utang, deposito, dan saham.
“Karena ada klausul kerahasiaan data wajib pajak, maka yang mengetahui informasi pemilik dana hanya Direktorat Jenderal Pajak dan gateway tempat menyimpan dananya,” kata Luky.
Kekhawatiran dana repatriasi kembali ke luar negeri pasca berakhirnya holding period disampaikan berbagai pihak. Hal itu berpotensi terjadi mengingat kondisi perekonomian yang lesu. Pemerintah diminta mengantisipasinya, antara lain dengan menciptakan sejumlah instrumen investasi khusus dan menjaga kondisi perekonomian domestik.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, kunci utama agar dana repatriasi tidak kembali ke luar negeri adalah kondisi ekonomi domestik yang atraktif dan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah optimistis dana repatriasi tetap di dalam negeri karena pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen.
Robert menambahkan, DJP akan memanfaatkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) apabila dana repatriasi kembali ke luar negeri. Dengan AEoI, DJP bisa memantau lokasi penempatan dana di sejumlah negara dan melakukan pertukaran data keuangan.
Kunci utama agar dana repatriasi tidak kembali ke luar negeri adalah kondisi ekonomi domestik yang atraktif dan iklim investasi yang kondusif
DJP per Maret 2019, misalnya, sudah mengirim data atau informasi keuangan ke 54 negara dan menerima data atau informasi keuangan dari 66 negara pada 2018. Sementara tahun ini DJP akan mengirim data ke 81 negara dan menerima dari 94 negara. Dari pertukaran data dan informasi itu, terungkap kekayaan WNI di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun.