UU KPK yang Baru Mengancam Upaya Pemberantasan Korupsi
Menjelang berlakunya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 17 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo belum juga menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang berlakunya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 17 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo belum juga menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Jika tetap tidak diterbitkan, masa depan pemberantasan korupsi menjadi terancam.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyampaikan, kehadiran Dewan Pengawas dalam UU KPK yang baru akan membahayakan kinerja pemberantasan korupsi. Sebab, fungsi penindakan, yakni penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, harus melalui izin dari Dewan Pengawas.
”Dengan adanya Dewan Pengawas, penyadapan akan semakin susah dan kita ragu apakah operasi tangkap tangan (OTT) dapat dilakukan secara efektif atau tidak. Ini membuktikan revisi UU KPK membahayakan kerja pemberantasan korupsi oleh KPK ke depan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Zaenur menilai, OTT melalui penyadapan merupakan cara yang paling efektif dalam membongkar kasus suap korupsi. Sebab, suap dilakukan secara tertutup antara pemberi dan penerima, bukan melalui case building.
Indonesia Corruption Watch pun menganalisis, setidaknya ada sepuluh konsekuensi logis yang berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi jika Perppu KPK tidak segera diterbitkan. Untuk itu, Presiden Jokowi terus didorong agar segera menerbitkan perppu untuk membatalkan UU KPK yang telah disahkan DPR bersama pemerintah.
”Dengan UU KPK yang baru, penindakan kasus korupsi akan melambat karena berbagai tindakan pro justicia harus melalui persetujuan dari Dewan Pengawas. KPK pun tidak lagi menjadi lembaga negara independen karena berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Selain itu, UU KPK hasil revisi akan menambah daftar panjang pelemahan KPK. Sepanjang lima tahun kepemimpinan Jokowi dan Jusuf Kalla, berbagai pelemahan terhadap KPK telah terjadi.
”Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan pimpinan KPK yang sarat akan persoalan, ditambah lagi dengan pembahasan serta pengesahan UU KPK. Akan tetapi, di waktu yang sama, seakan Presiden mengabaikan persoalan tersebut sembari membiarkan pelemahan KPK terus-menerus terjadi,” ujar Kurnia.
Janji Nawacita yang salah satu poinnya adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya akan diingkari Presiden. Jika perppu tidak terbit, publik akan menganggap Nawacita hanya ilusi belaka.
Kemudian, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang kini berada di peringkat ke-89 dari total 180 negara dengan skor 38 dikhawatirkan akan menurun drastis. Iklim investasi juga dapat terhambat karena ketidakpastian hukum dan maraknya praktik korupsi.
Kurnia menyampaikan, jika UU KPK baru tetap diberlakukan, Presiden akan dinilai mengabaikan amanat reformasi pada 1998, yakni pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pun akan hilang.
Lebih jauh, citra Indonesia akan buruk di dunia internasional. Bahkan, United Convention Against Corruption (Uncac) telah mengeluarkan sikap terkait dengan pelemahan KPK yang menilai UU KPK baru akan mengancam prinsip independensi KPK dan bertolak belakang dengan mandat dalam Pasal 6 jo Pasal 36 Uncac.
Pasal itu menyebutkan bahwa setiap negara diharuskan untuk memastikan keberadaan badan antikorupsi yang khusus dalam mencegah dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan independensi yang diperlukan serta mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh dari hal-hal yang tidak semestinya.
”Pernyataan ini dilansir pada 27 September lalu. Setidaknya lebih dari 90 organisasi dunia menyoroti persoalan pelemahan KPK. Tentu akan berdampak buruk bagi citra pemerintah yang selama ini selalu menggaungkan tata kelola pemerintah yang bersih dari korupsi,” tutur Kurnia.
Ke depan, dengan UU KPK baru, capaian program pemerintah akan terhambat karena pada dasarnya kejahatan korupsi menyasar berbagai sektor strategis di Indonesia. Sektor strategis itu mulai dari pangan, infrastruktur, energi dan sumber daya alam, pendidikan, pajak, hingga kesehatan.
Kurnia menyampaikan, dengan kondisi seperti ini harusnya pemerintah memikirkan tentang penguatan KPK. Namun, kondisi saat ini justru bertolak belakang. KPK secara institusi dan kewenangan terlihat sedang dilemahkan oleh DPR dan pemerintah.