Hasil Kejuaraan Dunia Atletik 2019 menjadi tolok ukur bagi PB PASI untuk memperbaiki program pembinaan atlet supaya bisa bersaing lebih ketat di level internasional. Apalagi, tahun depan akan bergulir Olimpiade Tokyo.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
Berpartisipasi di Kejuaraan Dunia Atletik 2019 telah membuka mata bahwa atletik Indonesia masih jauh tertinggal. Dua wakil Indonesia di kejuaraan dua tahunan itu, pelari cepat Lalu Muhammad Zohri dan pelompat jauh putri Maria Natalia Londa, belum bisa mendekati, apalagi menyaingi atlet-atlet elite dunia.
Hasil itu menjadi tolak ukur Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) untuk mempersiapkan atlet lebih baik. Sebab, sejatinya, atlet Indonesia punya potensi untuk terus berkembang dan bersaing di level dunia. Lebih-lebih Zohri, pelari muda itu punya bakat tak kalah hebat dengan pelari-pelari elite dunia. Pelari berusia 19 tahun itu masih bisa terus berkembang jika dibina dengan baik dan terus ditempah dalam kejuaraan-kejuaraan internasional.
Dalam Kejuaraan Dunia ke-17 di Doha, Qatar, 27 September-6 Oktober, Indonesia mengirim Zohri untuk berpartisipasi di nomor lari 100 meter dan Maria di lompat jauh putri. Pada perlombaan 100 meter di Stadion Internasional Khalifa, Doha, 27-28 September, Zohri berada di urutan ke-25 dari 72 pelari perwakilan 51 negara yang akan berpartisipasi.
Dengan deretan hasil impresif sepanjang tahun ini, Zohri yang punya catatan waktu terbaik tahun ini 10,03 detik pun digadang-gadang bisa memberikan kejutan di kejuaraan tersebut. Bahkan, tak sedikit pemerhati olahraga/atlet Indonesia meyakini Zohri akan menjadi orang Asia Tenggara pertama atau orang Asia kesembilan yang bisa berlari di bawah 10 detik.
Namun, ketika tampil di babak keenam kualifikasi pada 27 September, Zohri ternyata hanya berada di urutan keenam dari tujuh pelari dengan waktu 10,36 detik. Secara keseluruhan di kualifikasi, dia hanya berada di uruan ke-35 dari total 45 pelari yang berpartisipasi. Tak hanya gagal menembus waktu di bawah 10 detik, hasil itu membuat dirinya gagal lolos ke babak semifinal.
Pada perlombaan lompat jauh di Stadion Internasional Khalifa, 5-6 Oktober, Maria berada di urutan ke-31 dari 34 daftar pelompat perwakilan 21 negara yang akan berpartisipasi. Dengan hasil lompatan impresif 6,68 meter pada Kejuaraan Nasional Atletik 2019 pada awal Agustus lalu, pelompat berusia 29 tahun itu juga diprediksi minimal lolos dari kualifikasi.
Namun, ketika tampil di grup dua kualifikasi pada 5 Oktober, Maria ternyata hanya berada di urutan ke-13 dari 15 pelompat dengan lompatan terbaik 6,36 meter. Secara keseluruhan di kualifikasi, dia hanya berada di urutan ke-26 dari total 31 pelompat yang berpartisipasi. Hasil itu membuat dirinya gagal lolos ke final.
Secara keseluruhan, hasil yang diraih Zohri dan Maria menambah daftar panjang kegagalan atlet Indonesia melangkah lebih jauh dari kualifikasi. Selama ini, atlet-atlet Indonesia yang ikut Kejuaraan Dunia hanya sampai di penyisihan ataupun kualifikasi.
Jauh dari performa
Penampilan Zohri maupun Maria di Kejuaraan Dunia 2019 jauh di bawah kemampuan normalnya. Sepanjang 2019, Zohri selalu berlari di bawah 10,36 detik di sejumlah kejuaraan yang diikuti. Paling tidak, Zohri berlari 10,20 detik ketika meraih emas di GP Malaysia Terbuka 2019, berlari 10,13 detik ketika meraih perak di Kejuaraan Asia 2019, dan berlari 10,03 detik ketika meraih perunggu di GP Seiko Golden 2019 di Osaka, Jepang.
Andai Zohri bisa berlari pada batas normalnya antara 10,10 detik hingga 10,20 detik, pelari asal Lombok Utara, NTB, itu boleh jadi lolos ke semifinal. Sebab, pada penyisihan, pelari peringkat ke-9 hingga ke-24 yang lolos ke semifinal meraih catatan waktu 10,11 detik hingga 10,23 detik. Bahkan, dia bisa saja lolos ke final karena pelari peringkat terakhir yang lolos ke final asal Kanada, Aaron Brown, hanya membukukan waktu 10,12 detik.
Adapun di Kejuaraan Nasional 2019, Maria selalu bisa melompat lebih dari 6,36 meter. Andai Maria bisa melompat sekitar 6,50 meter hingga 6,60 meter, pelompat asal Denpasar, Bali, itu bisa saja lolos ke final. Sebab, pelompat peringkat ke-9 hingga ke-12 yang lolos ke final meraih lompatan terbaik antara 6,58 meter hingga 6,53 meter.
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (7/10/2019), mengatakan, hasil Kejuaraan Dunia 2019 menjadi tolok ukur mereka untuk menyusun program lebih baik bagi para atlet, terutama untuk Zohri. Paling tidak, mereka memikirkan tiga faktor utama untuk pengembangan atlet, mulai dari menyiapkan program latihan lebih baik, menyiapkan pelatih yang baik, hingga lebih sering mengirim atlet mengikuti kejuaraan internasional.
Setelah kembali dari Doha, Zohri akan beristirahat sejenak. Sementara pengurus PB PASI akan menyusun program latihan baru guna menyambut tahun depan. Mereka akan memilih kompetisi internasional untuk mengasah kemampuan Zohri agar dia bisa berlari menembus waktu di bawah 10 detik dalam Olimpiade Tokyo 2020.
Kejuaraan terbuka level internasional menjadi pilihan realistis untuk Zohri karena untuk ikut Diamond League harus mendapatkan undangan dari IAAF. ”Untuk mendapatkan undangan tersebut, Zohri perlu meningkatkan performanya. Pembuktiannya bisa dilakukan ketika ikut kejuaraan-kejuaraan terbuka internasional tersebut,” ujar Tigor.
Untuk Maria, Tigor menjelaskan, PB PASI patut mencari regenerasinya. Sebab, tidak dimungkiri Maria sudah cukup senior sehingga kemampuannya sudah tidak seoptimal masa mudanya, terutama ketika membukukan rekornas 6,70 meter saat meraih emas SEA Games 2015 Singapura. ”Tapi, mencari regenerasi Maria cukup sulit. Sejauh ini, para yuniornya masih melompat di bawah 6 meter. Mungkin nanti kami mencari atlet lompat jauh baru dari sprinter, seperti Sapwaturrahman (atlet lompat jauh putra elite),” ujarnya.
Jangan sia-siakan bakat
Khusus Zohri, di atas kertas, dia adalah pelari yang punya bakat besar. Pada usianya yang belum genap 19 tahun di GP Seiko Golden pada Mei lalu, pelari kelahiran 1 Juli 2000 itu sudah bisa membukukan waktu 10,03 detik.
Rekor itu sejatinya lebih baik dari pelari tercepat Asia asal China, Su Bingtian. Pada usia 19 tahun, catatan waktu terbaik Su adalah 10,41 detik. Bahkan, Zohri cenderung lebih baik dari pelari terbaik dunia saat ini asal Amerika Serikat, Christian Coleman, sekalipun. Pada usia 19 tahun, catatan waktu terbaik Coleman masih 10,18 detik.
Hanya saja, baik Su maupun Coleman terus mendapatkan program pelatihan yang baik, pelatih berkualitas, hingga sering mendapatkan kesempatan ikut kejuaraan internasional. Untuk itu, mereka bisa terus berkembang. Su akhirnya bisa berlari di bawah 10 detik pada usia 26 tahun, tepatnya dengan waktu 9,99 detik pada tahun 2015. Sementara Coleman bisa berlari di bawah 10 detik pada usia 20 tahun, tepatnya dengan waktu 9,95 detik pada 2016.
Zohri bisa seperti Su ataupun Coleman andai dirinya mendapatkan perlakuan seperti yang diberikan kepada Su dan Coleman. Menurut hasil penelitian psikolog Swedia Anders Ericsson dan rekan dikutip The Conversation, Minggu (12/8/2018), bakat akan membuahkan hasil jika atlet bersangkutan melakukan latihan yang disengaja. Latihan yang disengaja merupakan aktivitas yang sangat terstruktur yang membutuhkan upaya intens dan tidak menyenangkan secara inheren.
Itu bukan tentang seberapa keras latihan dan seberapa lama durasi/jam latihan. Sebaliknya, itu adalah tentang totalitas atlet dalam latihan serta kualitas latihan itu sendiri demi tujuan untuk meningkatkan kinerja atlet bersangkutan. Untuk itu, bakat akan membuahkan hasil sedikitnya setelah 4.000 jam atau 4 tahun latihan disengaja. Namun, secara umum, banyak yang mengatakan bakat membuahkan hasil setelah melakukan 10.000 jam atau 10 tahun latihan disengaja.
Selain itu, atlet bersangkutan juga harus mendapatkan banyak kesempatan berlomba. ”Mungkin, kesempatan berlomba itu tidak memberikan manfaat langsung. Namun, itu akan memberikan pengalaman kognitif dan motorik yang luas guna mendukung atlet melakukan latihan dan berlomba lebih baik di masa mendatang,” tutur konsultan kinerja mental pada Asosiasi Psikologi Olahraga Kanada sekaligus asisten profesor pada Sekolah Media, Universitas Ryerson, Kanada, Nicole W Forrester, dikutip The Coversation.