Demokrasi, Pendengung, dan Jurnalisme Baru
Selamat datang di era banjirnya informasi. Banyak pihak ingin membangun narasi seperti keinginannya dengan tujuan untuk memengaruhi yang lain. Hal ini berdampak pada lahirnya kompetisi tidak sehat di ruang media sosial.
Kontestasi politik dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir diwarnai perang informasi yang semakin sengit. Tiap kelompok berjuang membuat narasi yang bisa menguasai ruang dan persepsi publik. Caranya dengan menyebar informasi agar publik berpihak ke kelompoknya.
Di antara informasi yang disebar tak jarang muncul narasi bohong yang menyesatkan. Meski ada kalanya informasi yang disebar memang benar adanya dan sesuai fakta.
Baik narasi bohong maupun informasi yang sesuai fakta, sengaja disebar di ruang publik seperti media sosial agar publik terpengaruh dan berpihak pada kelompok yang menyebarkan narasi. Pasukan siber pun menjadi pemain penting di perang informasi ini.
Sengitnya perang narasi ini membuat gaduh media sosial. Lantas bagaimana media arus utama yang selama ini menjadi penjaga pintu informasi atas nama publik, bersikap di tengah perang informasi di media sosial?
Beberapa kali keriuhan di media sosial menjadi isu yang dimuat media arus utama seperti dalam kasus informasi soal ambulans yang membawa batu saat demonstrasi mahasiswa di Jakarta beberapa hari lalu. Di media sosial perdebatan bisa berujung pada hinaan ke pribadi seseorang (ad hominem), seperti yang dialami Ismail Fahmi pendiri Drone Emprit Academy, pada Kamis (3/10/2019) malam. Seorang pengguna Twitter dengan akun @kangdede78 berkata kasar kepada Ismail dan menjurus pada hal yang sifatnya personal.
Di luar keributan di media sosial, media arus utama banyak memberitakan apakah informasi soal ambulans yang membawa batu tersebut valid dan sesuai fakta di lapangan.
Adanya keinginan memengaruhi yang lain, membuka peluang beredarnya berita bohong di ruang maya. Per awal Agustus 2018 hingga akhir Mei 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat adanya 2.127 hoaks. Dari jumlah itu, 746 hoaks terkait tema politik. Akibatnya, polarisasi antar warga makin tajam, perdebatan berubah menjadi pertentangan.
Pada titik ini, keberadaan pasukan siber mewarnai keriuhan dunia maya. Selama pasukan siber beradu argumen konstruktif, akan berdampak positif bagi warga. Namun jika perang informasi ini dipenuhi dengan materi kebohongan, masyarakat akan tersesat di dunia maya. Fenomena ini memunculkan para pemilik akun dengan pengikut banyak cenderung diperhatikan. Sementara pakar yang memiliki keahlian akademis semakin tenggelam. Keprihatinan ini diulas Tom Nichols dalam bukunya berjudul The Death of Expertise (2017).
Baca juga : ”Buzzer”, Bisnis Dengungan di Era Digital
Perdebatan ambulans pembawa batu di tengah demonstrasi mahasiswa pekan terakhir September 2019 menjadi contoh menarik. Sejumlah akun di twitter mencuitkan informasi bahwa ada ambulans pembawa batu. Cuitan ini seirama dengan cuitan akun @TMCPoldaMetro, yang kemudian dihapus dari lini masa Twitter. Percakapan tentang ini direkam Drone Emprit, aplikasi pemantau percakaptan di dunia maya.
Pembicaraan tentang ambulans memunculkan #ManaBatunya. Pada 26 September 2019 tagar ini sempat menjadi terpopuler di Twitter dengan 46.400 percakapan. Windo Wibowo di pers.droneemprit.id menulis percakapan dengan tagar #ManaBatunya merupakan respons atas berita bohong mengenai ambulans pembawa batu. Tagar ini seakan menyindir tentang kabar yang menyudutkan para demonstran sekaligus pekerja kemanusiaan untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Karena kabar itu, sebagian orang menuding ini karena ulah pasukan siber. Mereka menyebut bahwa buzzer berusaha mengelabuhi publik dengan berita bohong. Ketua Komisi Etik dan Pengaduan Dewan Pers Arif Zulkifli meminta aparat menertibkan buzzer penyebar berita bohong. Mereka, kata Arif, kadang bekerja dengan menutup kebenaran informasi yang dikabarkan media massa. “Kami harap pihak berwajib segera menindak mereka,” ujar Arif.
Arif tidak menutup kemungkinan bahwa penyampaian informasi salah bisa dilakukan siapa saja, termasuk media massa arus utama. Hal yang menjadi masalah, yakni buzzer kadang membagikan informasi yang belum valid kebenarannya, ditambah lagi identitas mereka anonim sehingga tidak dapat diverifikasi.
Baca juga : Pendengung dan Propaganda Zaman Kini
Aturan untuk buzzer
Merespons permintaan Arif, pegiat media sosial Pepih Nugraha mengkritik balik pemberitaan media arus utama yang menyudutkan buzzer. Pendengung, menurut Pepih, adalah sebuah keniscayaan di era digital. Mereka tidak bisa dihilangkan karena setiap pengguna akun media sosial bisa menyampaikan informasi apa pun. “Menghantam buzzer berarti menghantam kemuskilan. Ini fenomena sosial,” kata Pepih.
Pepih tidak keberatan jika ada desakan untuk menertibkan buzzer. Namun hingga kini aturan mengenai hal itu belum ada. Dia mengingatkan bahwa buzzer juga memberi dampak positif bagi dunia ekonomi kreatif. Menggaungkan sesuatu yang positif, itu tidak ada masalahnya. Karenanya juga tidak masalah jika pendengung di sektor mana pun mendapat imbalan atas pekerjaannya.
Sementara itu, Ulin Yusron, pegiat media sosial yang sering mengunggah konten pro pemerintah melihat adanya stigma negatif buzzer. Upaya menertibkan pegiat media sosial bisa panjang urusannya, sebab di media sosial belum ada kode etik sebagaimana di dunia pers. Kedua hal itu, menurut mantan wartawan ini, tidak bisa dicampuradukkan.
Jika ada satu dua masalah pada mereka, ini tidak berarti keberadaan pendengung harus ditiadakan. Sama halnya dengan oknum media yang tidak bekerja profesional, bukan berakhir dunia pers harus dihapuskan. Menurut Ulin, cuitan pegiat media sosial tidak mungkin menyenangkan semua pihak. Jika ada pihak lain yang memiliki informasi berbeda, bisa melengkapinya. Dia menduga kritikan terhadap buzzer, berangkat dari kelompok tertentu yang suka dengan Presiden Joko Widodo.
Baca juga : Segitiga Sinergi Hadapi Hoaks
Menanggapi fenomena ini, Kepala Staf Presiden Moeldoko menjelaskan ada pendukung Presiden Joko Widodo yang bertindak dengan inisiatifnya sendiri di dunia maya. Mereka ada karena ingin menjaga kehormatan Presiden. Setelah pemilu usai, keberadaan pendengung sebenarnya tidak lagi diperlukan. Presiden lebih membutuhkan dukungan politik yang membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif.
Baca juga : Untuk Siapa Pendengung Bekerja?
Serupa dengan pandangan Moeldoko, Ismail Fahmi menilai pemerintah lebih membutuhkan masukan konstruktif. Pendengung yang menyebarkan berita bohong, menurutnya, bisa membahayakan demokrasi. Di era banjir informasi, pemerintah dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mendengarkan masukan rakyat.
Tidak ada salahnya pemerintah menyediakan insentif bagi warga yang menemukan persoalan dan menawarkan solusi. Insentif itu tidak selalu berbentuk uang maupun barang, melainkan bisa dalam bentuk respons balik ke warga yang menyampaikan masukan. “Itu sudah cukup membuat rakyat bahagia,” kata Ismail.
Sistem untuk mendengarkan masukan rakyat sebenarnya sudah ada seperti lapor.go.id, clue, dan sejenisnya. Sistem tertutup ini bisa dikembangkan lebih terbuka. Obrolan warga tentang masalah tertentu tanpa harus mengirimkan konten masalah itu ke instansi tertentu, secara otomatis menjadi masukan pemerintah.
Ismail menyadari gagasan seperti ini belum tentu ditanggapi positif oleh semua pihak. Aktivitasnya menganalisis percakapan di media sosial saja membuat sebagian orang tidak nyaman. Padahal, kata Ismail, dia Ingin membantu pemerintah sekarang agar mendapat masukan yang sebenarnya dari rakyat.
Baca juga : Propaganda Digital di Panggung Politik
Dampak banjirnya informasi ini sudah diingatkan Bill Kovach dan Tom Rosentiel mengingatkan dalam bukunya berjudul Blur : How to Know What\'s True in The Age of Information Overload (2010). Semakin melimpahnya paparan informasi, masyarakat kian gamang menimang sebuah kebenaran. Sementara media kadang gagal untuk menawarkan solusi kepada mereka.
Di pihak lain, cita-cita pers menjadi penjaga pintu tunggal yang memediasi fakta atas nama publik kian problematik. Jurnalisme mesti berubah dari sekadar sebuah produk, menjadi media yang bisa menjawab pertanyaan konsumen, menawarkan sumber daya, dan menyediaan alat. Media yang diharapkan saat ini juga tidak sekadar menggurui, tetapi menjadi ruang dialog publik. Pada akhirnya, berita bertutur pun tidak lagi cukup.