”Buzzer”, Bisnis Dengungan di Era Digital
Laksana tukang obat yang memancing keramaian di pasar tradisional dengan pertunjukan sulap, di media sosial, ”buzzer” menciptakan kegaduhan agar dilirik oleh warganet.
Semakin gaduh, semakin memancing rasa ingin tahu. Demikian jurus kuno yang telah dipraktikkan sejak dahulu dalam dunia marketing. Laksana tukang obat yang memancing keramaian di pasar tradisional dengan pertunjukan sulap, di media sosial, buzzer menciptakan kegaduhan agar dilirik oleh warganet. Rasa ingin tahu, sebagai obyek intervensi tindakan para buzzer, dipancing dengan berondongan percakapan yang memenuhi lini masa pengguna media sosial.
Awal September lalu, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berhasil mengidentifikasi tiga akun yang diduga membuat konten negatif tentang Papua. Dari identifikasi tersebut, diduga pula tiga akun tersebut memiliki tiga akun buzzer pada lapis pertama dan 34 akun buzzer pada lapis kedua.
Sementara itu, buzzer juga beraksi saat isu revisi UU KPK sedang memanas. Buzzer tersebut menggiring opini masyarakat untuk setuju dengan revisi UU KPK. Modusnya pun unik, yaitu dengan memberikan voucer berupa pulsa ataupun uang elektronik (OVO dan Go-Pay) senilai Rp 50.000 bagi dua warganet terpilih yang membalas dan memublikasikan ulang cuitan buzzer tersebut.
Keberadaan buzzer sesungguhnya tidak asing lagi di ranah media sosial. Penelitian yang diterbitkan oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017 mencatat, di Indonesia, buzzer mulai terlibat dalam peristiwa politik saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012.
Baca juga : Pendengung dan Propaganda Zaman Kini
Berkembangnya buzzer di Indonesia dikaitkan dengan popularitas media sosial Twitter yang semakin meningkat pada saat itu. Karena besarnya peluang dengan tersedianya pasar dan ekosistem digital di media sosial yang mendukung, tak heran buzzer pun menjadi bisnis yang menjanjikan. Di Indonesia, buzzer-buzzer kembali meramaikan media sosial pada Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, hingga Pilpres 2019. Dari momen-momen inilah, istilah buzzer kemudian semakin sering disebut dan semakin berani menunjukkan diri.
Pencipta kegaduhan
Awalnya, buzzer digunakan perusahaan-perusahaan untuk mendongkrak penjualan melalui pengenalan produk-produknya oleh tokoh-tokoh terkenal. Namun, partai-partai politik, politisi, hingga pemerintah pun saat ini memanfaatkan buzzer untuk meningkatkan citranya, memublikasikan programnya, atau hanya sekadar menganalisis isu.
Sebagai istilah, buzzer sering disamakan dengan influencer hingga penyebar hoaks. Akan tetapi, dua hal tersebut dapat dibedakan. Perbedaan utama adalah dalam hal cara kerja. Kedua pekerjaan tersebut sama-sama bertujuan untuk membawa sebuah pesan agar sampai kepada khalayak, bahkan bisa memengaruhi opini khalayak.
Bedanya, seorang buzzer akan menyampaikan pesan secara berulang-ulang sehingga menimbulkan dengungan (buzz: mendengung) agar menarik perhatian lebih banyak khalayak. Karena memanfaatkan dengungan atau keterlibatan semakin banyak orang terhadap isu yang dilontarkan, buzzer lebih banyak menggunakan akun ataupun keaktifan akun itu untuk berinteraksi dalam media sosial. Hal ini dikonfirmasi dalam wawancara The Guardian pada 23 Juli 2018 terhadap seorang buzzer di Indonesia.
Baca juga : Demokrasi, Pendengung, dan Jurnalisme Baru
Menurut pengakuan sang narasumber, tim buzzer-nya disewa untuk kepentingan politik pada 2017 di Jakarta untuk salah satu kandidat gubernur DKI Jakarta. Setiap hari, timnya yang berjumlah 20 orang mampu memublikasikan 2.400 postingan di Twitter. Tim yang dikoordinasi melalui Whatsapp ini diberi konten dan tagar harian untuk dipublikasikan di media sosial. Akun yang digunakan untuk memublikasikan konten itu pun dibuat palsu, sesuai dengan permintaan klien.
Dengan demikian, keaslian dan kredibilitas akun bukan menjadi daya tarik bagi seorang buzzer. Yang utama adalah agar sebuah pesan mendapatkan impresi yang tinggi di media sosial, dibicarakan banyak orang sehingga menarik perhatian. Hal ini selaras dengan salah satu pendapat Tommy F Awuy dalam tulisannya di Kompas (16 Januari 2017).
Dalam tulisannya, Tommy F Awuy mengingatkan bahwa buzzer-buzzer ini tidak hanya akun-akun media sosial yang memiliki banyak pengikut atau yang ia sebut sebagai buzzer selebritas. Buzzer dadakan tanpa identitas yang tidak dikenal pun mampu meramaikan warganet dengan informasi-informasi yang menarik sampai memancing emosi.
Mereka lebih berani mencari perhatian dengan bahasa makian, lucu, iba, dan optimistis. Tak jarang, mereka juga menggunakan berita hoaks untuk melancarkan tujuannya. Melalui bahan gambar, video, foto, dan meme, mereka menyebarkan konten-konten yang mengambil perhatian masyarakat.
Baca juga : Untuk Siapa Pendengung Bekerja?
Di sisi lain, influencer lebih menekankan kredibilitas akun sang influencer untuk meyakinkan khalayak. Semakin banyak pengikut dan mendapatkan kepercayaan tinggi, semakin besar pula efek pengaruh dari sang influencer dalam menyampaikan pesan.
Karena menjual daya tarik dan kredibilitas dirinya, influencer tak perlu berkali-kali menyampaikan pesan untuk menghasilkan pengaruh pada khalayak. Influencer cukup menyampaikan satu atau dua kali saja pesan untuk memengaruhi para pengikutnya. Ditambah keahlian mengolah konten, harapannya, pesan yang disampaikan juga dapat mengubah pandangan orang lain.
Dengan tersedianya pasar dan ekosistem digital di media sosial yang mendukung, tak heran buzzer pun menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Lingkup pekerjaan buzzer pun tak lagi terbatas dalam mengiklankan sebuah produk, tetapi juga masuk ke ranah politik. Bahkan, layanan buzzer telah berani terang-terangan mengiklankan diri hingga akhirnya telah disebut sebagai industri.
Karakteristik ”buzzer”
Dalam kerangka industri, karakter buzzer dapat dilihat dalam beberapa hal. Penelitian CIPG di atas menampilkan empat karakteristik seorang buzzer. Buzzer memiliki jaringan yang luas. Dengan modal jaringan yang luas, berbagai informasi penting, bahkan informasi kunci, dapat diperoleh. Informasi ini merupakan salah satu modal bagi buzzer untuk mulai membangun opini.
Modal keluasan jaringan tersebut terutama ditampakkan dalam luasnya pergaulan dan kenalan di dunia nyata. Walaupun yang lebih dibutuhkan adalah keaktifan dan keterlibatan buzzer dalam menciptakan percakapan dengan banyak akun, banyaknya pengikut di dunia maya bisa memberikan nilai tambah.
Jaringan juga menjadi penting karena buzzer sering kali harus meminta bantuan akun lain untuk ikut mengamplifikasi narasi atau opini yang sedang dimainkan. Dengan dukungan berbagai akun aktif dan memiliki banyak pengikut, diharapkan bahwa sebuah isu berhasil menjadi dengungan yang menggelitik rasa ingin tahu.
Selain jaringan yang luas, seorang buzzer juga dikarakteristikkan dengan kemampuannya memproduksi konten. Bisa jadi, seorang buzzer bekerja dalam tim sehingga memiliki pembagian kerja yang jelas. Ada anggota tim yang bertugas untuk memproduksi konten, ada juga anggota tim yang bertugas untuk mendistribusikannya dalam berbagai kesempatan.
Ketika sudah ada pembagian tugas dalam tim, buzzer juga dikarakterkan memiliki kemampuan persuasi. Kemampuan ini digunakan untuk mendistribusikan konten, melakukan perlawanan isu, ataupun untuk akhirnya memengaruhi khalayak.
Karakter lain yang dimiliki oleh buzzer adalah motif tindakannya. Buzzer melakukan pengenalan ataupun penggiringan konten tertentu karena digerakkan oleh motif tertentu. Di sini, yang ditekankan adalah motif ekonomi, sesuai dengan kemauan pemesan.
Perekrutan ”buzzer”
Sebagai sebuah tim dalam sebuah industri, buzzer yang bekerja dalam sebuah tim ataupun melalui agen komunikasi pun direkrut layaknya pekerja profesional melalui sebuah seleksi. Berdasarkan temuan CIPG, awalnya, akun-akun media sosial yang dinilai aktif dipantau. Beberapa yang memenuhi kriteria kemudian dimasukkan ke dalam grup Whatsapp dan Telegram. Di situlah seleksi utama dilakukan.
Keaktifan para pemilik akun ini dinilai dalam grup. Pemilik akun yang paling aktif akan diseleksi kembali dalam grup Whatsapp dan Telegram lainnya. Masih dengan cara yang sama, keaktifan pemilik akun menjadi indikator penilaian. Dari seleksi tersebut, pemilik akun yang paling aktif akan lolos ke tahap selanjutnya, yaitu pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer. Dari pertemuan tersebut, koordinator buzzer memutuskan pemilik akun yang terpilih untuk menjadi buzzer.
Selain cara itu, pendekatan langsung ke buzzer dilakukan agen komunikasi melalui pencarian dan pemetaan buzzer-buzzer yang telah aktif. Platform seperti Sociobuzz dan Go-Viral pun digunakan untuk membantu agen menemukan buzzer-buzzer.
Selain itu, dibuka juga lowongan pekerjaan buzzer oleh agen atau biro komunikasi untuk menemukan buzzer yang sesuai. Jika kita mengetikkan kata kunci ”lowongan pekerjaan buzzer” pada mesin pencarian Google akan muncul banyak lowongan pekerjaan yang terkait.
Namun, dalam pencarian tersebut, tidak semua lowongan pekerjaan yang dibuka terang-terangan menyebutkan posisi buzzer sebagai pekerjaan yang ditawarkan. Posisi pekerjaan yang ditawarkan lebih disebut sebagai spesialis media sosial dan pemasaran digital.
Alur kerja
Seperti digambarkan oleh penelitian CIPG di atas, setidaknya ada dua jenis klien yang menggunakan kemampuan para buzzer. Pertama adalah perusahaan yang ingin mempromosikan produk untuk penjualan. Yang kedua adalah partai politik atau tokoh politik dengan tujuan sama, yaitu mempromosikan diri dan mendongkrak popularitas, terutama jelang masa-masa pesta demokrasi.
Mirisnya, sering kali klien juga meminta buzzer untuk menyebarkan berita hoaks hingga melemparkan isu-isu buruk dan komentar yang menjatuhkan rival. Karena itu, buzzer pun menjual layanan untuk menyerang balik atau bertahan atas isu-isu negatif di media sosial yang menyerang kliennya.
Proses jual-beli jasa buzzer pun diatur apik dan rapi. Berdasarkan hasil penelitian CIPG, klien-klien yang membutuhkan buzzer dihubungkan oleh agen atau biro komunikasi sebagai perantara. Perantara ini bertugas menerima permintaan dan mengomunikasikan ketersediaan jasa kepada klien.
Perantara ini juga bertugas menawarkan dan memutuskan tarif proyek bersama klien. Perantara juga mewadahi para buzzer melalui akun-akun yang telah dibuat. Di dalam organisasinya, agen atau biro komunikasi memiliki pemantau media, penulis konten, dan tim buzzing internal.
Tim buzzing internal ini dapat bekerja dalam tim dengan koordinator buzzer yang mengatur pekerjaan ataupun bekerja secara individual. Jumlah anggota dalam tim dapat mencapai 20 orang.
Tim dalam kisaran 20 orang tersebut digolongkan sebagai tim dengan skala kecil. Hasil penelitian Oxford Internet Institute, The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, salah satunya mengategorikan pasukan siber yang memanipulasi media sosial dalam skala besar, menengah, kecil, dan mini. Secara umum, kelompok-kelompok di Indonesia dikategorikan sebagai kelompok dengan skala kecil.
Skala kecil di sini berarti lima hal. Pertama, kecil dalam hal jumlah anggota tim. Kedua, kecil dalam arti jangkauan aktivitasnya hanya mencakup wilayah dalam negeri tanpa kerja sama dengan pihak luar.
Ketiga, durasi kegiatannya terbatas dalam kurun waktu gelaran peristiwa politik tertentu, seperti pemilu, tetapi kemudian tidak melakukan aktivitas lagi hingga peristiwa politik berikutnya. Keempat, kecil dalam arti variasi strategi yang digunakan terbatas dengan bots dan amplify disinformation. Kelima, kecil juga berarti bahwa nilai kontrak dari aktivitas pasukan siber ini berada dalam kisaran Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.
Baca juga : Tarung Tagar Kekuatan Antikorupsi
Strategi menggiring isu
Setelah mendapatkan proyek, seorang buzzer akan menetapkan strategi dalam menyampaikan pesan di media sosial. Penelitian CIPG di atas menyebutkan minimal tiga strategi yang digunakan buzzer, terutama dalam ranah politik.
Buzzer akan menggunakan tagar yang unik untuk membangun percakapan. Isu yang digunakan bisa saja memang sedang banyak dibicarakan oleh warganet sehingga buzzer akan mendompleng isu tersebut. Akan tetapi, bisa saja buzzer merekayasa isu baru sebagai materi yang akan disebarkan.
Selain menggunakan tagar yang unik, buzzer juga dapat memanfaatkan kredibilitas dari produsen konten lain, entah pesohor ataupun situs berita tepercaya. Tujuannya, isu yang disebarluaskan akan lebih didengarkan dan diikuti jika disampaikan oleh orang atau media yang tepercaya. Di sini, keahlian buzzer untuk mencuplik berbagai pendapat orang dan media tepercaya menjadi kunci untuk mendomplengkan pesan yang ingin disampaikan.
Strategi lain yang juga digunakan oleh buzzer adalah menyebarkan konten dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki, entah melalui berbagai grup yang diikuti di berbagai platform, seperti Whatsapp, Facebook, dan Telegram. Dengan berbagai strategi tersebut, diharapkan isu yang dibawa mampu dibicarakan oleh banyak orang dan memancing rasa ingin tahu.
Ukuran keberhasilan
Dengan impresi atau keterlibatan yang semakin besar, tujuan pertama buzzer untuk memancing rasa ingin tahu khalayak dapat terwujud. Akan tetapi, memancing rasa ingin tahu warganet hanyalah tahap pertama dari strategi yang dimainkan oleh buzzer.
Tujuan selanjutnya yang lebih penting adalah bahwa mereka yang telah terpancing untuk ikut di dalam arus besar isu yang dimainkan oleh para buzzer dapat terpengaruh, bahkan mengikuti narasi yang sedang dimainkan.
Di titik inilah, keberhasilan buzzer telah paripurna. Artinya, keberhasilan buzzer yang utama diukur dari perubahan opini atau paradigma orang tentang produk atau isu tertentu. Justru di sinilah letak problematika buzzer, di sisi konten.
Ketika konten yang ”digarap” oleh buzzer merupakan iklan layanan masyarakat ataupun sebuah produk tertentu, kerja buzzer akan banyak dinikmati hasilnya oleh semakin banyak orang. Akan tetapi, ketika konten yang dilemparkan oleh buzzer merupakan berita hoaks, menjatuhkan, memojokkan seseorang, efek kegiatan buzzer bisa menimbulkan keresahan di dunia nyata. Bahkan, efek tindakan buzzer dapat menghasilkan kerusuhan dan perpecahan. Hal ini menguak wajah ganda media sosial sebagai ekosistem para buzzer.
Di awal kemunculannya, media sosial digembar-gemborkan sebagai kekuatan bagi kebebasan dan demokrasi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, media sosial juga menampakkan wajahnya yang malah memperkuat disinformasi, hasutan untuk kekerasan, hingga menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan lembaga-lembaga demokrasi. Inilah sebabnya, buzzer pun perlu diatur. (LITBANG KOMPAS)