”Holding Period” Segera Berakhir, Dana Repatriasi Amnesti Pajak Berpotensi Kembali ke Luar Negeri
Dana repatriasi dari hasil amnesti pajak berpotensi kembali ke luar negeri. Hal itu mesti diantisipasi dengan menciptakan instrumen investasi yang beragam dan menarik.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana repatriasi dari hasil amnesti pajak berpotensi kembali ke luar negeri. Hal itu mesti diantisipasi dengan menciptakan instrumen investasi yang beragam dan menarik.
Pemerintah menggelar amnesti pajak selama sembilan bulan, mulai dari 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Program ini diikuti 965.983 peserta pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun. Dari total dana yang dideklarasikan itu, Rp 146,7 triliun direpatriasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, realisasi repatriasi dalam program amnesti pajak periode I (Juli-September 2016) sebesar Rp 130 triliun, periode II (Oktober-Desember 2016) Rp 10,5 triliun, dan periode III (Januari-Maret 2017) Rp 6,2 triliun.
Wajib pajak harus menempatkan dana repatriasi di dalam negeri (holding period) paling singkat selama tiga tahun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141 Tahun 2016 tentang pelaksanaan pengampunan pajak. Mengacu pada aturan itu, holding period dana repatriasi untuk amnesti pajak periode I dan II akan berakhir 31 Desember 2019.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo yang dihubungi di Jakarta, Selasa (8/10/2019), mengatakan, arus keluar dana repatriasi setelah berakhirnya holding period mesti diantisipasi. Dana repatriasi berpotensi kembali ke luar negeri mengingat kondisi perekonomian domestik yang lesu.
”Kalau serentak dana repatriasi ke luar negeri lagi, itu (akan menciptakan) arus modal keluar. Dampaknya bukan sekadar nominal, tetapi signal yang kurang baik bagi calon investor,” kata Prastowo.
Arus keluar dana repatriasi secara signifikan berpotensi mengganggu stabilitas rupiah mengingat pasar keuangan Indonesia yang masih dangkal. Pembalikan dana repatriasi ke luar negeri juga akan memengaruhi persepsi investor global. Untuk itu, pemerintah mesti mengendalikan dana repatriasi jelang holding period berakhir.
Menurut Prastowo, ada berbagai skema untuk mencegah pembalikan dana repatriasi ke luar negeri. Di sejumlah negara, misalnya, dana repatriasi dijadikan sebagai dana abadi atau national trust fund. Dana repatriasi dikelola dan diinvestasikan untuk memperkuat fundamen pasar keuangan domestik.
Kepastian hukum
Penciptaan beragam instrumen investasi yang menarik juga mesti dibarengi iklim bisnis yang kondusif dan peningkatan kepastian hukum. Pemerintah harus melanjutkan reformasi perpajakan untuk menjaga kepercayaan wajib pajak atau calon investor. Dengan cara itu, risiko pembalikan dana repatriasi ke luar negeri bisa diperkecil.
”Skema untuk mencegah dana repatriasi ke luar (outflow) ada bermacam-macam. Namun, yang saat ini paling mungkin dilakukan adalah menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan meningkatkan kepastian hukum,” ujar Prastowo.
DJP menyebutkan, kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun. Informasi itu diperoleh dari implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) sejak tahun 2018.
Berdasarkan data DJP, kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun.
Temuan DJP dinilai masih jauh dari potensi. Lembaga kajian McKinsey, misalnya, melaporkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun. Adapun data yang dilansir Credit Suisse Global dan Alianz Global Wealth Report menyebutkan, nilainya mencapai Rp 11.125 triliun.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, kunci utama agar dana repatriasi tidak kembali ke luar negeri adalah kondisi ekonomi domestik yang atraktif dan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah optimistis dana repatriasi tetap di dalam negeri karena pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen.
Robert menambahkan, DJP akan memanfaatkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) apabila dana repatriasi kembali ke luar negeri. Dengan AEoI, DJP bisa memantau lokasi penempatan dana di sejumlah negara dan melakukan pertukaran data keuangan.
DJP per Maret 2019, misalnya, sudah mengirim data atau informasi keuangan ke 54 negara dan menerima data atau informasi keuangan dari 66 negara pada 2018. Sementara tahun ini DJP akan mengirim data ke 81 negara dan menerima dari 94 negara. Dari pertukaran data dan informasi itu, terungkap kekayaan WNI di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun.