Universitas Indonesia memprotes berbagai aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat maupun konflik horizontal akhir-akhir ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Universitas Indonesia memprotes berbagai aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat maupun konflik horizontal akhir-akhir ini. Protes ini diekspresikan melalui pertunjukan musik dan puisi ”Simfoni dan Puisi untuk Satu Indonesia” di Kampus UI di Depok, Jawa Barat, Senin (7/9/2019).
Gagasan ini, menurut Rektor UI Muhammad Anis dalam pembukaan ”Simfoni dan Puisi untuk Satu Indonesia”, adalah untuk menunjukkan bahwa sikap protes bisa ditampilkan dalam berbagai wujud, tidak hanya berupa aksi turun ke jalan. ”UI mengkhawatirkan sentimen di masyarakat yang saling menuduh dan bisa membawa bangsa pada perpecahan. Kami mengimbau agar pemerintah serta sipil mau bergandengan tangan dan bersatu,” ujarnya.
Pertunjukan musik dan puisi ini menampilkan sastrawan sekaligus Guru Besar Sastra UI Sapardi Djoko Damono serta para pemusik yang merupakan alumni UI, seperti Elfonda Mekel, The Kadri Jimmo, dan Chaseiro. Ada pula penyanyi Dira Sugandi.
Sapardi membawakan puisinya yang berjudul ”Kemerdekaan Itu”. Karya tersebut menjelaskan bahwa kemerdekaan terletak ketika individu melakukan hal-hal kecil dan sederhana dengan kebebasan, kedamaian, dan sukacita. Ia bebas mengekspresikannya seorang diri, berdua, ataupun beramai-ramai tanpa perlu merasa ketakutan.
Kemerdekaan terletak ketika individu melakukan hal-hal kecil dan sederhana dengan kebebasan, kedamaian, dan sukacita.
Dalam kesempatan itu, UI melalui perwakilan rektorat, Ikatan Alumni, Badan Eksekutif Mahasiswa, Majelis Wali Amanat, dan Dewan Guru Besar mengutarakan pernyataan sikap yang berisi UI menghargai berbagai perbedaan pendapat di Indonesia. Perguruan tinggi ini mendukung langkah konstitusional, dialogis, dan konstruktif sebagai solusi masalah serta mengajak semua pihak mengutamakan persatuan Indonesia ketika mengambil kebijakan.
Ingatan kolektif
Dosen Filsafat UI, Tommy F Awuy, menjelaskan, falsafah negara Bhinneka Tunggal Ika sukar dipraktikkan secara menyeluruh karena adanya ingatan kolektif masyarakat terkait berbagai trauma yang terjadi. ”Sejak era pemerintahan Soekarno terjadi berbagai konflik, salah satu contohnya adalah peristiwa G30S PKI. Kemudian, pada masa pemerintahan Orde Baru juga terjadi banyak pembungkaman ekspresi. Bahkan, setelah Reformasi pun negara masih menghadapi berbagai konflik horizontal seperti di Sampit, Ambon, dan Poso,” paparnya.
Ia menjelaskan, peristiwa-peristiwa traumatis ini hanya diselesaikan secara formal administratif. Langkah ini memang tuntas bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. Akan tetapi, penyelesaian formal tidak menggubris luka yang tersimpan di dalam hati masyarakat. Luka ini yang menimbulkan ingatan kolektif dan perlahan menghasilkan sentimen terhadap kelompok etnis, agama, ataupun golongan tertentu yang ketika dipantik pada saat-saat genting bisa menyulut api pertikaian.
Peristiwa-peristiwa traumatis hanya diselesaikan secara formal administratif. Penyelesaian formal ini tidak menggubris luka yang tersimpan di dalam hati masyarakat.
Sejatinya, ingatan kolektif yang menghadirkan emosi negatif ini bisa disembuhkan. Caranya memang berproses dan membutuhkan waktu tidak sebentar, tetapi bisa dicapai apabila dilakukan dengan tekun. Langkah pertama yang harus diterapkan adalah melakukan rekonsiliasi, yaitu mempertemukan semua golongan etnis, agama, pemerintah, dan aparat penegak hukum terkait untuk saling meminta maaf.
”Masalahnya, dari dulu rekonsiliasi tidak pernah bisa tercapai. Konotasi dalam budaya kontemporer masyarakat Indonesia adalah meminta maaf sama dengan mengakui kesalahan. Setiap pihak tidak ada yang mau disalahkan ataupun merasa bersalah sehingga tidak satu pun mau meminta maaf,” kata Tommy.
Padahal, prinsip meminta maaf lebih daripada sekadar satu pihak mengaku bersalah dan pihak lain memaafkannya. Inti dari rekonsiliasi adalah semua pihak bersepakat untuk saling menghargai dan berkomitmen meredakan tensi yang ada di masyarakat. Pada saat yang sama juga berjanji membangun komunikasi yang jujur, terbuka, tidak mendiskriminasikan kelompok tertentu, dan mengajari generasi penerus hal-hal yang dapat dipetik dari pengalaman buruk tersebut.
Atasi kesenjangan
Para mahasiswa yang hadir di acara tersebut mengingatkan pemerintah bahwa negara tidak sedang dalam kondisi yang baik. ”Buktinya, berbagai rancangan undang-undang yang mengandung pasal karet dan bisa berakibat buruk bagi warga negara yang mengekspresikan pendapat malah disetujui di dalam rapat DPR. Justru, mahasiswa memprotes bukannya karena antipemerintah, tetapi mengingatkan bahwa subyek hukum yang harus diperhatikan adalah rakyat,” kata Nisrina Widyasanti (22), mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI.
Sementara itu, teman Nisrina, Rahma Dwifa Sari, yang sama-sama dari FKM UI menuturkan, berbagai konflik yang terjadi, salah satu yang terbaru di Wamena, Papua, berusaha memancing masyarakat untuk saling mendiskreditkan. Padahal, sebenarnya masalah yang utama ialah adanya kesenjangan sosial yang tidak membaik.
”Baik masyarakat ataupun pemerintah semestinya menghiraukan fakta kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik ini. Jangan cuma semua peristiwa diselesaikan lewat pendekatan keamanan. Masyarakatnya yang harus diobati,” ujarnya.