Pemindahan Ibu Kota: Permasalahan Lingkungan Dipetakan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memetakan berbagai masalah di lokasi calon ibu kota di Kalimantan Timur sebagai rujukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Senin (1/10/2019) di Balikpapan.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memetakan berbagai masalah di lokasi calon ibu kota di Kalimantan Timur sebagai rujukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Senin (1/10/2019) di Balikpapan. Selain permasalahan tumpang tindih status tanah, keanekaragaman hayati di Teluk Balikpapan juga menjadi perhatian.
KLHK mengadakan diskusi kelompok terarah yang dihadiri berbagai perkumpulan adat di Kaltim, kepala desa di Penajam Paser Utara, dan aktivis lingkungan. Diskusi itu bertajuk Strengthening Forest Area Planning and Management in Kalimantan”.
Ketua Harian Persekutuan Dayak Kalimantan Timur Marten Apuy mengatakan, terdapat beberapa masalah yang ada di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, yang menjadi calon lokasi ibu kota negara. Banyak lahan yang status kepemilikan dan izinnya tumpang tindih antara perusahaan dan masyarakat.
“Kami pada dasarnya mengapresiasi pemindahan ibu kota, tetapi karena belum ada informasi yang jelas di mana lokasinya, masyarakat jadi khawatir. Sebab, masih ada beberapa status lahan yang belum jelas,” kata Marten.
Presiden Jokowi mengumumkan wilayah yang paling cocok menjadi lokasi ibu kota baru adalah perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Teluk Balikpapan diprediksi akan menjadi perairan yang sibuk dan terjadi banyak pembangunan di sana. Sebab, akses ke Penajam Paser Utara lebih mudah diakses melalui Teluk Balikpapan, yang saat ini menjadi tempat nelayan mencari ikan dan lalu lalang kapal penumpang dan barang.
Kami pada dasarnya mengapresiasi pemindahan ibu kota, tetapi karena belum ada informasi yang jelas di mana lokasinya, masyarakat jadi khawatir. Sebab, masih ada beberapa status lahan yang belum jelas, kata Marten
Ketua Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB), Husen, menghawatirkan akan adanya penurunan kualitas Teluk Balikpapan yang memiliki keanekaragaman hayati dan potensial menghidupi masyarakat di sekitarnya. Di Teluk Balikpapan bagian utara, terdapat Hutan Lindung Sungai Wain. Di sana terdapat 33 jenis anggrek dan 1.007 spesies pohon.
FTPB mencatat, setidaknya 170 kilometer persegi hutan mangrove primer belum berstatus dilindungi. Di sana menjadi tempat hidup 10 jenis primata, termasuk bekantan (Nasalis larvatus). Selain itu, terdapat empat jenis mamalia laut di Teluk Balikpapan, salah satunya pesut yang diperkirakan tinggal 100 ekor.
“Kami fokus perlindungan teluk, menjadikan Teluk Balikpapan sebagai kawasan konservasi yang bisa mewadahi berbagai kepentingan nelayan, biodiversitas, konservasi, sosial, budaya, dan ekonomi,” kata Husen.
Ia mengatakan, Teluk Balikpapan memiliki fungsi penting sebagai daya dukung dan daya tampung lingkungan, layanan fungsi alam, dan penanggulangan bencana. Selain itu, kawasan hijau Teluk Balikpapan dinilai mampu berkontribusi untuk menekan perubahan iklim, menjadi kawasan ekosistem esensial, serta potensi energi dan ekonomi berkelanjutan.
Ada juga pihak-pihak yang mengklaim tanah dari ormas atau individu. Itu nanti perlu diperjelas, harus dilihat kasus per kasus di daerah masing-masing. Itu kami catat dan akan sampaikan ke Menteri LHK. Kami ingin membuat suatu kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat adat, transmigrasi, atau pendatang, kata Hanni.
Koridor satwa
Saat ini, tengah dibangun Jembatan Pulau balang yang menghubungkan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Ketua Jaringan Advokat Lingkungan Hidup Hamsuri menyarankan agar tidak membangun jalan antara Mentawir dan Pulau Balang. Tujuannya, sebagai koridor satwa agar antara hutan daratan dan pesisir tidak terputus.
“Jalan akses ke Pulau Balang yang melewati Sungai Puda, Tengah, Berenga, dan Tempadung, sebaiknya dibangun jalan layang dengan tujuan tidak mengganggu koridor satwa yang tersisa,” ujar Hamsuri.
Staf Khusus Menteri LHK Bidang Koordinasi Jaringan LSM dan Analisis Dampak Lingkungan Hanni Adiati mengatakan, pemetaan masalah ini dilakukan agar penyusunan kajian lingkungan hidup strategis tepat sasaran.
Berbagai potensi konflik dan keresahan masyarakat ditampung untuk disampaikan ke Menteri LHK. Jika undang-undang pemindahan ibu kota sudah siap, diharapkan berbagai masalah sudah selesai dan bisa ditampung dalam KLHS.
“Ada juga pihak-pihak yang mengklaim tanah dari ormas atau individu. Itu nanti perlu diperjelas, harus dilihat kasus per kasus di daerah masing-masing. Itu kami catat dan akan sampaikan ke Menteri LHK. Kami ingin membuat suatu kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat adat, transmigrasi, atau pendatang,” kata Hanni.