Pemasungan secara tegas dilarang karena melanggar hak asasi manusia. Namun, praktik itu masih ditemui di masyarakat. Jumlahnya mencapai 31,5 persen dari proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemasungan secara tegas dilarang karena melanggar hak asasi manusia. Namun, praktik itu masih ditemui di masyarakat. Jumlahnya mencapai 31,5 persen dari proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa. Untuk itu, perlu ada strategi komprehensif dan komitmen semua sektor kepentingan.
Pemerintah telah menargetkan Indonesia Bebas Pasung pada 2019. Sebelumnya, pemerintah pernah menetapkan target pada 2014, tetapi tidak berhasil sehingga diundur menjadi tahun 2019. Namun, dengan angka pemasungan yang masih tinggi, target itu dinilai sulit dicapai.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansyah, saat dihubungi, Minggu (6/10/2019), mengatakan, praktik pemasungan yang masih ditemui di Indonesia sebagian besar dipengaruhi faktor ketidaktahuan warga dalam menangani orang dengan gangguan jiwa. Selain itu, akses layanan kesehatan jiwa dan tenaga ahli yang terbatas juga memengaruhi kondisi ini.
”Mengatasi masalah pemasungan bukan hanya pihak kesehatan. Multisektor harus terlibat dalam proses pengentasan penderita dari pasung. Untuk itu, sejak 2016, pemerintah dari lintas kementerian dan lembaga menyatakan komitmen dalam nota kesepahaman untuk mempercepat Indonesia bebas pasung,” katanya.
Nota kesepahaman yang disepakati pada 2016 itu melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Polri, Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan, dan pemerintah daerah. Setiap institusi memiliki tanggung jawab masing-masing untuk menangani masyarakat yang dipasung dan terlantar. Dengan kerja sama ini, program yang dijalankan diharapkan bisa terintegrasi.
Dari kesepahaman itu, Kementerian Kesehatan bertanggung jawab memastikan kebutuhan layanan kesehatan seperti obat dan tenaga kesehatan tersedia. Kementerian Sosial pun harus bisa memastikan pasien gangguan jiwa yang telah pulih dan kembali ke masyarakat mendapat lapangan kerja yang mumpuni sehingga bisa produktif dan tak ada lagi stigma bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak berdaya.
Namun, komitmen dari pemerintah daerah untuk menuangkan program itu ke dalam peraturan daerah masih kurang. Padahal, program yang telah dicanangkan di tingkat pusat baru bisa diselenggarakan jika sudah ada aturan turunan yang dibentuk pemerintah daerah.
”Kita tetap optimistis Indonesia Bebas Pasung bisa dicapai dalam waktu dekat. Masalah pasung ini kompleks karena bergantung pada faktor penunjang lain seperti akses transportasi ke layanan kesehatan terjangkau, beban ekonomi masyarakat, serta edukasi masyarakat, terutama keluarga, dalam menangani pasien dengan gangguan jiwa,” kata Fidi.
Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa berat sebesar 7 persen. Jumlah ini tidak berbeda dengan proporsi pada tahun 2013. Dari jumlah ini, cakupan pengobatan pada penderita gangguan jiwa berat juga rendah. Masih ada sekitar 15 persen pasien yang tidak berobat.
Dari 85 persen pasien yang berobat, 51 persen di antaranya tidak rutin minum obat. Beberapa alasan pasien tidak rutin minum obat, antara lain, merasa sudah sehat, tidak rutin berobat, tidak mampu membeli obat rutin, dan merasa dosis obat tidak sesuai.
Psikiater Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, Lahargo Kembaren, menilai, akses layanan kesehatan jiwa yang masih terbatas menjadi faktor utama penyebab terapi pada pasien gangguan jiwa tidak optimal. Ia mengistilahkan kondisi saat ini seperti revolving door atau pintu putar.
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kini memungkinkan adanya rujuk balik dari rumah sakit ke puskesmas bagi pasien yang kondisinya terkontrol. Sayangnya, kualitas dan kompetensi puskesmas dalam melayani kesehatan jiwa belum maksimal.
”Pasien yang kondisinya sudah baik di rumah sakit bisa kambuh kembali karena tidak terlayani optimal di puskesmas dan harus kembali ditangani di rumah sakit. Beginilah seterusnya seperti revolving door. Kita harus putus rantai masalah ini dengan memperkuat fungsi komunitas di masyarakat,” ujar Lahargo.
Berbasis masyarakat
Menurut dia, pusat kesehatan jiwa masyarakat bisa menjadi solusi mengatasi terbatasnya akses masyarakat pada layanan kesehatan jiwa. Dengan begitu, intervensi yang diberikan bisa terfokus dan komprehensif, mulai dari layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Melalui pusat kesehatan jiwa berbasis masyarakat, pemerintah daerah bisa menyiapkan kader-kader yang siap menangani pasien-pasien dengan gangguan jiwa di wilayahnya. Untuk mencapai kondisi yang ideal membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Meski begitu, tindakan ini harus segera dimulai karena faktor risiko kesehatan jiwa semakin besar pada masa depan.
Terkait dengan tidak adanya obat psikotik seperti terjadi di Puskesmas Kadupandak Cianjur, Fidi memaparkan, masalah ini bukan karana stok obat yang kosong. Obat psikotik masih tersedia di sejumlah rumah sakit, tetapi memang tidak dapat diakses di puskesmas tertentu.
”Skema rujuk balik yang berjalan saat ini perlu ditata ulang. Obat yang didapatkan oleh pasien di rumah sakit, stoknya bisa tidak tersedia di puskesmas. Meski begitu, puskesmas tentu tetap memiliki obat dengan fungsi yang hampir sama meski spesifikasinya berbeda dari obat di rumah sakit. Untuk sementara, pasien bisa mengonsumsi obat itu agar tidak ada kondisi putus obat,” katanya.