Kebijakan Percepatan Restitusi Belum Dorong Penerimaan Pajak
Percepatan restitusi turut memengaruhi anjloknya penerimaan pajak sepanjang tahun 2019. Kebijakan restitusi mestinya dibarengi peningkatan basis data untuk mendeteksi sumber-sumber penerimaan baru.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan restitusi turut memengaruhi anjloknya penerimaan pajak sepanjang tahun 2019. Kebijakan restitusi mestinya dibarengi peningkatan basis data untuk mendeteksi sumber-sumber penerimaan baru. Jika tidak, potensi kekurangan penerimaan pajak atau shortfall berpotensi membengkak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak per Agustus 2019 sebesar Rp 801,16 triliun atau 50,78 persen dari target APBN, yang sebesar 1.577,56 triliun. Realisasi penerimaan pajak pada Agustus 2019 hanya tumbuh 0,21 persen dibandingkan Agustus 2018.
Pertumbuhan penerimaan pajak terus melemah sejak awal tahun. Selain kondisi ekonomi yang lesu, perlambatan penerimaan pajak dipengaruhi percepatan restitusi. Secara total restitusi pajak tumbuh 32 persen dari Rp 86,7 triliun sepanjang Januari-Agustus 2018 menjadi Rp 114,8 triliun periode pada sama tahun 2019.
Guru Besar dan Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, percepatan restitusi diperlukan untuk menstimulasi perekonomian yang lesu. Restitusi ibarat modal kerja sehingga perusahaan bisa memacu produktivitas dan memutar roda ekonomi. Namun, percepatan restitusi mesti diimbangi peningkatan basis data perpajakan.
“Kelemahannya, percepatan restitusi bisa membebani fiskal karena penerimaan pajak tersedot,” kata Ari yang dihubungi di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Ditilik per sektor, restitusi pajak untuk industri pengolahan meningkat 33,9 persen, perdagangan 42,8 persen, konstruksi dan real estate 42,9 persen, serta pertambangan 22,1 persen. Pertumbuhan restitusi menyebabkan penerimaan pajak di seluruh sektor turun, kecuali sektor perdagangan.
Pada Januari-Agustus 2019, realisasi penerimaan pajak industri pengolahan turun 4,8 persen menjadi Rp 215,58 triliun, konstruksi dan real estate turun 1,5 persen menjadi Rp 48,42 triliun, serta pertambangan turun 16,3 persen menjadi Rp 40,21 persen.
Menurut Ari, peningkatan basis data perpajakan penting untuk mendeteksi sumber-sumber penerimaan baru. Di Amerika Serikat, misalnya, percepatan restitusi dibarengi pemajakan dari sisi konsumsi atau kegiatan ekonominya. Indonesia berpotensi menerapkan kebijakan serupa pada sektor jasa dan perdagangan.
Peningkatan basis data bisa diperoleh dari data penggunaan kartu kredit dan transaksi nontunai. Skema pungutan yang diterapkan mirip dengan pajak pertambahan nilai (PPN). Langkah ini menjadi alternatif strategi menyiapkan cadangan fiskal untuk menutup kehilangan penerimaan pajak akibat restitusi.
“Di tengah kondisi ekonomi yang lesu, pungutan pajak sulit mengandalkan dari input (dunia usaha). Perlu ada pergeseran ideologi perpajakan, jadi yang dipajaki itu output (kegiatan ekonomi),” kata Ari.
Restitusi adalah pengembalian atas kelebihan pajak yang telah dibayarkan wajib pajak. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Di tengah kondisi ekonomi yang lesu, pungutan pajak sulit mengandalkan dari input (dunia usaha)
Wajib pajak mesti mengajukan permohonan restitusi. Kemenkeu akan meneliti dan memverifikasi untuk memutuskan mengabulkan atau tidak mengabulkan. Jika mengabulkan, nilainya bisa sama atau bisa juga tidak sama dengan permohonan wajib pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, percepatan restitusi menjadi salah satu faktor penerimaan pajak tumbuh melambat.
“Realisasi penerimaan sampai akhir tahun maksimal hanya 85-87 persen dari target APBN. Perlu ada terobosan out of the box untuk menyelamatkan penerimaan pajak tahun ini,” kata Prastowo.
Restitusi melambat
Dihubungi terpisah, Senin, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, tren pertumbuhan restitusi akan melambat secara alamiah. Di awal penerapan kebijakan percepatan restitusi tahun 2018 banyak wajib pajak yang memanfaatkan fasilitasi ini.
“Banyak wajib pajak yang tidak direstitusi atau restitusi melalui pemeriksaan menjadi direstitusi dengan skema dipercepat. Ini akan menuju keseimbangan atau kondisi normal tahun ini atau tahun depan nanti,” kata Hestu.
Menurut Hestu, restitusi pajak akan melambat tanpa campur tangan otoritas. Restitusi yang kini berlangsung akan tetap diselesaikan dan diberikan sesuai ketentuan. Pembayaran restitusi tidak akan terlambat dari jangka waktu yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
Dari catatan Kompas, tren pertumbuhan restitusi pajak memang melambat, tetapi masih terbilang tinggi. Sebagai contoh, pertumbuhan restitusi pajak per Februari 2019 mencapai 42,55 persen, sementara per Agustus 2019 restitusi pajak tumbuh 32 persen.
Sejak 2018, Kemenkeu mempercepat dan mempermudah prosedur yang dikenal panjang dan rumit, serta melonggarkan kriteria restitusi. Aturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Tahun 2018. Wajib pajak penerima restitusi diperluas dalam PMK Nomor 117 Tahun 2019. Wajib pajak penerima restitusi juga diperluas dalam PMK Nomor 117 Tahun 2019.
Kriteria wajib pajak yang berhak mendapat percepatan restitusi diperluas menjadi wajib pajak dengan riwayat kepatuhan baik, wajib pajak dengan nilai restitusi kecil, dan pengusaha kena pajak berisiko rendah. Selain itu, nilai restitusi yang berhak mendapatkan percepatan pengembalian dinaikkan 10 kali lipat dari aturan lama.
Untuk Pajak Penghasilan (PPh) pribadi bukan karyawan, dari maksimal Rp 10 juta naik menjadi Rp 100 juta. Untuk PPh wajib pajak badan dan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak, dari Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar.