Dalam usianya yang ke-74, Tentara Nasional Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Perencanaan pertahanan berbasis kapabilitas penting dilakukan.
Perkembangan teknologi selalu mengubah cara berperang. Perang modern saat ini ditandai dengan teknologi siber yang tidak saja melewati jarak dan waktu, tetapi juga lintas ruang nyata dan maya. Teknologi material dan optik serta elektronika dan nirawak sangat berpengaruh. Perang terjadi di banyak front serta melibatkan aktor negara dan non-negara. Perang bersifat hibrid, atau gabungan dari banyak aspek.
Ancaman dan gangguan nyata dan aktual yang dihadapi TNI sangat luas. Pertama, ancaman separatisme di Papua. Walaupun pendekatan pemerintah telah beralih dari keamanan pada kesejahteraan, kemampuan TNI untuk bisa melaksanakan operasi militer dalam konteks lawan insurjensi di Papua perlu mendapat perhatian khusus.
Kedua, ancaman pelanggaran wilayah laut dan udara. Bentuk geografi negara kepulauan membuat keamanan laut menjadi salah satu prioritas keamanan yang perlu dijaga karena banyaknya masalah seperti penyelundupan. Di wilayah-wilayah yang sensitif seperti Natuna, pelanggaran wilayah laut disertai dengan konflik yang bersifat abu-abu di mana kasus pencurian ikan bisa memicu konflik. Pelanggaran wilayah udara juga semakin intens, baik sipil maupun militer apalagi dengan belum dikuasainya wilayah udara sepenuhnya kawasan Kepulauan Riau oleh Indonesia.
Ketiga, ancaman bencana dengan spektrum yang luas, seperti kebakaran hutan, gempa, tanah longsor, dan banjir. Keempat, ancaman terorisme mulai dari penyanderaan hingga pengemboman. Ini belum termasuk ancaman yang diperkirakan akan muncul, atau bahkan sudah muncul, seperti ancaman siber.
Untuk mengatasi hal ini, TNI perlu terus mengembangkan perencanaan yang berbasis pada kapabilitas (Capability Based Defense Planning), daripada berbasis ancaman (Threat Based Defense Planning). CBDP bukannya menihilkan ancaman. CBDP bukan melihat siapa dan di mana ancam an mengintai, tapi bagaimana ancaman itu akan terjadi.
Dirjen Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Rizerius Eko mengatakan, berbagai kebijakan pertahanan seperti Minimum Essential Force, Buku Putih Strategi Pertahanan Kebijakan Umum Pertahanan Negara telah menggunakan perencanaan berbasis kapabilitas yang diwarnai basis ancaman. Beberapa perwira tinggi TNI juga mengatakan tentang pentingnya perubahan organisasi TNI yang saat ini disusun secara konvensional, ditambah dengan satuan-satuan yang dikembangkan sesuai macam dan jenis ancaman.
Sayangnya, masih ada beberapa inkonsistensi. Doktrin TNI 2018 masih menyuratkan asumsi perang linier, yaitu musuh akan menyerang dari perbatasan lalu masuk ke dalam. Padahal, dengan teknologi peluru kendali jarak jauh dan siber, serangan bisa langsung diarahkan ke dalam.
Perencanaan
Perombakan organisasi TNI yang baru dilakukan juga menimbulkan pertanyaan, apakah hanya demi memberi jabatan pada perwira tinggi. Awal 2019, lebih dari setengah perwira tinggi dan kolonel menganggur. Akan tetapi, di level prajurit terjadi kekurangan yang masif sehingga total kekuatan personil TNI baru mengisi 80 persen organisasi. Penambahan organisasi tanpa perencanan personil tidak hanya meningkatkan biaya rutin, tetapi juga buruk bagi organisasi.
Peneliti militer Indria Samego mengatakan, dalam rekrutmen dan pembinaan, kemampuan adaptasi personel akan teknologi harus sangat dipertimbangkan. Di sisi lain, pengaturan personil itu juga perlu menuruti postur pertahanan yang sudah direncanakan dari sejak awal. Ia khawatir, rencana penambahan usia pensiun dari usia 53 ke 58 tidak hanya menggemukan, tetapi juga menjadikan TNI menua. Prajurit-prajurit yang dengan usia tua, selain tidak adaptif, juga semakin meninggalkan perencanaan berbasis kapabilitas.
Pakar strategi Colin S Gray dalam bukunya Strategy and Defence Planning mengatakan, di atas strategi, perencaan pertahanan dan ketidakpastian faktor politik yang menjadi kuasa. Indria Samego menyoroti faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi upaya TNI menjadi tentara profesional. Masyarakat, termasuk pemerintah dan parpol abai dan bersikap permisif ketika ada penyimpangan, bahkan ikut menyimpangkan TNI dari tugas pokoknya.
Otoritas politik juga tidak secara jelas mendefinisikan fungsi pertahanan dan keamanan hingga sampai hari ini, arsitektur keamanan Indonesia belum terdefinisi baik. Akibatnya, tidak saja jargon sinergi TNI-Polri menggema di ruang hampa, profesionalisme aparat menjadi taruhannya. Dalam usia yang ke-74 ini, semoga TNI jaman now semakin modern dan terus dicintai rakyat.