Irak Hadapi Krisis Politik Paling Serius Pasca-NIIS
Irak menghadapi krisis politik paling serius pasca-serangan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang berhasil diusir dari negara itu, dua tahun lalu.
BAGHDAD, SABTU — Irak menghadapi krisis politik paling serius pasca-serangan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang berhasil diusir dari negara itu, dua tahun lalu. Pemerintah Irak, Sabtu (5/10/2019), telah mencabut larangan keluar rumah bagi warga di ibu kota Baghdad. Mulai selepas tengah hari waktu setempat, puluhan pengunjuk rasa kembali berkumpul di jalan-jalan sekitar Lapangan Tahrir, Baghdad.
Setelah berlangsung empat hari, menurut pejabat pemerintah, unjuk rasa telah menewaskan sedikitnya 64 orang. Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak, yang berafiliasi dengan parlemen, menyebutkan jumlah korban mencapai 93 orang dan hampir 4.000 orang luka-luka.
Dalam demonstrasi di jalan-jalan dekat Lapangan Tahrir, para pengunjuk rasa mengangkat poster berisi tuntutan agar Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi mengundurkan diri dan agar digelar investigasi atas tewasnya pengunjuk rasa. ”Adil Abdul Mahdi harus mundur secepatnya”, demikian bunyi salah satu poster pengunjuk rasa.
Sabtu ini, parlemen semula dijadwalkan menggelar sidang darurat untuk membahas tuntutan pengunjuk rasa pukul 13.00 waktu setempat. Namun, sidang tidak mencapai kuorum setelah blok pimpinan ulama Moqtada al-Sadr (54 anggota parlemen) dan faksi-faksi lain memboikot rencana sidang itu. Menurut rencana, PM Adil Abdul Mahdi dan Ketua Parlemen Mohammed al-Halbusi mengundang wakil pengunjuk rasa untuk mendengarkan tuntutan mereka.
Sadr menyatakan dukungan terhadap para pengunjuk rasa, dan Jumat lalu ia menuntut pengunduran diri PM Abdul Mahdi. Gerakan yang dipimpin Sadr memiliki kekuatan dan organisasi memobilisasi massa dalam jumlah besar.
Unjuk rasa ini menghadirkan tangan terbesar bagi PM Abdul Mahdi, yang terpilih tahun lalu sebagai kandidat hasil konsensus. ”Abdul Hadi harus melakukan langkah-langkah tegas, seperti mencopot tokoh-tokoh politik yang dituduh korupsi,” kata Sarmad al-Bayati, analis politik Irak.
Perselisihan politik dan agama di Irak merupakan persoalan serius. Unjuk rasa di negara itu umumnya digerakkan oleh partai atau kelompok sektarian. Namun, unjuk rasa dalam lima hari terakhir ini berlangsung di luar pola tersebut.
Unjuk rasa kali ini bersifat spontan, diikuti kebanyakan anak muda, yang menuntut lapangan kerja, perbaikan layanan publik seperti penyediaan air dan listrik, serta pemberantasan korupsi di negara kaya minyak tersebut.
”Untuk pertama kali ini kita mendengar warga (Irak) mengatakan ingin tumbangnya rezim ini,” kata Fanar Haddad, analis pada Middle East Institute di Singapore University.
Peringatan Sistani
Ulama Syiah Irak Ayatollah Ali Al-Sistani pada Jumat (4/10/2019) mengkritik tajam Pemerintah Irak setelah kekerasan dalam demonstrasi anti-pemerintah pada pekan ini telah menewaskan hingga 42 orang. Ia juga mendesak para pemimpin politik dan pengunjuk rasa untuk mundur ”sebelum terlambat”.
Sikap Sistani tersebut sangat dinanti banyak pihak sejak unjuk rasa meletus minggu ini. Banyak orang di segala penjuru Irak selatan yang didominasi warga Syiah mengharapkan bimbingan Sistani yang memiliki pengaruh besar.
Khotbah Sistani muncul hanya beberapa jam setelah PM Irak Abdul Mahdi meminta para pemrotes pulang dan menyebut tindakan keamanan yang diambil terhadap demonstran sebagai ”obat pahit” yang perlu ditelan.
Sejak Selasa, 1 Oktober, pasukan keamanan telah menembakkan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di sejumlah provinsi yang menuntut kesempatan kerja, peningkatan pelayanan publik, dan pemberantasan korupsi.
Unjuk rasa terjadi secara spontan, mayoritas didorong oleh kaum muda yang menghendaki adanya kesempatan kerja, peningkatan layanan publik seperti penyediaan listrik dan air bersih, serta mengakhiri korupsi yang kronis di negara kaya minyak itu. Pemerintah juga telah memutus jaringan internet di banyak wilayah di Irak sejak Rabu (2/10/2019) malam untuk mengakhiri demonstrasi.
Baca juga: Unjuk Rasa di Irak Dipicu Masalah Ekonomi
Sistani menyalahkan para pemimpin dari dua kekuatan politik besar di parlemen atas jatuhnya korban. Menurut dia, mereka gagal memenuhi janjinya.
”Pemerintah dan politisi belum memenuhi permintaan rakyat untuk memberantas korupsi,” ujar Sistani dalam khotbah Jumatnya yang dibacakan oleh wakilnya, Ahmed al-Safi, di kota suci kaum Syiah, Karbala.
Seruan perangi korupsi
Sistani mendesak para pemimpin politik untuk mengambil ”langkah praktis dan jelas” dalam memerangi korupsi dan agar pemerintah ”melaksanakan tugasnya” untuk menghilangkan penderitaan warga.
Ia juga kembali menekankan sarannya agar komite teknokrat membuat rekomendasi bagaimana memerangi korupsi sebagai jalan keluar dari krisis saat ini.
”Pemerintah harus mengubah pendekatannya dalam mengatasi persoalan negara,” kata Sistani, sambil menambahkan bahwa para anggota parlemen juga harus bertanggung jawab.
Sistani memiliki pengaruh besar di tengah-tengah komunitas mayoritas Syiah. Akan tetapi, belum jelas apakah seruan Sistani itu akan mampu meredam situasi atau justru memberikan momentum kepada pemrotes.
Jumat pagi, PM Abdul Mahdi mendesak pengunjuk rasa anti-pemerintah untuk membubarkan diri dan mengatakan ”tuntutan” mereka telah didengar. Akan tetapi, para pengunjuk rasa mengabaikan desakan itu. Mereka tetap berkumpul di dekat Lapangan Tahrir. Bahkan, ada di antara mereka yang mendirikan tenda dan bermalam di jalanan.
Aparat keamanan meresponsnya dengan mengeluarkan tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa dekat Lapangan Tahrir.
Sementara itu, pejabat di rumah sakit Irak melaporkan, terdapat tambahan sembilan korban meninggal di kota Nasiriyah, sekitar 320 kilometer sebelah tenggara Baghdad, pada Kamis malam. Dengan begitu, korban meninggal terkait unjuk rasa hingga hari itu mencapai 42 jiwa.
Nasiriyah merupakan kota dengan demonstrasi paling keras pada minggu ini. Sebanyak 25 orang, termasuk polisi, tewas dalam demonstrasi di kota itu.
Janji PM Abdul Mahdi
Dalam siaran televisi, PM Abdul Mahdi menyampaikan perkembangan demonstrasi yang telah menyebar di banyak provinsi. ”Kami tidak akan membuat janji kosong… atau janji yang tidak bisa kami capai,” katanya.
Menurut dia, tidak ada ”solusi ajaib” bagi persoalan di Irak. Namun, ia berjanji untuk mengusahakan undang-undang yang menjamin keluarga miskin mendapatkan bantuan, menyediakan alternatif perumahan, dan memberantas korupsi.
”Tindakan tegas yang kami ambil termasuk pemberlakuan jam malam sementara merupakan pilihan yang sulit. Namun, seperti obat yang pahit, itu tidak terelakkan,” kata Abdul Mahdi. ”Kita harus kembali hidup normal di semua provinsi dan menghormati hukum.”
Abdul Mahdi juga membela pasukan keamanan dengan mengatakan bahwa mereka terikat aturan yang ketat ketika menggunakan ”kekerasan berlebihan”. Ia juga mengatakan, dirinya ”menyesalkan adanya upaya mengarahkan protes yang damai menjadi berujung kekerasan” untuk motif politis.
Mayoritas pendemo adalah anak-anak muda pengangguran dan lulusan perguruan tinggi yang menderita akibat ekonomi yang digerogoti korupsi dan salah urus.
Sebagian besar unjuk rasa tanpa pemimpin itu terkonsentrasi di Baghdad dan di daerah-daerah yang didominasi Syiah di selatan Irak. Mayoritas pendemo adalah anak-anak muda pengangguran dan lulusan perguruan tinggi yang menderita akibat ekonomi yang digerogoti korupsi dan salah urus.
Di Nasiriyah, seorang pengunjuk rasa, Haidar Hamid, mengabaikan pidato perdana menteri. Ia berharap otoritas Syiah memberikan jalan keluar. ”Kalau pemerintah tidak dibubarkan, kami akan membalas para martir,” kata Hamid, pengangguran berusia 32 tahun.
Sebuah kelompok pemantau internet dan keamanan siber, NetBlocks, menyatakan, internet telah kembali tersambung sesaat sebelum Abdul Mahdi berpidato. Namun, begitu Abdul Mahdi tampil di layar kaca dan gambar pemrotes ditayangkan, internet kembali diblokir.
Kamis lalu, Irak menutup perbatasannya dengan Iran di Provinsi Diyala. Penutupan perbatasan ini dilakukan hingga pemberitahuan selanjutnya. Adapun pengunjuk rasa yang memblokir beberapa ruas jalan menuju Bandar Udara Internasional Baghdad telah dibubarkan sebelum malam. (AP/AFP/REUTERS)